Pernah ditulis dalam rubric opini koran kompas tentang budaya membaca, dimana dalam rubric tersebut penulis mengatakan di Amerika sekarang ini terjadi pergeseran dari budaya membaya menjadi budaya lisan. Orang lebih suka menonton acara TV dari pada membaca. Ini belum termasuk pengaruh dari internet. Tetapi setidaknya di Amerika pernah mengalami masa budaya membaca, dimana minat untuk membaca masyarakat disana sangat tinggi. Bagaimana dengan Indonesia?Belum lagi memasuki budaya membaca, Indonesia sudah dipaksa atau mungkin dengan sukarela beralih ke budaya lisan dan budaya visual. Hal ini dapat dilihat dari dominasi televisi di Indonesia dan rendahnya minat membaca masyarakat. Saat ini kebanyakan masyarakat di Indonesia menghabiskan waktu luang mereka untuk menonton acara televisi. Berbagai alasan mereka utarakan, ya untuk hiburan, daripada tidak ada kerjaan, dll. Hal ini menurut saya sangat mengkuatirkan. Bagaimana tidak, acara yang ditawarkan stasiun-stasiun di negara kita hampir tidak ada yang berkualitas. Acara berita dipenuhi dengan berita-berita kriminalitas. Acara hiburan didominasi oleh sinetron-sinetron yang sama sekali tidak berbobot. Belum ditambah lagi dengan acara infotaintment dan setumpuk acara-acara sampah lainnya. Dan itu ditawarkan oleh hampir semua stasiun dengan sampah. Acara iptek, pendidikan, dan acara lain yang memberikan informasi yang bermanfaat sangatlah minim atau bahkan tidak ada. Acara-acara yang cukup berkualitas rata-rata merupakan relay dari acara stasiun televisi di luar negeri, seperti CNN, National Geographic, dll.Bagaimana jika hal ini terus berlanjut? Kita lihat dampak media terhadap anak-anak yang merupakan generasi bangsa. Anak-anak sekarang ini mulai berkiblat pada kehidupan artis. Anak-anak sudah tidak lagi menonton acara anak-anak, tetapi sinetron, infotainment, berita kriminalitas, dll. Anak-anak tidak lagi mengenal lagu anak-anak. Dampak nyata yang terlihat dan sangat memprihatinkan adalah meningkatnya tingkat bunuh diri yang dilakukan oleh anak-anak. Darimana mereka mendapat ide dan informasi tentang bunuh diri? Dari sekolah? Dari lingkungan sekitar? Atau dari media? Atau darimana? Menurut saya media-lah yang menjadi sumber informasi dominan. “Bunuh diri merupakan puncak dari frustrasi. Pelaku merasa tidak ada solusi terhadap masalahnya, tidak ada harapan. Dalam kondisi tersebut hiburan yang didapat hanyalah berita-berita kriminalitas, maka terjadilah bunuh diri. Hal ini bukan semata kesalahan media, tapi satu hal yang pasti media memberikan andil yang sangat besar.Itu baru salah satu dampak negatif dari media televisi di negara kita padahal masih banyak dampak lainnya spt: menurunnya atau hilangnya minat membaca masyarakat.menurunnya atau hilangnya rasa malubanyaknya berita tentang korupsi dan penipuan, maupun tindakan criminal lainnya yang banyak dilakukan oleh pejabat membuat terjadinya degradasi rasa malu pada masyarakat, baik secara sadar mau tidak sadar. Masyarakat akan berpikir, “wong yang sudah kaya dan punya jabatan saja masih begitu kenapa saya yang hidupnya susah gak boleh begitu”. Seolah-olah korupsi itu bukan lagi hal memalukan. Contoh lainnya adalah Roy Suryo. Anda tentu mengenal Roy Suryo yang katanya pakar telematika. Atas dasar apa media mengatakan dia itu pakar telematika? Padahal sebenarnya dia hanya seorang yang tidak kompeten dan gak tau malu yang mencari popularitas. Tetapi apa yang dilakukan media? Media memblooming berita tentang dia. Media gak mau tau bahwa hal ini bisa berdampak buruk terhadap masyarakat, memberikan contoh figure yang gak tau malu. meningkatnya kriminalitas meningkatnya percerain masyarakat disuguhi dengan tayangan infotainment terus-menerus. Kehidupan artis jadi santapan setiap hari. Berita kawin cerai artis jadi makanan sehari-hari. Hal ini secara perlahan tapi pasti akan mempengaruhi kehidupan masyarakat pada umumnya. Hal ini terbukti dengan semakin meningkatnya perceraian di masyarakat. Masyarakat tidak lagi memiliki beban moral untuk bercerai. menciptakan masyarakat yang konsumtif menciptakan masyarakat pemalas karena setiap hari dihadapkan dengan iklan-iklan yang menggoda, ditambah lagi efek dari sinetron-sinetron yang hanya menceritakan kehidupan orang-orang kaya membuat masyarakat menjadi konsumtif.dan masih banyak lagiApakah ada dampak positifnya? Tentu aja ada, seperti mudah mendapatkan informasi, hiburan, dll. Tetapi permasalahannya adalah dampak positif yang diberikat tidak sebanding dengan dampak negatifnya.Mengapa demikian?Karena media di Indonesia menyuguhkan acara-acara yang tidak berkualitas. Media hanya mengejar keuntungan perusahaan semata. Tanggung jawab moral terhadap pendidikan di Indonesia masih sangat rendah. Kontrol dari pemerintah masih sangat kurang. Undang-undang yang gak jelas. Masyarakat juga terlalu mudah dimakan media. Minat belajar masyarakat juga masih rendah.Bagaimana media itu semestinya?Media semestinya mampu memberikan hiburan, informasi yang berkualitas dan bermanfaat. Media diharapkan dapat turut andil dalam peningkatan kualitas SDM di Indonesia. Media diharapkan dapat mengubah culture masyarakat menjadi lebih baik.Televisi amat berpengaruh terhadap semua kelompok masyarakat. Khusus dalam kehidupan keluarga, misalnya, televisi dapat merenggangkan hubungan antar anggota keluarga. Komunikasi yang biasa terjalin dengan baik dapat rusak karena perhatian mereka kini lebih terpusat pada acara-acara televisi. Kalau pun ada perbincangan, topiknya akan berada di seputar acara yang ditayangkan. Tidak jarang pula orang tua membelikan anaknya televisi untuk menggantikan peran pengasuhan. Mereka berpikir televisi dapat membuat anak-anak mereka tenang sehingga mereka tidak perlu lagi mendongeng bagi anak-anaknya karena televisi sudah menyediakan itu semua. Televisi juga dapat mengubah suatu tatanan yang baik menjadi tidak pada tempatnya. Gaya hidup yang seharusnya apa adanya kini berubah mengikuti gaya hidup yang ditawarkan melalui televisi. Sikap hidup pun berubah mengikuti sikap yang sering dilihat di televisi. Misalnya, memecahkan masalah dengan jalan pintas, balas dendam, bunuh diri, atau dengan obatan-obatan terlarang.Harus disadari bahwa kehadiran televisi bukan sekadar merupakan hiburan belaka. Informasi yang dihadirkannya juga mengondisikan pemirsa untuk menjadi konsumtif, materialistik, dan cenderung menyederhanakan masalah yang sebenarnya sulit sehingga memilih pemecahan tanpa pengorbanan dan usaha yang sungguh-sungguh.Daya tarik televisi yang begitu kuat dapat dilihat dari orang-orang yang sanggup berjam-jam duduk di depan televisi. Apa sajakah yang ditayangkan sehingga daya tariknya dapat membius para pemirsa?Berbagai informasi dan berita aktual dari seluruh dunia.Iklan-iklan yang ditampilkan begitu menarik dan evokatif.Hiburan-hiburan (”reality show”, lawak, sinetron, film, musik, dll.).Dokumenter dan pengetahuan umum.Perbincangan-perbincangan para pakar.Kebutuhan spiritual masyarakat berupa mimbar agama.TV, sarana belajar perilaku sosialBagaimanapun, TV merupakan salah satu media belajar bagi anak dan bisa memberi pengaruh positif terhadap tumbuh kembangnya. Yang penting, mencegahnya agar tak sampai kecanduan nonton TV. Ingatlah, anak usia ini sedang dalam tahap mengembangkan perilaku sosial. Ia harus mendapat banyak kesempatan bermain dengan teman-temannya. Karena itu, tegas Hera, jangan jadikan TV sebagai pengganti bentuk bermain. “Nonton TV itu, kan, cenderung pasif. Tak ada interaksi dua arah. Beda jika ia main dengan teman-temannya. Ia akan aktif, entah fisiknya, komunikasi, atau sosial. Jadi, ada timbal-balik, belajar saling memberi,” jelas Ketua Program Profesi pada Fakultas Psikologi UI ini.Selain itu, anak usia ini sedang kuat-kuatnya meniru, entah perilaku atau omongan. Apa yang ia dengar dan lihat, ia ucapkan dan lakukan tanpa ia mengerti. Sering, kan, kita melihat serta mendengar, betapa fasihnya (meski masih cadel) si kecil menirukan iklan atau nyanyian yang dilihatnya di teve? CUKUP 40-45 MENIT Untuk mengurangi dampak negatif teve, Hera menganjurkan, batasi waktu nonton TV, sekitar 40-45 menit bagi anak usia ini. Hera juga menyarankan, sebagaimana dianjurkan banyak pakar, dampingi anak saat nonton TV dan pilihkan program-program yang layak untuk ia tonton. “Anda tak bisa menjadikan TV sebagai baby-sitter jika Anda mau mendidik anak menjadi pemirsa yang kritis,” tukas Hera. Apa juga, TV hanyalah sebuah benda mati.
Kamis, 15 Mei 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar