Potret buram dunia pendidikan kembali tercoreng dengan tewasnya salah satu peserta didik Sekolah Dasar (SD) di daerah Jawa Barat akibat dismackdown oleh teman-temannya, sedangkan menurut laporan Metro TV (28 Nopember 2006), seorang siswa TK di Bojonegoro dan seorang siswa SLTP di Probolinggo patah tulang juga akibat smackdown. Padahal kalau kita cermati acara smackdown sebenarnya telah ada pada tahun 80an dan ketika itu anak-anak usia sekolah melakukan adegan tersebut yang kemudian dikenal dengan istilah perang-perangan, ketoprak-ketropakan, dan atau banting-bantingan.
Namun demikian, peristiwa tersebut tidaklah seheboh sekarang ini, yang ternyata smackdown muncul sporadis dengan versi dan gaya yang deversitatif dan mampu memberi sugesti kepada anak-anak kecil usia sekolah untuk menonton dan kemudian “coba-coba” melakukan dengan teman-teman sebaya yang pada gilirannya berdampak negatif bagi fisik dan psikologis korban. Jika hal ini dibiarkan secara terus-menerus, maka korban-korban berikutnya akan antri berjatuhan.
Sedangkan langkah preventif yang dilakukan pemerintah saat ini cenderung stagnan dan kurang variatif, kalupun ada itupun hanya setengah hati atau jangan-jangan hanya sebagai kambing hitam atas merosotnya kualitas mutu pendidikan nasional (Human Development Indeks Indonesia berada di angka 112 jauh di bawah negara tetangga) Adalah penggunaan televisi pendidikan untuk mengeliminir pencabulan media pembelajaran yang bernama televisi atau jika perlu pemerintah menelorkan kebijakan tentang larangan penayangan acara televisi “smackdown” pada jam-jam belajar serta mensosialisasikan kepada guru dan orang tua bahwa acara tersebut bukanlah menu yang pas untuk ditonton anak-anak.
Abad XIX merupakan awal mula ditemukannya Electrisce Telescope oleh seorang mahasiswa dari Berlin bernama Paul Nipkow, alat ini berfungsi sebagai pengirim gambar dari satu tempat ke tempat lain. Temuan inilah yang kemudian menjadi titik awal berkembangnya televisi, dan sejak saat itu perkembangannya dari tahun ke tahun menjadi sangat pesat hingga detik ini dan bahkan televisi mampu menunjukkan eksistensi maupun dominasinya dibanding dengan media-media yang lainnya.
Eksistensi televisi sebagai media komunikasi pada prinsipnya, bertujuan untuk dapat menginformasikan segala bentuk acaranya kepada masyarakat luas. Hendaknya, televisi mempunyai kewajiban moral untuk ikut serta berpartisipasi dalam menginformasikan, mendidik, dan menghibur masyarakat yang pada gilirannya berdampak pada perkembangan pendidikan masyarakat melalui tanyangan-tayangan yang disiarkannya.
Secara normatif, siaran televisi mampu menyajikan menu kepada masyarakat tanpa harus mendatangi, tidak membedakan status, kasta, golongan, dan usia selama 24 jam nonstop. Ini berarti televisi tidak dibatasi waktu hari, minggu, dan bulan. Melainkan hanya dibatasi waktu detik, menit, dan jam. Begitu juga, televisi pendidikan yang seharusnya digagas oleh policy maker pendidikan sebagai upaya pengkomunikasian informasi, mendidik, dan juga transfer of knowledg and transfer of valuee.
Dalam kompleksitas dan mata rantai yang panjang tentang televisi pendidikan serta dinamikanya, maka pertanyaan yang paling dominan muncul adalah “bagaimanakah konsep dan strategi penyiaran televisi pendidikan yang tepat?”, dan “Apakah tv pendidikan mampu mengimbangi siaran smackdown?”. Hal ini perlu dipahami, bahwa televisi pendidikan memiliki fungsi yang sama dengan media massa lain, yaitu fungsi mendidik, menginformasikan, meneruskan nilai-nilai budaya bangsa, menjadi agent of change. Sehingga, tanpa disadari dengan melihat acara/tayangan televisi seseorang telah mengikuti pendidikan.
Hemat penulis, untuk mengaplikasikan konsep televisi pendidikan, maka perlu dilakukan serangkaian kegiatan sebagai berikut. Pertama, membentuk tim yang bertugas menyiapkan program ini dengan sistem dan manajerial yang baik. Tim ini melibatkan wakil-wakil dari departemen pendidikan nasional yang mempunyai tugas dan fungsi secara teknis terhadap sekolah dan tenaga kependidikan. Kedua, perlu disusun dan dikembangkan considerance sebagai bahan untuk didiskusikan dan disempurnakan. Ketiga, Perlu diprogramkan suatu kegiatan diskusi yang intensif untuk mematangkan konsep dan program. Unsur-unsur yang perlu diundang dalam kegiatan diskusi tersebut mencakup unsur akademisi, praktisi, pemerhati, dan birokrat yang secara langsung maupun tidak langsung bertanggungjawab pada upaya peningkatan moral dan perilaku anak didik kita sebagai generasi penerus bangsa !!!
sumber : mkpd.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar