Ahmed Kurnia Soeriawidjaja
Ketika budaya baca masyarakat Indonesia belum lagi tumbuh yang ditandai dengan masih tingginya angka buta huruf, media televisi dan radio sudah muncul bak cendawan di musim hujan. Banyak pihak menilai fenomena ini mengkhawatirkan karena akan mendorong penguatan budaya lisan. Perlu langkah afirmatif untuk menggunakan media visual sebagai alat meningkatkan kualitas masyarakat kita.
Kualitas manusia Indonesia ternyata menyedihkan. Lihat saja laporan terbaru yang dikeluarkan lembaga Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) tahun 2004 lalu, yang menempatkan posisi Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index/HDI) di Indonesia pada urutan 111 dari 175 negara. Posisi ini sangat jauh tertinggal di belakang, jika dibanding negara-negara tetangga seperti Malaysia (peringkat 59), Thailand (76) dan Filipina (83). Di kawasan Asian Tenggara, Indonesia hanya setingkat di atas Vietnam (118).
Dalam perhitungan peringkat HDI sebuah negara, UNDP melihat pada tiga komponen, yakni indeks pendidikan, indeks kesehatan dan indeks ekonomi. Khusus untuk indeks pendidikan, terdapat dua indikator. Yaitu, angka melek huruf orang dewasa dan rata-rata lama pendidikan.
Indikator melek huruf di Indonesia lumayan jeblok. Buta huruf masih merupakan persoalan serius dan memerlukan penanganan yang khusus. Menurut laporan Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP) Depdiknas, pada 2003 di Indonesia masih terdapat 15,41 juta atau 10,21 persen penduduk usia 15 tahun ke atas buta aksara –kendati hal ini masih lebih baik daripada negara berkembang lainya yang rata-rata jauh di atas 10 persen penduduknya masih buta huruf. Tapi, kalau persoalan buta huruf di negara ini tidak diatasi dengan segera, jelas bakal menjadi hambatan yang berdampak pada pembangunan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Tidak heran Kabinet Indonesia Bersatu (kabinet yang dipimpin Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono) mematok target: pada tahun 2009 penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas yang buta huruf, akan menjadi tinggal lima persen. Artinya target total orang yang dientaskan supaya bisa baca tulis mencapai 14 juta orang, atau 2,8 juta orang jadi melek huruf per tahunnya. Sebuah target yang ambisius mengingat selama ini, Pemerintah baru bisa mengentaskan orang supaya melek huruf kurang dari 200.000 rata-rata per tahunnya.
Persoalan lain yang juga dihadapi adalah, kendati di Indonesia secara statistik yang melek hurufnya cukup tinggi dibanding negara berkembang lainnya, namun tak berarti mereka bisa memanfaatkan kemampuan baca tulisnya itu secara maksimal. Inilah yang disebut Daniel Dhakidae, pengamat sosial kemasyarakatan, sebagai kemampuan baca tulisan sebagian besar masyarakat Indonesia masih pada tahap technical alphabetism, belum mencapai tahap functional alphabetism. Artinya, orang melek huruf hanya mampu sebatas teknis menulis dan membaca. Mereka belum dapat mengolah informasi dalam bentuk teks (tertulis) tersebut untuk mengindentifikasi masalah sehari-hari dan meningkatkan pengetahuan yang berakibat pada peningkatan kesejahteraan (inilah yang disebut dengan functional alphabetism). Misalnya, hingga kini para petani di Indonesia masih saja mengandalkan informasi lisan dari tenaga penyuluh –dan tidak mampu dan sekaligus tidak mau memanfaatkan informasi lain tentang pertanian dalam bentuk tertulis.
Bebas buta huruf memang tidak bisa hanya ditafsirkan sebagai kemampuan untuk baca tulis dan mengeja semata (technical alphabetism). Keadaan bebas buta huruf menjadi bermakna kalau masyarakat sudah mencapai tingkat kemampuan membaca dan menulis secara fungsional (functional alphabetism).
Minat baca dalam masyarakat Indonesia menunjukkan gejala yang memprihatinkan. Boleh jadi karena budaya lisan tampaknya kini lebih berkembang ketimbang budaya baca tulis. Salah satu fenomena yang mendukung gejala maraknya budaya lisan adalah terus bertambahnya jumlah stasiun televisi. Beberapa di antaranya menayangkan siaran non-stop 24 jam. Begitu juga stasiun radio yang terus menjamur jumlahnya, dan hebatnya lagi sebagian juga tak mau kalah, siaran non-stop 24 jam. Kalau tak ada peminatnya, tentu mereka tak akan mengudara non-stop.
Coba tanya pakar atau pengamat, lebih suka yang mana: menulis kolom atau diwawancarai? Pasti mereka memilih yang kedua. Karena lebih mudah, dan yang pasti bakal lebih ngetop kalau diwawancarai wartawan televisi atau radio.
Kini tercatat lebih dari 1.000 stasiun radio yang beroperasi di Indonesia. Padahal, tahun 2002 lalu masih tercatat 865 stasiun radio. Begitu pula jumlah stasiun televisi yang terus bertambah. Kalau dulu, kita cuma mengenal TVRI, sekarang selain stasiun televisi milik pemerintah itu, juga ada 11 stasiun televisi swasta: TVRI, TPI, RCTI, SCTV, Anteve, Indosiar, Metro TV, Trans TV, TV7, Lativi dan Global TV. Belum lagi siaran televisi yang mengudara melalui satelit.
Tak cuma itu, televisi lokal di beberapa kota besar Indonesia terus bermunculan. Tahukah Anda di Manado ada empat stasiun televisi swasta? Di Semarang juga tak lama lagi bakal mengudara empat stasiun televisi lokal milik swasta. Bahkan di Papua saja sudah berdiri stasiun televisi lokal. Belum lagi televisi milik pemerintah daerah –dengan mengibarkan semangat otonomi –yang tersebar di berbagai pelosok. Jumlah stasiun televisi lokal diperkirakan lebih dari 50. ini masih di tambah lagi dengan 11 stasiun televisi nasional yang sudah lebih dulu ada.
Lalu bagaimana dengan media cetak di Indonesia? Saat ini, ditaksir oplah seluruh Koran yang beredar di Indonesia hanya sekitar tiga persen dari jumlah penduduk yang ada. Padahal, menurut UNESCO, indeks ukuran maju tidaknya sebuah Negara dapat dilihat dari Koran yang beredar – minimal sekitar 10 persen dari jumlah total penduduknya. Sementara di negara industri yang sudah maju, tiras korannya mencapai lebih dari 30 persen dari jumlah penduduknya. Jadi, kalau memakai ukuran UNESCO, Indonesia masih jauh di bawah standar sebuah negara yang maju.
Data lain juga menunjukkan bahwa tiras Koran di Indonesia mengalami penurunan yang lumayan signifikan. Laporan kongres Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) di Jakarta tahun lalu memperlihatkan justru terjadi penyusutan tiras seluruh Koran yang terbit di Indonesia. Ironisnya, penurunan tiras koran ini justru berlangsung di tengah euphoria kebebasan pers. Sejak tahun 1998, untk menerbitkan Koran tak perlu lagi izin. Siapa saja, kalau punya sumber daya termasuk dana tentunya, dan berbadan hukum, bisa menerbitkan koran. Dan memang koran baru banyak bermunculan. Tapi pada saat yang hamper bersamaan banyak pula koran yang tak dapat meneruskan penerbitannya. Entah karena memang pembacanya yang tidak ada (maka korannya tidak laku), atau karena salah urus (mismanagement). Namun yang pasti media-media cetak yang sudah mapan dan punya sejarah yang panjang, di tengah euphoria kebebasan pers, tetap tak dapat mendongkrak tirasnya. Paling banyak oplah koran papan atas yang berpengaruh (mainstream) yang terbit di Indonesia hanya sekitar 500 ribu setiap harinya. Sementara penduduk Jakarta saja sudah mencapai sekitar 8 juta jiwa. Bandingkan misalnya, dengan oplah Koran Yomiuri Shimbun yang terbit di Jepang yang mencapai 12 juta eksemplar setiap harinya. Atau oplah sebuah koran di Amerika Serikat atau Jerman yang juga mencapai jutaan eksemplarnya setiap terbit.
Media cetak, khususnya koran, memang cenderung tak lagi menjadi sumber informasi yang handal di negeri ini. Banyak penelitian memperlihatkan bahwa media elektronik, yaitu televisi dan radio, menjadi acuan informasi bagi masyarakat. Menurut perkiraan, di negeri ini ada lebih dari 30 juta pesawat televisi, yang rata-rata untk setiap pesawat televisi ditonton oleh lima orang. Berarti ada sekitar 150 juta penduduk Indonesia, atau sekitar 70 persen dari total penduduk, yang menonton (dan mendapat informasi) dari televisi. Sedangkan, mereka yang memperoleh informasi dari media cetak, diduga hanya sekitar 10 persen dari jumlah penduduk Indonesia.
Pada tahun 1977, total tiras semua Koran yang terbit di Indonesia mencapai sekitar 5,1 juta eksemplar. Pada tahun 2000 – ketika pers bebas berlangsung –total tirasnya malah susut menjadi 4,7 eksemplar. Maka satu surat kabar yang tadinya diasumsikan dibaca oleh 40 orang dalam tiga tahun menjadi 42 orang. Di tahun 2004 ini, tampaknya asumsi itu tak jauh berbeda.
Fenomena di atas setidaknya menunjukkan bahwa minat baca di negeri ini memang rendah sekali. Bahkan, boleh dikata sangat memprihatinkan! Lihat kondisi perpustakaan umum yang ada, sangat menyedihkan. Perpustakaan HB Jasin di Jakarta atau Perpustakaan Bung Hatta di Bukittinggi, karena sepi pengunjung, tak mendapatkan pemasukan (pendapatan) yang berbuntut kurang terawatnya koleksi buku. Jadi, alih-alih menambah koleksi buku, mempertahankan yang sudah ada saja sudah megap-megap kekurangan dana.
Padahal, membaca (dan juga menulis tentunya) adalah sebah kegiatan yang dapat merangsang orang aktif berpikir, mencerna secara reflektif dan kreatif. Aktivitas itu menuntut intensitas dan konsentrasi yang relatif lebih tinggi ketimbang menonton televisi atau mendengar radio. Uraian di atas memperlihatkan betapa budaya lisan (dan dengar) lebih berkembang di masyarakat ketimbang budaya baca (dan tulis).
Kondisi ini jelas merupakan tantangan bagi Pemerintah dalam upaya memberantas buta huruf. Mereka yang melek huruf saja, ternyata diduga baru sebatas mampu baca tulis secara teknis (technical alphabetism), dan belum mencapai tahap baca-tulis secara fungsional (functional alphabetism). Jadi, angka statistik yang menunjukkan bahwa di Indonesia masih terdapat 15,41 juta atau hanya 10,21 persen penduduk usia 15 tahun ke atas yang buta aksara menjadi patut dipertanyakan. Bukan tak mungkin mereka yang buta huruf (dalam arti belum mencapai tahapan functional alpbabetism) lebih banyak lagi.
Sudah saatnya diperlukan sebuah suasana yang dapat mengkondisikan masyarakat supaya gemar membaca (dan menulis) dalam upaya memerangi buta huruf dan sekaligus mengimbangi budaya lisan (dan dengar) yang kini semakin mendominasi kehidupan sehari-hari. Tak dapat dipungkiri, media televisi telah begitu akrab dalam kehidupan sehari-hari.
Karena alasan itulah, di antara banyak pilihan cara, apa boleh buat, kenapa tidak memanfaatkan media televisi sebagai sarana pendidikan, termasuk kegiatan pendidikan membaca dan menulis? Tentu pilihan ini terasa seperti sebuah usaha yang paradoks. Mengembangkan budaya baca-tulis dengan memanfaatkan media yang berbasis budaya lisan-dengar.
Memanfaatkan Televisi Edukasi Kesulitan utama yang dihadapi Pemerintah dalam mendongkrak HDI adalah minimnya sumber daya manusia, termasuk penyediaan guru atau tutor. Ditambah lagi dengan kondisi geografis bercorak kepulauan dan pegunungan, serta terbatasnya anggaran.
Hambatan tersebut memang bukan barang baru bagi Indonesia. Sesuatu yang sering jadi tumpuan alasan adalah tidak meratanya pendidikan. Dan akibatnya, kesejahteraan pun juga jadi tidak merata di negeri ini.
Untuk mengatasi keterbatasan penyediaan tutor, saat ini pemerintah telah merekrut sekitar 200 ribu calon pegawai negeri sipil dari 4 juta pelamar. Sebagian besar pegawai negeri baru ini nantinya akan menempati posisi sebagai guru pada jalur formal. Mereka akan disebar di berbagai wilayah di Indonesia.
Namun bagaimana dengan tantangan geografis, padahal jumlah guru yang ada masih jauh dari mencukupi. Sebenarnya pemanfaatan teknologi pembelajaran jarak jauh melalui siaran televisi bisa dijadikan solusi untuk mengatasinya. Apalagi saat ini tercatat sudah ada lebih dari 50 televisi lokal di seluruh Indonesia. Angka ini dipastikan akan berkembang setelah era televisi swasta nasional berakhir –seiring berlakunya UU No.32/2002 tentang Penyiaran –dan semangat otonomi daerah yang kian menggebu.
Pemerintah (melalui Depdiknas) memang tidak bisa bekerja sendiri untuk mendongkrak HDI Indonesia. Perlu ada kerja sama yang terkait di antara semua pihak di samping mengerahkan semua potensi yang ada. Termasuk tidak hanya mengoptimalkan jalur formal, tapi juga memacu jalur informal yang tidak hanya melibatkan guru dan sekolah.
Pada Oktober 2004 lalu Depdiknas meluncurkan Televisi Edukasi atau TVE. Tujuan televisi ini adalah untuk memberikan layanan siaran pendidikan berkualitas yang dapat menunjang tujuan pendidikan nasional di samping memeratakan pendidikan ke seantero penjuru Indonesia.
Kehadiran TVE Inilah tampaknya yang menjadi peluang untuk program pengentasan buta aksara. Sejumlah program dikemas untuk mendorong masyarakat pemirsa TVE untuk kenal huruf, dan kemudian di tahap berikutnya mengajak mereka gemar membaca dan menulis.
Namun sayangnya TVE punya keterbatasan. Saat ini, stasiun tersebut hanya bisa diakses bagi mereka yang memiliki parabola, mengingat karena siarannya dipancarkan melalui satelit. Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut, TVE bisa dipastikan akan menangguk kegagalan seperti yang dialami oleh Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) –yang sudah lama berubah haluan hanya menjadi televisi hiburan semata dan melupakan jati diri P-nya sebagai televisi pendidikan.
Kita masih belum lupa begitu ambisiusnya TPI di masa awal menayangkan siaran-siaran berisi tutorial berbagai mata pelajaran. Ambisi pemerintah, seiring hadirnya TPI kala itu, adalah setiap sekolah menyediakan pesawat televisi di dalam kelas-kelas sekolah –dan program tutorial tersebut sebagai alat bantu guru dalam menyampaikan pelajaran.
Namun apa daya, jangankan menyediakan satu pesawat televisi di setiap kelas, satu televisi setiap satu sekolah saja susah ---bahkan tidak jarang ada sekolah yang atapnya saja tidak utuh, sehingga pengadaan televisi bukanlah prioritas. Apalagi televisi hingga kini masih dikategorikan sebagai barang mewah yang cukup mahal harganya. Alhasil, TPI – entah sebab atau akibat – “terpaksa” banting stir menjadi televisi hiburan semata.
Sinergi TVE dan Stasiun Televisi Lokal Itlah sebabnya keberadaan TVE perlu disiasati agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. TVE perlu melakukan sinergi dengan stasiun televisi-televisi lokal, khususnya dengan televisi lokal yang berjaya baik secara manajemen keuangan maupun manajemen isi siaran. Walaupun belakangan sebagian televisi lokal yang ada mulai mengendur semangatnya setelah menyadari mengelola televisi ternyata kompleks dan tidak semudah yang diduga sebelumnya.
Kesulitan utama televisi lokal selain saat ini masih harus bersaing denan raksasa TV swasta nasional adalah ketersediaan program. Merencanakan program bagi sebuah stasiun televisi merupakan pekerjaan yang sangat melelahkan. Misalnya, bila sebuah stasiun televisi melakukan siaran selama sepuluh jam sehari dengan menayangkan program berdurasi 30 menit, maka stasiun TV ini membutuhkan 20 program sehari atau 140 program per minggu. Artinya, stasiun televisi akan terus kehausan program-program baru jika tidak ingin ditinggalkan pemirsanya. Dan jika tidak ada pemirsa, maka dijamin iklan pun tidak akan menghampiri. Padahal, pendapatan dari iklan merupakan darah bagi kelangsungan hidup sebuah stasiun televisi.
Membuat program televisi memang bukan pekerjaan mudah –apalagi murah. Perlu biaya dan komponen yang berteknologi tinggi serta tenaga kreatif.
Bagi pengelola televisi lokal, problem ini tentu diatasi atau setidaknya diringankan dengan menyiarkan program yang berasal dari TVE. Apalagi memang tujuan TVE adalah memberikan layanan siaran pendidikan berkualitas yang dapat menunjang tujuan pendidikan nasional. Sehingga, keseluruhan programnya dapat diakses dan dipancarkan kembali secara cuma-cuma melalui stasiun televisi lokal.
Pentingnya Kreativitas Salah satu “kesalahan” TPI adalah merancang program seperti layaknya tutorial di dalam kelas. Karena televisi merupakan medium hiburan, acara tutorial semacam itu sudah pasti akan sangat menjemukan. Konten dari TVE sebaiknya menghindari hal ini. Karakteristik televisi adalah media tempat pemerisa mencari hiburan dan informasi.
Hal tersebut menjadi tantangan bagi TVE selaku penyedia program. Acara pendidikan bukan tidak mungkin dikemas dalam bentuk hiburan yang inspiatif. Kita bisa lihat contoh program Sesame Street – sebuah program pendidikan yang dibuat di Amerika Serikat – misalnya. Ternyata acara pendidikan tentang mengenal aksara bisa dikemas dengan tarian dan lagi yang menghibur. Singkatnya, acara yang bermuatan pendidikan itu tak menjemukan. Malah sangat atraktif untuk orang dewasa, apalagi untuk anak-anak. Tak heran kalau program seperti ini dibeli oleh stasiun swasta di seluruh dunia (termasuk Indonesia) untuk acara komersial – yang kemudian diselingi dengan iklan.
Tentu saja TVE bisa melakkan hal serupa dengan cirri dan basis Indonesia denan melibatkan orang-orang kreatif di bidang pendidikan dan komunikasi yang tidak terhitung banyaknya.
Pengentasan buta aksara sudah tidak bisa lagi hanya mengandalkan jalur formal semata. Dan kini sudah ada alternatif media yang dapat dijadikan alat yang kreatif dan inovatif. Yakni, dengan pemberdayaan televisi lokal yang memanfaatkan program siaran TVE.
Televisi lokal yang ada haruslah menjadi kepanjang tangan pemerintah dalam upaya memeratakan pendidikan, karena televisi mampu menjangkau daerah-daerah terpencil. Pemerintah dalam hal ini Depdiknas melalui TVE tinggal merumuskan program yang tepat guna dan bermanfaat bagi masyarakat. Yang tak kalah pentingnya adalah sebuah program pendidikan yang dikemas dengan atraktif dan inspiratif. Upaya ini jauh lebih murah dan lebih luas menjangkau sasaran mengingat terbatasnya anggaran. Terlebih saat ini untuk mendongkrak posisi HDI Indonesia kita perlu bekerja keras mengoptimalkan tidak hanya jalur formal melainkan juga jalur lainnya.
Hanya saja ada kekhawatiran memanfaatkan televisi sebagai media pendidikan jangan sampai menjadi bumerang: semakin maraknya budaya lisan-dengan akan membuat budaya baca tulis semakin terpuruk. Karena, bagaimanapun juga, ukuran sebuah bangsa yang maju seperti dipatok indeks HDI-nya UNDP adalah bangasa yang tingkat melek huruf masyarakatnya tinggi. Jadi, bukan dari ukuran seberapa banyak masyarakatnya menonton televisi.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar