Senin, 26 Mei 2008

Media Sebagai Lingkar Pendidikan Keempat

oleh :

NAMA : HERU KRISTIANTO

NIM : 1102406050

Beberapa waktu lalu, sekelompok muda perfilman yang tergabung dalam Masyarakat Film Indonesia (MFI) mengajukan judicial review atas Undang-undang nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menggugat keberadaan Lembaga Sensor Film (LSF) yang membendung kreativitas mereka selama ini. Juga, mereka menuntut agar LSF dan Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) dibubarkan karena telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).

Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, Indonesia akan terus merapalkan sejumlah tuntutan, deklarasi, dan gugatan atas nama HAM yang tereja dari masyarakatnya sendiri. HAM menjadi dalih ampuh untuk melindungi diri manakala seseorang atau kelompok orang terampas hak-haknya. Pada kasus di atas, kreativitas adalah sewujud HAM yang, bagi kalangan perfilman, merupakan modal dasar dalam berkarya. Padahal, mengutip pendapat Julian Beggini (2003:51), 'bahasa hak dan kebebasan dapat digunakan untuk mengaburkan segala jenis ketidakadilan dan perbuatan salah'.

Mungkin penulis akan dituduh mengaburkan ketidakadilan jika berpendapat bahwa mendapatkan pendidikan yang layak dari media -dalam arti luas berarti juga film--adalah HAM, apalagi bagi bangsa yang mendapat amanah 'mencerdaskan kehidupan bangsa' dari the founding fathers-nya. Kalaulah anak dan remaja di negeri ini sadar atas hak pendidikannya, mereka mungkin menuntut agar mendapatkan tayangan film yang meneguhkan wawasan dan kepribadiannya. Jika demikian halnya, yang dibutuhkan tidak hanya LSF yang hanya bekerja di area seksualitas dan agresivitas, tapi juga lembaga yang melarang beredarnya film yang tidak mengandung unsur pendidikan. Letak masalahnya bukan pada tingkat pendidikan masyarakat yang rendah (sebagaimana pendapat harian ini dalam Tajuk Rencana, 12/01/2008), tapi tidak adanya perhatian dari elemen bangsa, termasuk media, terhadap proses dan strategi mendidik. Tapi, apakah itu mungkin? Alih-alih menghayati tujuan pendirian bangsa, mengharapkan media sebagai sarana pendidikan bagi masyarakat justru mempersempit peran media itu sendiri.

Dari naluri mendidiknya, Ki Hajar Dewantara pernah mengutarakan tiga lingkar pendidikan, yakni keluarga, sekolah dan masyarakat. Tiga lingkungan itulah yang akan memberi corak bagi seorang anak atau remaja terhadap perilaku (behavior), sikap (attitude), pandangan (subjective norm), keyakinan (belief) dan nilai (value) yang dianut. Tiga lingkungan itu seperti buaian yang akan mengintrodusir anak dan remaja perihal anasir kepribadian tersebut. Namun, dalam era informasi sekarang ini, ketiga lingkungan itu mengenyam peran yang semakin menyusut. Saat ini media, baik cetak maupun elektronik, merupakan lingkungan yang dekat bagi anak dan remaja. Lepas dari apakah media menyadari atas signifikansi perannya dalam membentuk kepribadian, media telah menjadi lingkar pendidikan keempat, bahkan dalam rentang yang lebih dekat.

Mengulas peran mendidik sebenarnya tidak terpaku pada tanggung jawab pelaku pendidikan di tiga lingkar itu. Bukan semata sebagai tanggung jawab orang tua atau yang dituakan (dalam keluarga), guru (di sekolah) dan sesepuh atau tokoh (di masyarakat). Mendidik adalah tanggung jawab universal setiap orang atas kodratnya sebagai makhluk yang dididik (animal educandum) dan makhluk yang mendidik (animal educandus). Seorang tokoh filsafat pendidikan dari Universitas London, john White, berpendapat, 'bukan hanya guru dan orang tua yang bertanggung jawab memikirkan tujuan pendidikan, melainkan setiap warga berkepentingan dengannya. Akan seperti apakah masyarakat kita?' (Callan, 2003:448). Bahkan sebenarnya tanggung jawab terbesar atas pendidikan adalah pihak yang paling besar mempengaruhi gaya hidup masyarakat. Berarti pula, pihak yang mampu menjadi trend-setter budaya di masyarakat dan sekaligus juga mengetahui jawaban atas pertanyaan White, 'akan seperti apakah masyarakat kita?' Dalam hal ini peran media teramat penting bagi terbentuknya cita masyarakat yang akan dituju.

Ada beberapa alasan mengapa media, sebagai lingkar pendidikan keempat, memiliki peran signifikan dalam mendidik anak dan remaja. Pertama, anak dan remaja memiliki intensitas interaksi yang tinggi dengan media. Hampir tidak ada hari tanpa menonton televisi--pun karena hampir setiap rumah memiliki televisi. Seorang remaja dianggap tidak gaul jika belum menonton film Indonesia terbaru--yang memang banyak berkisah tentang remaja.Kedua, media memungkinkan jarak sosial yang dekat dengan anak atau remaja. Media menjadi sarana interaksi yang privat. Peran masyarakat sebagai lingkar pendidikan setelah sekolah berkurang perannya apalagi dalam masyarakat perkotaan. Beban belajar di sekolah yang makin meningkat cenderung membatasi anak dan remaja berinteraksi di masyarakat. Alih-alih berinteraksi dengan lingkungan luar, anak dan remaja justru mengandalkan televisi sebagai 'teman dekat'nya. Ketiga, media dapat hadir dalam waktu kapanpun yang dimaui anak atau remaja. Apalagi jika lingkungan keluarga tidak menghalangi atau membatasi anak atau remaja dalam berinteraksi dengan media. Beberapa kasus perkosaan yang dilakukan remaja terjadi setelah pelaku menonton VCD seronok.

Keempat, perihal seksualitas dan agresivitas bukanlah penentu utama ketertarikan masyarakat pada media. Dilema di sekitar seksualitas dan agresivitas adalah dilema primordial umat manusia. Walaupun menurut Freud seksualitas dan agresivitas adalah bawaan tak sadar manusia, aktualitasnya akan dibatasi oleh norma yang berkembang di masyarakat. Jadi, daripada menampilkan seksualitas dan agresivitas yang akan mendapat tentangan di masyarakat, media lebih bijak menyodorkan tayangan yang lebih memenuhi harapan masyarakat. Kelima, media yang juga disebut sebagai pilar keempat demokrasi memungkinkan interaksi yang dinamis dengan masyarakat. Media, disamping mampu mempengaruhi kebijakan publik, juga menjadi sarana aspirasi masyarakat. Lewat media, masyarakat pada umumnya bisa mengetahui beragam informasi dan fenomena yang terjadi pada seseorang atau kelompok masyarakat tertentu. Masyarakat yang beragam akan menderetkan fenomena dan laku hidup yang beragam dan tentu, memiliki nilai media.

Jika mengatakan bahwa media tidak memiliki unsur edukatif tentu tidak sepenuhnya benar. Beberapa stasiun TV swasta menayangkan acara yang memungkinkan anak belajar kebiasaan baru dalam dunia permainan. Ada acara yang memperluas wawasan anak dengan menampilkan asal mula benda tertentu (dikemas seperti ensiklopedia). Film Nagabonar jadi 2, yang meminimalisasi seksualitas, bukannya kehilangan popularitas tapi malah memperoleh penghargaan sebagai film terbaik dalam Festival Film Indonesia (FFI) 2007. Baru-baru ini, film Denias Senandung di atas Awan mendapatkan penghargaan dari pemerintah Australia karena sarat dengan unsur pendidikan.

Tuntutan MFI agar pemerintah membubarkan LSF bisa dijadikan pelajaran bersama atas peran media selama ini. Adalah hak seluruh warga untuk mendapatkan pendidikan yang baik dari media. Namun hak ini hanyalah sesumbar hambar jika seluruh aparatus bangsa ini, termasuk pelaku media, tidak menjadikan media sebagai lingkar pendidikan keempat.


Sumber = http://pelajar-islam.or.id/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=71

Tidak ada komentar: