Sabtu, 17 Mei 2008

menyebutkan bahwa hanya 15% acara televisi (TV) yang aman ditonton anak-anak, dan 85% lainnya merusak anak. Lalu, bloger itu menjuluki TV sebagai “guru privat yang jahat” bagi anak. Perilaku amoral, seks bebas di kalangan remaja, tindak kekerasan, dan lain-lain dituduh sebagai hasil pelajaran guru jahat bernama TV itu. Ya, dalam beberapa hal saya sependapat dengan tulisan itu. Saya tak akan menambah daftar dampak negatif kehadiran guru jahat tersebut. Biar imbang, kali ini saya bicara netral tentang si kotak ajaib itu. Semua teknologi (termasuk TV), ibarat pisau bermata dua. Teknologi, selain (diharapkan) membawa manfaat, namun sering juga mendatangkan kemudaratan. Namun, rasanya kita tak mungkin menghindar dari kehadiran teknologi. Di jaman batu dulu, orang menolak hadirnya produk teknologi berupa pisau. Pisau dianggap barang berbahaya yang bisa membunuh orang. Tapi sekarang, siapa orang yang tak menyimpan pisau di dapur. Jadi, yang perlu dipikirkan adalah bagaimana mengendalikan dan memanfaatkan teknologi untuk kemaslahatan umat. Bukan menolaknya. Kedengarannya klise, tapi ya begitulah seharusnya.Kembali ke persoalan peran media TV. Tak bisa dipungkiri, dewasa ini media telah menjadi bagian penting dalam kehidupan kita. Media telah mempengaruhi hampir sepanjang waktu hidup seseorang. Bahkan seorang insinyur ternama Amerika Serikat, B. Fuller mengatakan bahwa media telah menjadi “orang tua ketiga” bagi anak (guru adalah orang tua kedua). Sayangnya, si orang tua ketiga ini tak selalu bisa mendidik anak-anak kita. Memang, banyak tayangan televisi yang tak mendidik bagi anak, sebagaimana ditulis di atas. Orang tua semakin sulit memilih acara TV yang pantas ditonton anaknya. Bagi stasiun TV, barangkali karena alasan bisnis (tuntutan pasar) maka stasiun TV itu sulit menayangkan acara yang edukatif. Membuat acara TV yang mendidik memang tak mudah, dan mungkin lebih mahal. Kalaupun ada, belum tentu menarik atau laku dijual, lalu tak ada sponsor yang mau mbayar biaya tayangnya. Lebih enak membuat dan menyiarkan program hiburan yang laku sponsor, meskipun terpaksa mengabaikan nilai edukatifnya. Itulah kondisinya. Ibarat minuman, media edukatif itu seperti jamu. Jamu, dianggap penting dan perlu (oleh orang tua), tapi tak enak rasanya (bagi anak). Sedangkan media hiburan, itu ibarat cocacola. Enak rasanya, meskipun dianggap tak penting. Kalo anak diminta memilih bebas, ya sudah pasti akan pilih minum cocacola dibanding jamu (heehee orang tua juga). Jadi, yang harus kita upayakan adalah, bagaimana kita bisa membuat jamu rasa cocacola. Bagaimana membuat program TV yang mendidik sekaligus menghibur anak. Bagaimana membuat anak merasa sedang nonton hiburan, padahal ia sedang belajar melalui TV. Jika kita bisa membuat program TV semacam itu, maka tuduhan negatif terhadap media TV akan berkurang. Jangan salahkan media TV jika kita tak dapat membuat program yang mendidik dan menghibur. Departemen Pendidikan Nasional telah membangun stasiun televisi bernama Televisi Edukasi (TVE), yang khusus menayangkan program-program pendidikan. Secara konten, tayangan TVE sudah tentu bersifat edukatif. Pertanyaanya adalah apakah program-program TVE sudah menghibur sehingga anak-anak tertarik menontonya? Nah itu masalahnya. Memang tak mudah membuat program TV yang bisa jadi tuntunan sekaligus tontonan bagi anak. Itulah yang sekarang yang terus diupayakan oleh Pustekkom Depdiknas. Ini pekerjaan tak mudah. Perlu bantuan, dukungan dan partisipasi banyak pihak. Para ahli konten, ahli media, ahli pendidikan, dan orang tua, perlu peduli dan ambil peran. Jika tidak, maka jangan salahkan jika media televisi akan makin menjelma menjadi orang tua yang jahat bagi anak-anak kita. Anda peduli ?

Tidak ada komentar: