Rabu, 07 Januari 2009

Makalah Sistem Belajar Mandiri

BAB I
PENDAHULUAN

A. Kajian Teori
1. Perkembangan Batasan Model Pendidikan Terbuka Dan Jarak Jauh
Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh (PTJJ) itu sudah timbul bertahun-tahun sebelum kita, bangsa Indonesia, mengenalnya. Pengertian atau batasan PTJJ itu berkembang dari waktu ke waktu.


Pada tahun 1968, G. Mackenzie, E. Christensen, dan P. Rigby mengatakan bahwa: Sekolah korespondensi sebagai salah satu bentuk PTJJ merupakan metode pembelajaran yang menggunakan korespondensi sebagai alat untuk berkomunikasi antara peserta didik (siswa) dengan pendidik (guru).
Menurut mereka karakteristik PTJJ adalah sebagai berikut:
• Siswa dan guru bekerja secara terpisah.
• Siswa dan guru dipersatukan melalui korespondensi.
• Perlu adanya interaksi antara siswa dan guru.

Pada tahun 1971 di Perancis ada undang-undang yang mengatur penyelenggaraan BT/JJ. Hukum tersebut memuat batasan sebagai berikut: Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh itu merupakan bentuk pendidikan yang memberikan kesempatan kepada siswanya untuk belajar secara terpisah dari gurunya. Pertemuan antara guru dan siswa hanya dilakukan kalau ada peristiwa yang istimewa atau untuk melakukan tugas-tugas tertentu saja.
Menurut batasan di atas ada dua ciri utama yang menonjol, yaitu:
• Terpisahnya guru dan siswa,
• Adanya kemungkinan untuk acara pertemuan atau pelajaran secara tatap muka tertentu antara guru dan siswanya.

Pada tahun 1973 dan diulang lagi pada tahun 1977, M. Moore mengajukan batasan PT/JJ sebagai berikut: Pendidikan Terbuka/Jarak Jauh merupakan metode pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara terpisah dari kegiatan mengajarnya, sehingga komunikasi antara siswa dan guru harus dilakukan dengan bantuan media cetak, elektronik, mekanis, dan peralatan lainnya.
Yang menonjol dalam batasan Moore itu adalah:
• Terpisahnya siswa dan guru dalam proses belajar mengajar,
• Digunakannya media untuk komunikasi antara siswa dan guru.

Pada tahun 1977, B. Holmeberg memberikan batasan sebagai berikut: Dalam sistem PT/JJ siswa belajar tanpa mendapatkan pengawasan langsung secara terus menerus dari tutor yang hadir di ruang belajar atau di lingkungan sekolah, namun demikian siswa mendapat keuntungan dari perencanaan, bimbingan, dan pembelajaran dari suatu lembaga yang mengorganisasikan PT/JJ itu.
Yang menjadi fokus dari batasan Holmberg adalah:
• Bahwa siswa dan guru bekerja secara terpisah,
• Adanya perencanaan pembelajaran yang dilakukan oleh sesuatu lembaga pendidikan yang mengatur PT/JJ itu.

Setelah tahun 1997 batasan PT/JJ itu masih terus berkembang. Ciri-ciri yang menonjol selama masa perkembangan itu adalah terpisahnya siswa dan guru, adanya lembaga yang mengelola, digunakannya media untuk menyampaikan isi pelajaran, adanya komunikasi dua arah antara siswa dan guru, dan tidak adanya kelompok belajar yang tetap. Pada tahun 1980 Peter melontarkan kembali tambahan ciri pada PT/JJ yang mengatakan bahwa PT/JJ seolah-olah dikelola seperti industri. Pendapat Peter ini ada yang mendukung, tetapi juga ada yang tidak dapat menerima.

2. Faktor - faktor yang Mempengaruhi Kesiapan Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh

Banyak faktor yang mempengaruhi untuk tumbuhnya belajar mandiri, yaitu:
1. Terbuka terhadap setiap kesempatan belajar, belajar pada dasarnya tidak dibatasi oleh waktu, tempat dan usia.

2. Memiliki konsep diri sebagai warga belajar yang efektif, seseorang yang memiliki konsep diri berarti senantiasa mempersepsi secara positif mengenai belajar dan selalu mengupayakan hasil belajar yang baik

3. Berinisiatif dan merasa bebas dalam belajar, inisiatif merupakan dorongan yang muncul dari diri seseorang tanpa dipengaruhi oleh orang lain, seseorang yang memiliki inisiatif untuk belajar tidak perlu dirangsang untuk belajar.

4. Memiliki kecintaan terhadap belajar, menjadikan belajar sebagai bagian dari kehidupan manusia dimulai dari timbulnya kesadaran, keakraban dan kecintaan terhadap belajar.

5. Kreativitas. Menurut Supardi (1994), kreativitas merupakan kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun kerja nyata, yang relatif berbeda dengan apa yang telah ada sebelumnya.

Ciri perilaku kreatif yang dimiliki seseorang diantaranya dinamis, berani, banyak akal, kerja keras dan bebas. Bagi seseorang yang kreatif, tidak akan kuatir atau takut melakukan sesuatu sepanjang yang dilakukannya mengandung makna.

6. Memiliki orientasi ke masa depan. Seseorang yang memiliki orientasi ke masa depan akan memandang bahwa masa depan bukan suatu yang mengandung ketidakpastian.

7. Kemampuan menggunakan keterampilan belajar yang mendasar dan memecahkan masalah.

B. Kondisi Real untuk Model – Model Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh
Suryadi (2005) menyatakan bahwa sistem belajar konvensional di universitas tidak efektif dalam era global perkembangan teknologi, informasi dan komunikasi yang maju pesat. Sekolah dan perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan formal belum banyak menghasilkan SDM unggul yang mampu menggerakkan perubahan dan pembaruan dalam rangka menciptakan akselerasi pembangunan untuk kemajuan bangsa. Menurut Suryadi (2005), sistem pendidikan belum berhasil mengatasi enam aspek kelemahan pada luaran pendidikan, yaitu :
1. Kelemahan mengembangkan power of character.
Sistem pendidikan nasional belum mampu mengembangkan karakter dan moral anak didik. Hal ini tampak pada munculnya fenomena sosial seperti egoisme pribadi/kelompok, lemahnya solidaritas, konflik sosial, korupsi, kurang bertanggung jawab, krisis identitas, dan tidak percaya diri.

2. Kelemahan mengembangkan power of leadership.
Konsep leadership cenderung direduksi sebatas kepandaian menjadi pemimpin.

3. Kelemahan mengembangkan power of citizenship.
Sistem pendidikan belum mampu menanamkan penghayatan, motivasi, dan komitmen untuk memberdayakan heterogenitas sosial dan budaya bangsa sebagai kekuatan dalam percaturan antar bangsa.
4. Kelemahan mengembangkan power of thinking.
Praktek pendidikan kita tidak banyak memberikan latihan berpikir.

5. Kelemahan mengembangkan power of skills.
Ada kesan kuat bahwa sistem pendidikan dirancang untuk menghasilkan lulusan yang tidak siap kerja. Dalam konteks ini, kita masih menghadapi masalah lemahnya penguasaan keterampilan dan relevansi antara dunia pendidikan dengan dunia kerja nyata. Sistem pendidikan nasional juga tidak memiliki konsep dalam mengembangkan kecakapan entrepreneurship.

6. Kelemahan mengembangkan power of engineering.
Pendidikan kita belum mampu mendorong tumbuhnya kekuatan riset, inovasi dan rekayasa teknologi untuk membangun keunggulan kompetitif.

Selain itu, salah satu persoalan pelik yang dihadapi sistem pendidikan konvensional adalah daya tampung yang rendah. Dalam kondisi demikian maka sistem PTJJ agaknya dapat dijadikan sebagai sebuah solusi.

Pembelajaran jarak jauh (distance learning) telah diperkenalkan oleh banyak peneliti, misalnya Keegan (1980); Perry dan Rumble (1987). Karakteristik utama PTJJ adalah: a). pemisahan dosen dan mahasiswa selama proses belajar mengajar; b). penggunaan media pendidikan (cetak, audio, vidio dan internet) untuk menyatukan dosen dan mahasiswa; c). peranan penting organisasi pendidikan dalam perencanaan, persiapan bahan belajar dan penyediaan pelayanan mahasiswa; d). tersedianya komunikasi dua arah, dan e). kemandirian belajar mahasiswa (Rusfidra, 2006a,b).

Praktek pembelajaran jarak jauh sangat berbeda dengan model kelas jauh. Menurut Fajar (2002) PTJJ adalah perguruan tinggi yang dalam proses pembelajarannya menggunakan teknologi media, sedangkan kelas jauh sifatnya paralel (semacam filial), kelas yang jauh dari kampus pusatnya (Koran Tempo, 23/02/2002). Berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pendidikan Tinggi No 2630/D/T/2000, model pembelajaran kelas jauh tidak boleh dilakukan, karena diduga dapat merugikan mahasiswa. Sampai saat ini PTN yang secara resmi menyelenggarakan sistem PTJJ hanyalah Universitas Terbuka, meskipun berdasarkan Keputusan Mendiknas Nomor 107/U/2001 tentang Penyelenggaraan Program Pendidikan Jarak Jauh, memungkinkan bagi setiap lembaga pendidikan tinggi menyelenggarakan sistem PTJJ.

C. Permasalahan Dalam Model – Model Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh
Pendidikan merupakan salah satu faktor determinan kualitas SDM. Akses setiap guru untuk meningkatkan kapasitas diri dengan mengikuti perkuliahan di pendidikan tinggi harus dibuka seluas-luasnya karena pendidikan merupakan hak asasi warganegara. Pendidikan adalah kunci untuk menciptakan, mengadaptasi dan menyebarkan ilmu pengetahuan.

Dalam konteks itu, gagasan PTJJ merupakan komponen penting dalam strategi nasional maupun global untuk mendidik mahasiswa dalam jumlah besar. Hal ini sejalan dengan konsep belajar sepanjang hayat (life long learning) dan pendidikan untuk semua (education for all) yang diusung Badan Pendidikan dan Kebudayaan PBB (UNESCO).
• Penggunaan model pada pendidikan terbuka dan jarak jauh mempengaruhi proses dan hasil belajar peserta didik, yang mana hal ini masih sangat kurang diketahui oleh pendidik maupun peserta didik.
• Pemahaman tentang model-model ini sangat berpengaruh terhadap penentuan model apakah yang cocok digunakan oleh masing-masing lembaga pendidikan jarak jauh, karena penentuan model juga berpengaruh terhadap tingkat kualitas guru dalam pembelajaran.
• Kualitas pembelajaran dipandang kurang bermutu karena penerapan model yang mungkin belum dipahami pendidik dan peserta didik, sehingga lulusan PTJJ masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan yang telah kami sampaikan diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang akan dibahas yaitu sebagai berikut:
1. Apa saja model yang dipakai dalam pendidikan terbuka dan jarak jauh ?
2. Bagaimana penerapan model pembelajaran jarak jauh untuk meningkatkan mutu guru dalam pembelajaran?
3. Bagaimana kualitas dalam pembelajaran pendidikan terbuka dan jarak jauh?






















BAB II
PEMBAHASAN
A. Berbagai Model yang Dipakai untuk Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh
Dalam uraian sebelumnya dapat Anda ketahui bahwa sebelum kita mengenal sistem PT/JJ telah banyak lembaga di luar negeri yang menyelenggarakan PT/JJ. Batasan yang mereka gunakan mempunyai penekanan yang berbeda-beda, sebelum akhirnya dirumuskan batasan yang berlaku umum. Pada waktu itu yang berbeda sesungguhnya bukan hanya batasannya, model dan nama-nama yang mereka gunakan juga berbeda-beda.
Berikut akan di uraikan beberapa dari model-model itu:
a. Sekolah Korespondensi
Sekolah Korespondensi kadang disebut Pendidikan melalui Korespondensi atau Belajar melalui Korespondensi. Sekolah Korespondensi mempunyai riwayat yang panjang dalam pendidikan anak-anak dan orang dewasa. Sampai sekarang Sekolah Korespondensi dianggap masih ada, sebab masih banyak Pendidikan Terbuka/Jarak Jauh yang dikelola melalui hubungan surat-menyurat dengan bantuan pos.

UNESCO memberi batasan Sekolah Korespondensi sebagai berikut:
“Pendidikan yang dilakukan dengan menggunakan jasa pos tanpa adanya pertemuan tatap muka antara guru dan siswa”. Pengajaran dilakukan melalui bahan belajar dalam bentuk cetakan atau rekaman kaset suara yang dikirimkan kepada siswa melalui pos. Kemajuan belajar siswa dimonitor dengan menggunakan latihan atau tugas-tugas tertulis atau latihan yang direkam dalam kaset. Siswa mengerjakan latihan itu menggunakan tulisan atau rekaman kaset juga yang dikirimkan kepada guru yang ada di Pusat Lembaga PT/JJ. Guru memeriksa pekerjaan siswa dengan memberi komentar dan saran-saran secara tertulis atau melalui rekaman kaset. Hasil koreksi itu dikirimkan kembali kepada siswa.
Beberapa tahun yang lalu, Sekolah Korespondensi di Australia dikelola sebagai berikut:
• Kurikulum dan bahan belajar disusun oleh guru-guru yang berkantor di lembaga yang mengelola Sekolah Korespondensi itu.
• Bahan belajar dikirimkan kepada siswa melalui pos ke rumah siswa.
• Siswa mempelajari bahan belajar itu dengan pengawasan dan bimbingan orang tua masing-masing.
• Siswa mengerjakan tugas atau latihan yang disediakan dalam bahan belajar itu.
• Pekerjaan siswa dikirimkan kepada guru di Kantor Pusat Sekolah Korespondensi.
• Guru mengoreksi, memberi komentar, dan memberikan saran-saran secara tertulis pada pekerjaan siswa itu.
• Pekerjaan siswa yang telah dikoreksi dikirimkan kembali kepada siswa. Dengan demikian siswa akan mengetahui kemajuan belajar masing-masing.
• Pada waktu-waktu tertentu (biasanya pada musim panas) diadakan acara “camping” yang diikuti oleh para siswa. Pada saat itu dipelajari pelajaran yang memerlukan praktek seperti kesenian, olah raga, pekerjaan tangan.

Di Australia kerjasama antara PT/JJ dan Pos sangat baik. Surat-surat atau pelajaran yang dikirimkan melalui pos tidak dipungut biaya. Untuk memudahkan proses pengiriman, oleh Kantor Pos disediakan amplop mondar-mandir. Sebuah amplop yang bertanda khusus digunakan berulang kali, mondar-mandir dari guru ke siswa dan dari siswa ke guru. Sekolah Korespondensi sangat tergantung pada jasa pos. Karena itu bila sistem pengiriman melalui pos belum terjamin kelancarannya, sistem ini sulit dilaksanakan.



b. Pendidikan Terbuka
Banyak pendidikan terbuka yang diselenggarakan di berbagai negara. Mungkin Anda pernah mendengar nama-nama pendidikan terbuka seperti SMP Terbuka, SMA Terbuka dan Universitas Terbuka di Indonesia, Sukhothai Thammthirat Open University (STOU) di Thailand, The British Open University di United Kingdom, The Univeristy of Manila Open Universisty di Pilipina. Pendidikan Terbuka ini mempunyai karakteristik umum yang sama dengan belajar terbuka/jarak jauh (BT/JJ). Namun menurut para penyelenggara Pendidikan Terbuka ada perbedaan yang khas antara Pendidikan Terbuka dan BT/JJ. Apakah perbedaannya?

Seperti halnya dalam BT/JJ, siswa Pendidikan Terbuka dapat belajar dari jauh, maksudnya belajar jauh atau terpisah dari guru atau dosen dan mungkin juga jauh dari lembaga penyelenggaranya. Sebagai contoh, beribu-ribu mahasiswa Universitas Terbuka menghabiskan sebagian waktu belajarnya untuk belajar sendiri di tempat mereka masing-masing. Mereka menghadiri pelajaran secara tatap muka dengan dosen atau tutor hanya dalam waktu-waktu tertentu saja. Namun demikian belajar terbuka (open learning) atau pendidikan terbuka dapat terjadi di ruang kuliah yang penuh dengan siswa.

Menurut Race (1989), seorang siswa yang sedang belajar sendiri dengan mempelajari buku teks, buku acuan, atau hand out untuk menjawab pertanyaan yang diberikan oleh guru, dapat dikatakan bahwa dia sedang belajar secara terbuka (open learning), sungguhpun hal itu dilakukan dalam kelas bersama dengan siswa lain. Dengan pengertian yang sama, belajar terbuka dapat terjadi di laboratorium, pusat pelatihan, tempat lokakarya, dan sebagainya. Pokoknya hampir di semua tempat belajar terbuka dapat terjadi, tidak peduli apakah pada saat itu siswa itu menjadi bagian dari kelompok atau sendirian saja.


Konsep di atas diterapkan dalam sistem SLTP Terbuka. Setiap hari siswa wajib belajar di Tempat Kegiatan Belajar (TKB) bersama siswa lain. Namun demikian masing-masing siswa aktif belajar sendiri secara mandiri. Di TKB itu mereka tidak belajar dengan mendengarkan guru mengajar, melainkan belajar sendiri dengan menggunakan modul dengan bimbingan terbatas dari tutor yang disebut guru pamong. Sungguhpun duduk di satu ruangan bersama dengan siswa lain, mereka boleh mempelajari modul yang berbeda-beda.

Apakah arti terbuka dalam konsep “pendidkan terbuka” atau “belajar terbuka” itu? Terbuka berarti bahwa siswa atau peserta pendidikan lebih leluasa dalam menentukan pilihan dari pada siswa pendidikan konvensional. Leluasa dalam memilih apa?

• Siswa atau peserta didik mempunyai keleluasaan dalam menentukan kecepatan belajarnya. Lama waktu untuk mempelajari sesuatu penggalan isi pelajaran (learning chunk) ditentukan oleh siswa sendiri. Keleluasaan seperti ini tidak dimiliki oleh siswa pendidikan konvensional, sebab dalam sistem pendidikan konvensional siswa harus menyesuaikan kecepatan belajarnya dengan kecepatan guru dalam mengajar. Kalau dosen atau guru memberikan penjelasan mengenai sesuatu topik terlalu lambat atau lama siswa yang pandai harus tetap mengikutinya sungguhpun mereka telah mengert dan menjadi bosan. Sebaliknya kalau guru mengajar terlalu cepat siswa yang lamban harus berusaha untuk mengikutinya meskipun barangkali mereka mendapatkan kesulitan dalam memahaminya, sehingga akibatnya dapat menjadi frustrasi.
• Siswa atau peserta didik mempunyai keleluasaan dalam memilih tempat belajar. Belajar terbuka dapat dilakukan di rumah, di perpustakaan, di tempat kerja, atau di mana saja yang dianggap tepat oleh siswa itu sendiri.
• Siswa atau peserta didik dapat menentukan sendiri waktu belajarnya, sesuai dengan kemauan dan waktu yang dimilikinya.
• Siswa atau peserta didik dapat menentukan sendiri cara belajar yang sesuai untuk dirinya. Siswa dapat menyusun rencana belajar dengan memilih sebuah modul dan dipelajarinya sampai selesai dalam batas waktu tertentu, baru kemudian pindah ke modul lain. Siswa juga bebas menentukan apakah semua modul akan dipelajari setiap hari. Dalam hal ini masing-masing modul diberi jatah waktu tertentu, misalnya masing-masing 60 menit. Kalau jumlah modulnya ada 4 buah, maka setiap hari belajar 4 x 60 menit=240 menit. .Siswa juga bebas menentukan media belajar yang akan digunakannya, apakah membaca buku, melihat program video, belajar dengan bantuan komputer, mendengarkan kaset audio, menghadiri diskusi atau seminar, dan sebagainya.

Pengertian terbuka seringkali juga mengacu pada kriteria penerimaan siswa. Banyak Pendidikan Terbuka yang membebaskan calon siswa dari persyaratan masuk atau kualifikasi dalam menerima mahasiswa baru. Di samping itu siswa juga dapat tidak aktif untuk sementara waktu, dan kemudian aktif lagi di lain waktu.

c. Distance Teaching, Distance Learning, dan Distance Education
Mungkin Anda menjadi bingung bila membaca istilah-istilah yang hampir sama di atas, lebih-lebih karena istilah-istilah tersebut seringkali digunakan secara bergantian atau tumpang tindih (interchangable).

Keegan (1986) membedakan ketiga istilah tersebut sebagai berikut.
Distance Teaching berusaha mengembangkan bahan belajar mandiri yang bermutu yang dapat digunakan oleh lembaga pendidikan untuk memberikan pelajaran dari jauh. Orang-orang yang menggunakan istilah ini lebih menekankan pada penyediaan bahan belajar untuk mengajar, tetapi kurang memperhatikan bagaimana proses belajar dapat terjadi pada diri siswa. Padahal bahan belajar yang dikembangkan dengan biaya mahal itu kadang-kadang tidak dapat mengajarkan apa-apa, karena tidak dipakai oleh siswa atau karena siswa tidak tahu cara memakainya. Dengan perkataan lain istilah distance teaching itu terlalu berorientasi pada guru (teacher oriented).

Sebaliknya Distance Learning lebih banyak menekankan pada proses belajar siswa. Orang yang menggunakan istilah ini banyak memikirkan mengenai bantuan-bantuan yang perlu diberikan kepada siswa supaya mereka belajar dan dapat memahami isi pelajarannya. Tetapi sayang orang-orang ini kurang memikirkan bagaimana bahan belajar jarak jauh yang bermutu dan mudah dipelajari siswa harus dikembangkan. Dengan perkataan lain istilah distance learning terlalu berorientasi pada siswa (student oriented).

Istilah Distance Education merupakan perpaduan istilah Distance Teaching dan Distance Learning tersebut dan lebih tepat untuk digunakan. Dalam sistem Distance Education siswa belajar secara terpisah dari guru, karena itu bahan belajar yang digunakan harus disusun secara khusus supaya relatif lebih mudah untuk dipelajari siswa sendiri. Bahan belajar ini tidak cukup hanya dikembangkan oleh ahli isi pelajaran (content specialist) sendiri saja, melainkan perlu melibatkan ahli pengembang pembelajaran, ahli media, dsb. dalam penyusunannya. Namun perlu disadari bahwa betapapun bahan belajar itu telah disusun supaya dapat dicerna sendiri oleh siswa, kesulitan-kesulitan yang dihadapi siswa waktu belajar secara mandiri selalu ada. Karena itu perlu adanya bantuan pelayanan dan bantuan belajar bagi siswa. Dengan perkataan lain perlu adanya sistem pengelolaan belajar jarak jauh yang baik supaya di samping penyediaan bahan belajar yang baik dapat juga disediakan bantuan belajar yang cukup.

d. External Study, Home Study dan Independent Study
Istilah-istilah ini seringkali dipakai orang untuk pengertian BT/JJ.
External Studies. External studies adalah istilah yang dipakai secara luas di Australia. Istilah ini menggambarkan etos Belajar Terbuka/Jarak Jauh yang dijumpai di universitas-universitas di Australia. Istilah External Studies mengandung arti “di luar” tetapi “tidak terpisah” dari tanggung jawab staf dosen dari suatu universitas atau perguruan tinggi. Jelasnya staf dosen yang sama mempunyai dua kelompok siswa yang berbeda. Kelompok pertama disebut kelompok “on campus” adalah kelompok siswa yang belajar di kampus seperti laiknya mahasiswa yang belajar di universitas. Kelompok kedua disebut kelompok “external” atau “off campus”. Kelompok yang kedua ini tidak harus mengikuti kuliah di kampus tetapi belajar sendiri di luar kampus. Namun demikian tujuan yang ingin dicapai, dan bahan belajar yang akan dipelajari siswa external itu perlu dikonsultasikan dan didiskusikan dengan dosen di kampus. Dengan demikian dosen di kampus harus menyiapkan kedua kelompok mahasiswa tadi supaya mereka dapat menempuh ujian yang sama untuk mendapatkan gelar yang sama.

Home Study. Menurut Keegan (1986) istilah home study diciptakan pada saat para Direktur Sekolah Korespondensi mengadakan konferensi dan mendirikan asosiasi yang disebut National Home Study Council bukannya National Correspondence Study Council. Istilah Home Study ini hanya dipakai di Amerika Serikat dan hanya mengacu pada pendidikan lanjutan untuk orang dewasa. Home Study bukan bagian dari universitas, melainkan sekolah korespondensi untuk orang-orang dewasa di Amerika Serikat. Dalam sistem ini siswa tidak harus belajar di sekolah atau di pusat pendidikan dan pelatihan. Walaupun istilah yang dipakai home study, tetapi dalam praktiknya mahasiswanya tidak selalu atau tidak hanya belajar di rumah saja. Biasanya sebagian bahan belajar dipelajari di rumah, sebagian yang lain dipelajari di Pusat-pusat Sumber Belajar, di perpustakaan, di pusat-pusat pelatihan, atau di tempat-tempat lain yang dipandang sesuai bagi mereka.

Independent Study. Istilah ini diperkenalkan oleh Charles Wedemeyer dari Universitas Wiscounsin sebagai istilah umum untuk jenis-jenis pendidikan yang di Amerika Serikat biasa disebut sebagai “belajar melalui korespondensi, pendidikan terbuka, pengajaran melalui radio dan TV, atau belajar mandiri.” Sedangkan di Eropa jenis-jenis yang disebutkan tadi digolongkan ke dalam Belajar Terbuka/Jarak Jauh.

Istilah Independent Study ini seringkali dipakai sebagai ganti istilah Belajar Terbuka/Jarak Jauh di Amerika Serikat. Kelemahan istilah ini kadang-kadang ditafsirkan sebagai ketidakterikatan pada lembaga pendidikan, Padahal Belajar Terbuka/Jarak Jauh itu selalu terikat dan dikelola oleh suatu lembaga pendidikan. Di Amerika Serikat sendiri orang seringkali ragu-ragu untuk menggunakan istilah ini sebab istilah tersebut sudah sering dipakai sebagai pengganti istilah belajar secara individual. Memang proses belajar dalam sistem PT/JJ seringkali dilakukan secara individual, tetapi tidak semua belajar secara individual adalah pendidikan jarak jauh. Pada sistem belajar konvensional kadang kala siswa diminta belajar secara individual. Tujuan dan hasil yang ingin dicapai ditentukan melalui kontrak yang disepakati oleh dosen dan mahasiswa secara individual.

B. Penerapan Model Pembelajaran Jarak Jauh untuk Meningkatkan Kompetensi Guru Di Sekolah
Salah satu komponen penting dalam upaya meningkatkaan mutu pendidikan nasional adalah adanya guru yang berkualitas, profesional dan berpengetahuan. Guru, tidak hanya sebagai pengajar, namun guru juga mendidik, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik.

Dalam menjalankan tugasnya sebagai agen pembelajaran, maka guru diharapkan memiliki empat kompetensi dasar, yaitu kompetensi pedagogis, kompetensi sosial, kompetensi kepribadian dan kompetensi profesional. Menurut Zamroni (2006), guru yang profesional adalah guru yang menguasai materi pembelajaran, menguasai kelas dan mengendalikan perilaku anak didik, menjadi teladan, membangun kebersamaan, menghidupkan suasana belajar dan menjadi manusia pembelajar (learning person).
Selain sebagai sebuah profesi, seorang guru adalah motivator dan fasilitator dalam transformasi IPTEK pada anak didik. Oleh karena itu, guru pada abad ke XXI adalah seorang saintis yang menguasai ilmu pengetahuan yang ditekuninya. Sebagai ilmuwan, guru tergolong elit intelektual. Guru bukanlah profesi kelas dua. Sebab itu, calon guru sebaiknya adalah insan terpilih untuk jabatan profesi mulia.

Menurut Rustaman (2006) profesi guru adalah profesi “saintis plus” yang harus menguasai IPTEK dan mampu sebagai motivator dan fasilitator. Sebagai motivator dan fasilitator proses belajar, guru adalah seorang komunikator ulung karena ia harus mampu memberi jiwa terhadap informasi yang diberikan oleh saran komunikasi yang super canggih.

Pasca pemberlakuan UU Guru dan Dosen, guru yang mengajar di pendidikan dasar dan pendidikan menengah disyaratkan memiliki kualifikasi pendidikan sarjana (S-1) atau diploma IV (D-IV). Karena itu, guru yang belum berkualifikasi sarjana diberikan kesempatan mencapai kualifikasi minimal tersebut dalam waktu 10 tahun. Berdasarkan data Balitbang Depdiknas (2004) guru SMA yang berkualifikasi sarjana baru 72,75 persen; guru SMK 62,16 persen; SMP 42,03 persen; SD 8,30 persen dan TK 3,88 persen. Sisanya sekitar 1,9 juta orang belum berkualifikasi sarjana. Semakin tinggi kualitas guru diharapkan kualitas pendidikan nasional akan meningkat. Faktanya, hingga kini kualitas pendidikan masih sangat rendah. Menurut Shanghai Jiaotong University (2005) tak satupun perguruan tinggi di Indonesia yang masuk rangking dalam 100 perguruan tinggi terbaik di Asia dan Australia.

Pendidikan merupakan pilar utama dalam membangun sumber daya manusia (SDM) berkualitas. Semakin terdidik suatu masyarakat semakin besar peluang memiliki SDM yang berkualitas. Semakin tinggi kualitas SDM, semakin besar kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraan. Kuatnya kaitan antara pendidikan dengan SDM dalam mengukur keberhasilan pembangunan SDM suatu negara diperlihatkan oleh United Nation Development Program (UNDP).

Dalam kondisi tersebut, perlu dicari alternatif lain seperti menerapkan pendidikan tinggi jarak jauh (PTJJ) untuk menyediakan kesempatan belajar yang lebih murah dan pemerataan kesempatan belajar di pendidikan tinggi. Gagasan tentang universitas terbuka dan PTJJ, virtual university, e-learning, open learning, flexible learning dan home schooling menjadi komponen penting dalam strategi nasional dan global untuk mendidik mahasiswa dalam jumlah besar.

Ditinjau dari metode penyampaian materi ajar dalam proses pembelajaran di perguruan tinggi, dikenal dua model pendidikan, yaitu model pendidikan tinggi tatap muka (konvensional) dan PTJJ. Berbeda dengan pendidikan tatap muka, pada PTJJ, dosen dan mahasiswa dibatasi oleh jarak karena faktor geografis. Komunikasi antara dosen dan mahasiswa lebih banyak dilakukan melalui surat, telepon, faksimili atau e-mail (Rusfidra, 2002, 2006a,b).
C. Kualitas Dalam Pembelajaran Pendidikan Terbukan dan Jarak Jauh
Negara Indonesia yang tersusun dari 17.508 buah pulau terbentang dari Sabang sampai Merauke memiliki potensi besar dalam mengembangkan sistem PTJJ, meskipun masih banyak sinyalemen di masyarakat bahwa PTJJ dianggap sebagai pendidikan kelas dua. Anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar. Tuduhan lain yang agak mengusik pelaku PTJJ adalah rendahnya mutu lulusan institusi PTJJ. Namun hal itu berhasil ditepis oleh Selim (1989) dalam Suparman (1989). Di Australia, hasil studi Selim (1989) menunjukkan bahwa prestasi mahasiswa PTJJ justru lebih baik dari mahasiswa perguruan tinggi konvensional. Begitu pula temuan Sunarwan (1982), tidak terdapat perbedaan signifikan prestasi belajar antara siswa pendidikan yang menggunakan modul dan pengajaran tatap muka.
Meskipun memiliki beberapa keunggulan, namun sistem PTJJ yang dikembangkan UT tak bebas dari kritik. Sebagai misal, salah satu kritik itu adalah berita di harian Kompas (9/5/2005) yang berjudul ”Kuliah jarak jauh tidak menjamin kompetensi guru”. Kritik terbuka Markus Wanandi (Direktur Yayasan Perkumpulan Strada, Jakarta), terkesan mendiskreditkan UT. Markus mengaku pernah memecat seorang guru lulusan UT yang bekerja di sekolahnya, karena tidak kompeten dalam mengajar.

Tuduhan Markus mengenai rendahnya kompetensi guru lulusan UT sangat prematur dan dapat diperdebatkan. Perlu diketahui bahwa guru-guru yang melanjutkan pendidikan di UT merupakan lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) dan LPTK. Diasumsikan metode belajar mengajar dan teknik pengelolaan kelas sudah mereka dapatkan di lembaga pendidikan terdahulu. Lagi pula, guru-guru tersebut telah berpengalaman mengajar bertahun-tahun. Oleh karena itu, tidak tepat bila Markus menyalahkan UT semata-mata. Ketidakakuratan Markus yang lain adalah kekeliruan dalam penarikan kesimpulan. Bagaimana mungkin hanya dari satu kasus, Markus lantas membuat kesimpulan umum. Penarikan kesimpulan seperti itu tidak memenuhi kaidah metode ilmiah dengan metode statistik yang sahih (Rusfidra, 2006b).











BAB III
PENUTUP

A. SIMPULAN
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa :Keberhasilan pendidikan jarak jauh ditunjang oleh adanya interaksi maksimal antara Guru dan siswa, antara siswa dengan berbagai fasilitas pendidikan, antara siswa dengan siswa lainnya, adanya pola pendidikan aktif dalam interaksi tersebut.
Bila pendidikan bebasis pada web, maka diperlukan adanya pusat kegiatan mahasiswa, interaksi antar grup, administrasi penunjang sistem, pendalaman materi, ujian, perpustakan digital, dan materi online. Dari sisi Teknologi informasi; dunia Internet memungkinkan perombakan total konsep-konsep pendidikan yang selama ini berlaku. Teknologi informasi & telekomunikasi dengan murah & mudah akan menghilangkan batasan-batasan ruang & waktu yang selama ini membatasi dunia pendidikan.
Beberapa konsekuensi logis yang terjadi antara lain adalah:
1. Siswa dapat dengan mudah mengambil matakuliah dimanapun di dunia tanpa terbatas lagi pada batasan institusi & negara;
2. Siswa dapat dengan mudah berguru pada orang-orang ahli / pakar di bidang yang diminatinya. Cukup banyak pakar di dunia ini yang dengan senang hati menjawab berbagai pertanyaan yang datang;
3. Belajar bahkan dapat dengan mudah diambil di berbagai penjuru dunia tanpa tergantung pada si siswa belajar. Artinya konsep Pendidikan terbuka akan semakin membaur pada zaman ini. Konsekuensi yang akan.
4. Guru adalah motivator dan fasilitator dalam transformasi IPTEK pada anak didik. Guru bukanlah profesi kelas dua. Sebab itu, calon guru sebaiknya adalah insan terpilih untuk jabatan profesi mulia.
5. Pembelajaran jarak jauh merupakan salah satu solusi dalam meningkatkan kompetensi guru IPA menjadi guru berpengetahuan, cerdas, kreatif, inovatif dan produktif.
6. Ciri utama PTJJ adalah terpisahnnya dosen dengan mahasiswa. Sebagian besar komunikasi antara dosen dan mahasiswa dilakukan melalui surat, telepon, faksimili atau e-mail.




























DAFTAR PUSTAKA

 Aristohadi. 2008. Konsepsi Pendidikan Terbuka/Jarak jauh http://aristohadi.wordpress.com. 13 Oktober 2008, 20:48 WIB
 http://saina-kurtekdik.blogspot.com. 2008. Pengembangan Model Pembelajaran Jarak Jauh. 28 Oktober 2008, 10:03 WIB
 http://anakciremai.blogspot.com. 2008. 29 Oktober 2008, 10:55 WIB
 http://tpers.net. 2008. Model Pendidikan dengan Sistem Belajar Mandiri. 29 Oktober 2008, 10:38 WIB
 Rusfidra. 2008. Penerapan Model Pembelajaran Jarak Jauh untuk Meningkatkan Kompetensi Guru IPA. http://undp.org. 29 Oktober 2008, 10:46 WIB
 Sudjana, D. (2000). Strategi Pembelajaran. Bandung : Falah Production. 29 Oktober 2008, 10:54 WIB

baca selengkapnya......

Sabtu, 31 Mei 2008

TV Pendidikan SMKN 1 Kedawung

Alhamdulillah, pada hari selasa tanggal 5 Februari 2008 telah berhasil uji coba penyiran televisi edukasi pertama di SMKN 1 Kedawung. Siaran tv edukasi ini mengudara pada frekwensi VHF 222, dan signalnya haya bisa ditangkap dilingkungan sekolah dan sekitarnya. TV ini hanya diperuntukan kepentingan media pembelajaran di sekolah kami dan sekitarnya.

Perangkat sederhana, biaya ringan dan motifasi yang besar untuk pengembangan media pembelajaran ini mendorong dibangunnya media tv edukasi ini. Semua ini ditunjukan untuk memberikan kontribusi bagi pengembangan proses pembelajaran di sekolah sehingga diharapkan dapat membantu peningkatan mutu pendidikan khususnya di SMKN 1 Kedawung, Kabupaten Cirebon.

Dengan mengudaranya tv edukasi ini diharapkan menjadi tatangan tersendiri bagi kami, sehingga kami punya pr besar untuk mengembangkan konten siaran yang akan dijadikan sebagai media pembelajaran.

Banyak pihak yang akan terlibat, semua warga sekolah bahkan masyarakat sekitar akan terdorong untuk mengembangkan kreatifitasnya. Guru dan siswa yang akan menjadi objek dan subyek untuk pengembangannya.

Pengembangan perangkat penyiaran bukan menjadi prioritas, tetapi konten siaran menjadi target utama, sehingga beberapa semester kedepan fokus pada set up program penyiaran. Setelah konten bisa memenuhi target kebutuhan warga sekolah dan sekitarnya, selanjutnya kami akan berbenah untuk pengembangan perangkat penyiaran, sehingga bisa dinikmati oleh masyarat lebih luas lagi. Dengan demikian tujuan jangka panjangnya tv ini diharapkan akan menjadi icon untuk pendidikan di cirebon dan sekitarnya.

Semua akan beejalan sesuai dengan yang diharapkan apabila semua pihak memberikan dukungan.

Sumber : ivan72id.blogspot.com

baca selengkapnya......

"PENGAJARAN PENDIDIKAN MEDIA"

Saat ini, kita semua sedang berada dalam sebuah revolusi yang berkaitan dengan teknologi dan budaya. Pengertian ‘revolusi' ini sesungguhnya lebih cocok bagi mereka yang saat ini sudah dewasa. Namun bagi anak-anak dan remaja, dunia mereka adalah betul-betul dunia yang tumbuh dalam era digital. Media interaktif, bagi anak-anak dan remaja bukanlah hal baru karena hal itu sudah mereka kenal sejak mereka lahir. Semenjak video game mulai populer pada tahun 1980an, maka perkembangan industri digital menjadi semakin cepat yang didukung dengan semakin populernya internet di kalangan masyarakat.

Perkembangan industri digital yang sangat cepat itu menjadi tantangan berat bagi dunia pendidikan dan orangtua dalam menyiapkan anak didik untuk dapat menghadapi ‘banjir informasi' yang dibawa oleh media digital melalui beraneka ragam bentuk dan format. Tanpa ada penyiapan yang sistematis dan sungguh-sungguh, maka bisa diperikirakan bahwa anak-anak dan remaja akan menjadi korban dari perkembangan teknologi media yang didominasi dengan hiburan yang cenderung tidak sehat dengan muatan bisnis yang kental.

Untuk media televisi misalnya, dampak negatif dari tayangan-tayangan yang tidak aman tentunya perlu diwaspadai. Dewasa ini, media televisi sangat memengaruhi anak-anak dengan program-programnya yang banyak menampilkan adegan kekerasan, hal-hal yang terkait dengan seks, mistis, dan penggambaran moral yang menyimpang. Tayangan televisi yang sangat liberal membuat tidak ada lagi jarak pemisah antara dunia orang dewasa dan anak-anak. Fenomena seperti ini tidak hanya terjadi di negara-negara liberal, namun juga di negara-negara berbudaya timur, karena besarnya infiltrasi media televisi di berbagai penjuru dunia. Dengan kata lain, anak-anak zaman sekarang memiliki kebebasan untuk melihat apa yang seharusnya hanya ditonton oleh orang dewasa.

Di Amerika serikat, dampak media massa terutama televisi dan video game, semakin membuat para orangtua kuatir. Data yang ada menunjukkan bahwa para remaja Amerika Serikat dengan rata-rata usia 15 tahun, menyaksikan aksi pembunuhan brutal sebanyak 25 ribu kali dari televisi dan 200 ribu kali tindak kekerasan dari media massa lainnya. Antara tahun 1950 sampai 1979, terjadi peningkatan jumlah kejahatan berat yang dilakukan oleh anak-anak muda di bawah 15 tahun di AS, sebesar 110 kali lipat, yang berarti peningkatan sebesar 11 ribu persen ("Fenomena Kekerasan Masyarakat Modern", 2007).

Interaksi Anak dengan Media

Dari waktu ke waktu, banyak sekali kasus mengenai dampak media terutama siaran televisi di Indonesia. Misalnya, akibat meniru adegan di televisi, seorang anak kehilangan nyawanya. Maliki yang berusia tiga belas tahun, tewas setelah mempraktikkan adegan bunuh diri dalam film India di televisi. Rentetan kasus dampak negatif televisi seakan tidak ada habisnya. Masih segar dalam ingatan, kasus "Smack Down" yang juga menelan korban jiwa. Reza, seorang siswa Sekolah Dasar menjadi korban, setelah temannya mempraktikkan adegan smack down kepadanya. Ternyata kasus Reza bukan kasus yang terakhir, ada kasus lainnya di Bandung yang berkaitan dengan tayangan Smack Down. Angga Rakasiwi yang berusia 9 tahun, seorang murid Sekolah Dasar Babakan Surabaya 7 di Kiaracondong, memar-memar karena bermain ala Smack Down dengan teman sekelasnya. Raviansyah (5 tahun), murid sebuah Taman Kanak-kanak di Margahayu Kecamatan Margacinta, terluka setelah bermain Smack Down dengan temannya. Raviansyah bahkan kabarnya sempat muntah darah.

Dampak negatif televisi tidak hanya pada perubahan perilaku, tetapi juga kepada karakter dan mental penontonnya, terutama anak-anak. Stasiun televisi cenderung menyajikan tayangan yang homogen pada pemirsanya. Meski judulnya beragam namun sebenarnya isinya hampir seragam. Beberapa jenis tayangan tersebut di antaranya adalah, sinetron yang kerap dibumbui dengan kekerasan, hedonisme, seks, mistik atau berbagai tayangan infotainment yang disuguhkan dari pagi hingga petang. Ketika diprotes, produser dan pengelola siaran televisi akan beralasan bahwa tayangan-tayangan tersebut dibuat sesuai selera pasar. Buktinya ratingnya tetap tinggi yang berarti diminati oleh masyarakat.

Kasus lain adalah keluhan seorang ibu karena anaknya yang berusia 3,5 tahun bicaranya cadel dan tergagap-gagap. Ternyata anak tersebut meniru karakter utama dalam sinetron Si Yoyo. Sinetron tersebut menampilkan sosok pemuda lugu, yang memiliki perilaku dan pola pikir seperti anak kecil. Terbukti bahwa sinetron tersebut telah menjadi "sihir" bagi anak-anak, sehingga banyak yang meniru karakter si Yoyo.

Setidaknya ada 3 hal penting yang perlu disimak dalam menelaah interaksi antara anak dengan media massa: Pertama, intervensi media terhadap kehidupan anak akan makin bertambah besar dengan intensitas yang semakin tinggi. Pada saat budaya baca belum terbentuk, budaya menonton televisi sudah sangat kuat. Kedua, kehadiran orangtua dalam mendampingi kehidupan anak sehari-hari akan semakin berkurang akibat pola hidup masyarakat modern yang menuntut aktivitas di luar rumah. Ketiga, persaingan bisnis yang makin ketat antar media dalam merebut perhatian khalayak termasuk anak-anak telah mengabaikan tanggungjawab sosial, moral, dan etika, serta pelanggaran hak-hak konsumen. Hal ini diperparah dengan sangat lemahnya regulasi di bidang penyiaran.

Munculnya berbagai dampak tersebut, pada umumnya dapat dilihat sebagai akibat dari kurangnya pemahaman orangtua dalam mengatur dan menjembatani interaksi anak dengan televisi. Dalam berbagai kesempatan pertemuan dengan orangtua dan guru, mereka merasa tidak berdaya dalam menghadapi persoalan ini. Mereka lebih meletakkan harapan pada peran pemerintah dan industri penyiaran televisi agar mendisain ulang program siaran mereka yang sesuai dengan nilai-nilai dan budaya Indonesia sehingga tidak berpengaruh buruk pada anak-anak. Sikap ketidakberdayaan inilah yang harus dikikis dengan memberikan penyadaran bahwa kuncinya bukanlah pada orang lain atau pihak lain, tetapi ada pada si orangtua dan anak itu sendiri. Karena, baik pemerintah maupun industri penyiaran televisi adalah dua pihak yang pada saat ini tidak bisa diharapkan dan tidak akan mampu memenuhi harapan para orangtua.

Untuk mengantisipasi dampak-dampak negatif buruk dari televisi tentunya tidak dapat didiamkan begitu saja. Dibutuhkan sebuah kemampuan untuk menyikapi media ini dengan bijaksana. Tapi bagaimana mungkin masyarakat dapat bersikap kritis terhadap media jika masyarakat tidak diajarkan bagaimana caranya. Hal ini juga menjadi salah satu kelemahan kurikulum pendidikan di Indonesia. Pendidikan mengenai media hampir terlupakan. Agenda pendidikan media sama sekali belum diperhitungkan oleh penyelenggara negara, khususnya pemegang otoritas pendidikan. Padahal media memiliki kekuatan untuk menjalankan hidden curriculum (kurikulum terselubung) baik yang konstruktif maupun destruktif.



Konsep Media Literacy dan Pengajarannya

Media Literacy di Indonesia lebih dikenal dengan istilah Melek Media. James Potter dalam bukunya yang berjudul “Media Literacy” (Potter, 2001) mengatakan bahwa media Literacy adalah sebuah perspekif yang digunakan secara aktif ketika, individu mengakses media dengan tujuan untuk memaknai pesan yang disampaikan oleh media. Jane Tallim menyatakan bahwa media literacy adalah kemampuan untuk menganalisis pesan media yang menerpanya, baik yang bersifat informatif maupun yang menghibur. Allan Rubin menawarkan tiga definisi mengenai media literacy.

Yang pertama dari National Leadership Conference on Media Literacy (Baran and Davis, 2003) yaitu kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan mengkomunikasikan pesan. Yang kedua dari ahli media, Paul Messaris, yaitu pengetahuan tentang bagaimana fungsi media dalam masyarakat. Yang ketiga dari peneliti komunikasi massa, Justin Lewis dan Shut Jally, yaitu pemahaman akan batasan-batasan budaya, ekonomi, politik dan teknologi terhadap kreasi, produksi dan transmisi pesan. Rubin juga menambahkan bahwa definisi-definisi tersebut menekankan pada pengetahuan spesifik, kesadaran dan rasionalitas, yaitu proses kognitif terhadap informasi. Fokus utamanya adalah evaluasi kritis terhadap pesan. Media literasi merupakan sebuah pemahaman akan sumber-sumber dan teknologi komunikasi, kode-kode yang digunakan, pesan-pesan yang dihasilkan serta seleksi, interpretasi dan dampak dari pesan-pesan tersebut.

Terdapat dua pandangan mengenai media literacy yaitu dari Art Silverblatt dan James Potter (Potter, 2001). Silverblatt menyatakan bahwa media literacy memiliki lima elemen yaitu:
(1) Sebuah kesadaran akan dampak media terhadap individu dan masyarakat
(2) Sebuah pemahaman akan proses komunikasi massa
(3) Pengembangan strategi-strategi yang digunakan untuk menganalisis dan membahas pesan-pesan media
(4) Sebuah kesadaran akan isi media sebagai ‘teks’ yang memberikan wawasan dan pengetahuan ke dalam budaya kontemporer manusia dan diri manusia sendiri
(5) Peningkatan kesenangan, pemahaman dan apresiasi terhadap isi media.

Di sisi lain, Potter (Baran and Davis, 2003) memberikan pendekatan yang agak berbeda dalam menjelaskan ide-ide mendasar dari media literacy, yaitu:
(1) Sebuah rangkaian kesatuan, yang bukan merupakan kondisi kategorikal
(2) Media literacy perlu dikembangkan dengan melihat tingkat kedewasaan seseorang
(3) Media literacy bersifat multidimensi, yaitu domain kognitif yang mengacu pada proses mental dan proses berpikir, domain emosi yaitu dimensi perasaan, domain estetis yang mengacu pada kemampuan untuk menikmati, memahami dan mengapresiasi isi media dari sudut pandang artistik, dan domain moral yang mengacu pada kemampuan untuk menangkap nilai-nilai yang mendasari sebuah pesan
(4) Tujuan dari media literacy adalah untuk memberi kita kontrol yang lebih untuk menginterpretasi pesan.

Di banyak negara maju, pendidikan melek media sudah menjadi agenda yang penting dengan memasukkannya ke dalam satuan kurikulum pendidikan. Inggris, Jerman, Kanada, Perancis, dan Australia merupakan contoh negara yang telah melaksanakan pendidikan melek media di sekolah.

Tabel di bawah menunjukkan perbandingan perkembangan melek media di berbagai negara (Media Literacy: Ability of Young People to Function in the Media Society, 2000)


Negara


Sistem dan aktivitas terkait dengan pendidikan melek media

Inggris


· Pengenalan pendidikan melek media dalam pendidikan dasar dan menengah ditujukan untuk memahami dan menganalisis isi media terutama sebagai bagian dari mata pelajaran bahasa.

· Kerjasama antar kementerian melalui "Media Education Strategy Committee" telah dibentuk dan mengumumkan kebijakan pemerintah terkait dengan pendidikan melek media pada musim panas tahun 2000.

Jerman


· Setiap region telah mengadakan pelatihan melek media bagi guru.

· Pihak penyiaran regional telah melaksanakan penelitian terkait dengan pendidikan melek media dan mendukung program produksi media yang dilakukan oleh masyarakat..

Perancis


· Diskusi mengenai keterkaitan antara media dan opini publik merupakan aktivitas wajib dalam kurikulum pendidikan dasar.

· Lembaga penyiaran publik La Cinquieme bekerja sama dengan Le Centre National de Documentation Pedagogique (CNDP), secara periodik menyiarkan program-program melek media.

Kanada


· Sejak musim gugur tahun 1999, setiap provinsi diharuskan untuk melaksanakan program pendidikan melek media. (Terutama dalam mata pelajaran bahasa dan seni)

· The Canadian Radio-television dan Telecommunications Commission (CRTC) mendukung produksi program-program yang dibuat oleh komunitas.

Amerika Serikat


· Sebagian besar negara bagian telah mengadopsi pendidikan melek media ke dalam pedoman pengajaran mereka. (Terutama di mata pelajaran bahasa)

· The Public Broadcasting System (PBS) dan the National Cable Television Association (NCTA) memproduksi dan menyiarkan program-program mengenai melek media.

Australia


· Pendidikan melek media telah diperkenalkan sebagai bagian dari mata pelajaran bahasa, seni dan teknologi ke dalam kurikulum pendidikan nasional.

· The Australian Broadcasting Authority (ABA) mempromosikan pendidikan melek media dengan cara mengadakan konferensi internasional dan mempublikasikan informasi terkait dengan melek`media secara periodik.



Permulaan abad 21 menandakan perkembangan minat terhadap pendidikan media di beberapa negara. Melek media ini dibangun sebagai alat pendidikan untuk melindungi orang-orang dari dampak negatif media. Di tahun 1930, Inggris merupakan negara pertama yang memunculkan isu mengenai melek media. Sedangkan pada tahun 1960, Kanada memulai pendidikan melek medianya.

Kanada merupakan negara yang terutama mewajibkan melek media di kawasan Amerika Utara. Setiap provinsi di negara tersebut telah ditugaskan untuk melaksanakan pendidikan media dalam kurikulum. Peluncuran pendidikan melek dilakukan karena rentannya masyarakat Kanada terhadap budaya pop Amerika. Konsep melek media menjadi topik pendidikan yang pertama kali muncul di Kanada pada tahun 1978. Pada saat itu berdirilah Association for Media Literacy (AML), sebagai lembaga yang mengurusi segala hal yang berkaitan dengan pendidikan melek media di negara tersebut.

Kemudian Amerika Serikat, yang merupakan negara tetangga Kanada, juga akhirnya menyadari pentingnya terdapat pendidikan melek media di negaranya. Apalagi dampak negatif yang timbul akibat media (terutama televisi) sudah sangat dirasakan oleh masyarakat Amerika sendiri. Frank Baker, salah satu konsultan pendidikan media di Amerika Serikat, melihat beberapa materi yang telah dikembangkan oleh Kanada, Inggris dan Australia sebagai poin awal yang sangat baik, terutama dalam hal dukungan serta kurikulumnya. Hal tersebut dapat dijadikan sebagai suatu pengalaman untuk mengembangkan pendidikan melek media di Amerika Serikat.



Pendidikan Melek Media di Indonesia

Media massa, terutama televisi, merupakan sarana yang sangat efektif untuk mentransfer nilai dan pesan yang dapat memengaruhi khalayak secara luas. Bahkan, televisi dapat membuat orang kecanduan. Kini, media audio visual ini telah menjadi narkotika sosial yang paling efisien dan paling bisa diterima. Interaksi masyarakat, terutama anak-anak, terhadap televisi, sangat tinggi. Idealnya seorang anak hanya menonton tayangan televisi paling banyak dua jam sehari. Namun di Indonesia, setiap anak dapat menonton televisi selama 3,5 – 5 jam sehari. Anak-anak tidak hanya menonton tayangan yang memang ditujukan bagi mereka, tetapi juga tayangan yang belum pantas untuk mereka tonton. Kondisi ini terjadi tanpa pengawasan yang ketat dari orang tua.

Data pola menonton televisi pada anak-anak menunjukkan bahwa jumlah jam menonton anak-anak melampaui batas jam menonton ideal. Angka 35 jam per minggu, berarti sama dengan 1820 jam per tahun, padahal jam belajar anak sekolah dasar menurut United Nations Education and Culture Organization (UNESCO) tidak melebihi 1000 jam per tahun. Jika melihat perbandingan jumlah jam menonton televisi dengan jumlah jam belajar di sekolah, maka dikuatirkan proses pembentukan pola pikir, karakter, dan perilaku anak justru terbentuk melalui tayangan televisi.

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kekuatan televisi dalam memengaruhi anak-anak sangat besar. Di samping jumlah jam belajar yang lebih sedikit ketimbang jam menonton, lemahnya pengawasan orang tua terhadap tontonan anak, membuat anak-anak mereka tidak mempunyai filter terhadap tayangan yang tidak mendidik. Dari 1000 jam belajar per tahun di sekolah dasar, pendidikan tentang media hanya dibahas sangat sedikit dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Hal ini sungguh memprihatinkan mengingat interaksi anak-anak dengan televisi jauh lebih tinggi dibanding interaksinya dengan buku-buku pelajaran. Kondisi seperti ini menuntut anak untuk memiliki self sensor awareness terhadap media televisi. Semakin cepat media ini berkembang, maka daya tanggap anak terhadap dampaknya juga harus dibangun.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan, “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa, dan negara”. Dari rumusan tersebut, cukup jelas bahwa pendidikan melek media sangat sesuai dengan tujuan sistem pendidikan nasional di Indonesia.

Saat ini pendidikan melek media yang ada di Indonesia, masih sebatas gerakan-gerakan yang belum terstruktur. Gerakan-gerakan tersebut dilakukan melalui seminar, road show, dan kampanye-kampanye mengenai melek media. Contohnya seperti yang dilakukan oleh Yayasan Jurnal Perempuan pada tahun 2005, Komunitas Mata Air tahun 2004, Komisi Penyiaran Indonesia tahun 2005, Perhimpunan Masyarakat Tolak Pornografi tahun 2006, dan beberapa organisasi pemerhati media lainnya. Namun, gerakan-gerakan ini baru bisa dilakukan dalam skala kecil. Pendidikan melek media tidak cukup bila disampaikan hanya dalam seminar berdurasi dua jam, atau dalam kampanye dan roadshow selama seminggu. Akibatnya, upaya-upaya memperjuangkan pendidikan melek media belum dapat dirasakan oleh semua pihak secara luas.



Pendidikan Melek Media dan Kurikulum Sekolah Dasar

Adalah Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) yang pada tahun 2002 memulai sebuah proyek percontohan ‘Pembelajaran Melek Media’. Model ini diujicobakan pada Sekolah Dasar Negeri Johar Baru 01 Pagi, Jakarta Pusat. Sebelum melaksanakan model pertama ini, YKAI melakukan pelatihan terhadap para guru yang nantinya akan mengajarkan materi ini. Pelatihan tersebut bertujuan untuk mempersiapkan guru, agar dapat maksimal dalam mengajarkan pendidikan melek media terhadap anak didik. Selain itu, agar proses pendidikan melek media di sekolah dapat berjalan seiring dengan pendidikan di rumah, diadakan seminar bagi orangtua murid tentang pendidikan melek media. Seminar tersebut bermaksud untuk menyampaikan pentingnya pendidikan melek media diajarkan di sekolah dan di rumah. Melalui hal tersebut diharapkan kerjasama dan dukungan orangtua.

Titik berat materi Pembelajaran Melek Media ditekankan pada media televisi mengingat media ini paling banyak diakses oleh anak-anak. Pokok bahasan yang diajarkan adalah:

1. Mengapa melek media penting?
2. Jenis-jenis acara televisi
3. Fungsi dan pengaruh iklan
4. Karakteristik televisi
5. Dampak menonton televisi
6. Menonton TV dan kegiatan lain
7. Memilih acara televisi yang baik
8. Televisi sebagai sumber belajar

Setelah siswa mendapatkan pembelajaran mengenai melek media dengan fokus pada televisi (bagaimana berinteraksi dengan televisi secara kritis), maka diharapkan para siswa:
a. dapat memahami dan mengapresiasi program yang ditonton
b. menyeleksi jenis acara yang ditonton
c. tidak mudah terkena dampak negatif acara televisi
d. dapat mengambil manfaat dari acara yang ditonton.
e. pembatasan jumlah jam menonton

Sesudah proyek percontohan, tahun 2004 dan 2005 YKAI menyelenggarakan beberapa pelatihan guru tentang Pembelajaran Melek Media dengan dukungan dari UNESCO untuk tingkat SD dan SMP, dengan peserta dari Jabodetabek. Tahap berikutnya dilanjutkan oleh Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) yang pada tahun 2006 menyempurnakan modul pelatihan guru tentang Pembelajaran Melek Media dan mengujicobakannya dalam pelatihan guru pada bulan November 2006 dengan dukungan dari UNICEF.

Masih dengan dukungan dari UNICEF, selanjutnya YPMA pada tahun 2007 mengembangkan stimulan atau alat bantu pengajaran untuk memudahkan para guru dalam memberikan materi Pembelajaran Melek Media kepada siswa dengan cara yang menyenangkan dan tidak membosankan. Pengembangan itu juga mencakup pembuatan buku pegangan untuk guru dan siswa, serta pengembangan lembar kerja siswa.

Dengan supervisi selama pelatihan guru, kerangka berpikir ini dapat dijadikan pedoman oleh guru dalam menyusun materi pelajaran agar dapat diterapkan dalam setiap kelas di sekolah dasar dengan kedalaman materi dan cara yang berbeda-beda, disesuaikan dengan kondisi dan situasi sekolah masing-masing.

Selain SDN Johar Baru 01 Pagi, ada satu sekolah lain yang telah menerapkan pendidikan melek media menjadi satu mata pelajaran tersendiri, yaitu Sekolah Dasar Lentera Insan, Cimanggis, Depok. Sekolah ini. Pelajaran melek media di sekolah ini dilaksanakan dua minggu sekali, dalam satu jam pelajaran dengan durasi waktu 30 menit. Materi-materi yang disampaikan meliputi pengenalan akan berbagai media hingga bagaimana membangun daya kritis siswa dalam menggunakan media.

Model yang kedua dalam mengajarkan Pembelajaran Melek Media adalah dengan mengintegrasikan pendidikan melek media ke beberapa mata pelajaran. Untuk mewujudkan model ini, Len Masterman dalam tulisannya yang berjudul A Rationale for Media Education, (dealam Silalahi, 2007) menawarkan beberapa cara sederhana, yaitu:

· Sejarah

Guru dapat mengajarkan melek media dengan cara mengajak siswa untuk menilai secara kritis bukti-bukti sejarah yang ditampilkan melalui media. Bila berbicara dalam konteks televisi, maka sarana yang dapat dipakai adalah film-film bertemakan sejarah. Contoh yang paling sederhana adalah membahas film G 30 S/PKI yang ditayangkan di televisi setiap peringatan Hari Kesaktian Pancasila. Siswa diajak untuk melihat atau menbandingkan bukti-bukti sejarah, kronologi peristiwa, dan hal-hal lain yang mereka pelajari di kelas dengan apa yang ditampilkan oleh film tersebut.

· Ilmu Pengetahuan Alam

Guru dapat mengajak siswa untuk menilai gambaran, citra, fungsi dan status dari ilmu pengetahuan alam dan ilmuwan yang ditampilkan di media. Contohnya, ilmuwan sering digambarkan sebagai orang yang aneh karena terlalu pintar, kurang bersosialisasi karena terus-menerus berada di laboratorium, berkepala botak, dan berkacamata tebal. Guru dapat meminta penilaian siswa apakah siswa setuju dengan penggambaran tersebut atau tidak. Apakah menurut siswa penggambaran tersebut sesuai dengan kenyataan atau tidak. Selain itu, guru juga dapat menggunakan pesan-pesan iklan untuk dianalisis.

Guru dapat mengintegrasikan program-program populer tentang ilmu pengetahuan alam ke dalam kurikulum formal sekolah. Misalnya program televisi Galileo, untuk membahas mata pelajaran fisika, matematika dan biologi. Siswa bisa juga dimotivasi untuk memperhatikan isu-isu terkait dengan mata pelajaran yang ditayangakan melalui berita televisi seperti isu wabah Flu Burung. Dalam pelajaran Biologi, guru dan siswa dapat berdiskusi mengenai apa itu flu burung, apa bahayanya bagi unggas-unggas dan apakah bisa menular ke manusia, apakah penanggulangan flu burung dengan membunuh unggas-unggas ada dianggap sudah tepat? Guru dapat menanyakan pendapat siswa mengenai hal-hal tersebut. Aktivis ini diharapkan dapat membangun daya kritis siswa terhadap informasi yang diperoleh dari media, terutama televisi.

· Ilmu-ilmu sosial dan pendidikan politik

Guru dapat mengajak siswa untuk membandingkan representasi media dengan infromasi-informasi yang didapat dari buku-buku pelajaran dan yang dipelajari di kelas. Misalnya, siswa diminta menjelaskan bagaimana televisi menggambarkan orang kulit hitam, orang Tionghoa dan kelompok-kelompok minoritas lainnya dalam masyarakat. Siswa dimintai pendapatnya mengenai norma-norma dan budaya masyarakat yang ditampilkan dalan sinetron-sinetron. Untuk topik yang lebih serius, misalnya, guru menanyakan pandangan siswa mengenai teroris yang dikaitkan dengan islam, peran media dalam pemilihan umum, kampanye-kampanye politik di televisi dan masih banyak lagi.

· Bahasa dan sastra

Guru dapat mengajak siswa untuk menganalisis penggunaan bahasa dalam media. Siswa diminta untuk berpendapat tentang penggunaan bahasa gaul dalam sinetron-sinetron dan contoh penggunaan bahasa tidak baku lainnya. Beberapa selebritis terkadang berbicara dalam Bahasa Indonesia yang diselingi Bahasa Inggris. Tanyakan kepada siswa, menurut mereka mengapa selebritis-selebritis tersebut berbicara seperti itu. Selain itu, siswa juga bisa didorong untuk menganalisis tag-line dari iklan. Guru menanyakan apa tag-line favorit siswa dan mengapa siswa memilih itu. Film-film atau sinteron yang diangkat dari cerita-cerita rakyat juga dapat dijadikan bahan analisis.

Dari uraian di atas, Len Masterman (Masterman dalam Kubey, 2001) mengidentifikasi tiga cara nyata untuk memasukkan muatan melek media antar kurikulum:

a. Guru-guru diharapkan dapat menggunakan materi-materi yang terkait dengan mata pelajaran yang ditampilkan di media untuk menjadikan kegiatan belajar-mengajar lebih menarik, relevan dan up-to-date. Misalnya, dalam pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan tentang demokrasi. Demokrasi terkait dengan proses pemilihan umum. Guru dapat mengambil contoh kampanye yang ditampilkan di televisi melalui iklan-iklan poitik. Siswa diajak untuk secara aktif menyadari bahwa apa yang mereka pelajari di kelas, juga ditampilkan di media. Tapi tidak hanya sebatas itu. Guru juga harus memberikan pemahaman kepada siswa bahwa apa pun yang ditampilkan di media terutama televisi, telah melewati sebuah proses produksi yang di dalamnya ada aktivitas seleksi dan konstruksi realita. Ada kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai kelompok tertentu yang termuat di dalamnya. Jika siswa telah memahami hal-hal tersebut, maka diharapkan mereka bisa menggunakan informasi-informasi yang tersebar di media secara lebih bijaksana dan kritis.

b. Ketergantungan guru dan siswa dalam kegiatan belajar-mengajar terhadap buku pegangan sangatlah besar. Padahal siswa akan lebih tertarik pada penjelasan materi pelajaran menggunakan media lain selain buku pegangan. Penggunaan contoh-contoh mengenai suatu topik hendaknya tidak terpaku pada contoh-contoh yang ada di buku pegangan. Tapi dapat diambil dari informasi media yang sering di akses oleh siswa, dalam hal ini televisi. Bila guru mau sedikit saja lebih aktif untuk menggunakan media-media lain selain buku pegangan, siswa akan semakin terdorong untuk mengeluarkan kemampuan mereka dalam menggunakan media. Dari situ dapat terlihat kemampuan mereka mengambil, memilah dan memaknai informasi yag mereka dapatkan dari media. Guru diharapkan cepat tanggap terhadap hal ini, supaya bila ada murid yang kurang kritis menggunakan media, dapat memperoleh pengarahan, agar di lain waktu siswa tersebut dapat menggunakan informasi dari media dengan lebih baik.

c. Guru dari setiap mata pelajaran harus memiliki kerangka berpikir kritis terhadap isi media yang akan digunakan di dalam kelas. Guru harus memberikan perhatian serius akan dampak dari representasi media populer terhadap mata pelajaran yang mereka ajarkan. Guru juga harus sadar betul bahwa siswa biasanya tidak menggunakan media (televisi) seperti menggunakan buku pegangan. Siswa menonton televisi lebih sebagai sarana melepaskan ketegangan dan mendapatkan kesenangan. Risikonya adalah siswa tidak menyadari bahwa di balik tayangan-tayangan yang menarik dan menyenangkan itu ada begitu banyak miskonsepsi, prasangka, stereotip dan asumsi-asumsi mengenai hal-hal lain yang belum tentu benar. Dampak inilah yang harus diperhitungkan oleh guru. Ketika guru masuk kelas untuk mengajar, perlu disadari bahwa pikiran siswa bukanlah pikiran kosong yang tidak mengerti apa-apa. Di dalam pikiran siswa telah tertanam pengetahuan mengenai banyak hal yang tentunya siswa dapatkan dari televisi. Tugas gurulah untuk meluruskan hal-hal yang salah atau melenceng dari seharusnya.

Di Indonesia, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang berlaku saat ini memberikan peluang untuk pendidikan melek media masuk ke dalam kurikulum, karena KTSP memiliki sub-komponen yang mendukung, yaitu mata pelajaran dan pendidikan kecakapan hidup. Pendidikan melek media dapat dijadikan satu mata pelajaran sendiri, karena struktur kurikulum tingkat sekolah dapat dikembangkan dengan cara memanfaatkan jam tambahan untuk menambah jam pembelajaran pada mata pelajaran tertentu atau menambah mata pelajaran baru. Pada komponen pendidikan kecakapan diri, pendidikan melek media tidak menjadi satu mata pelajaran tersendiri, tetapi substansinya menjadi bagian integral dalam beberapa mata pelajaran yang memungkinkan.

Selain itu, pelaksanaan pendidikan melek media dapat disesuaikan dengan kondisi sekolah masing-masing. Hal ini sejalan dengan karakteristik KTSP yang memberikan keleluasaan bagi guru dan sekolah untuk mengembangkan satuan sendiri yang disesuaikan dengan keadaan siswa, keadaan sekolah, dan keadaan lingkungan. Sekolah bersama dengan komite sekolah dapat bersama-sama merumuskan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan, situasi, dan kondisi lingkungan sekolah.

Idealnya pendidikan melek media menjadi satu subjek pelajaran tersendiri. Hal tersebut dilakukan agar transfer pendidikan melek media dapat lebih optimal dan guru dapat lebih mudah memantau perkembangan siswa tentang pemahaman melek media. Untuk jangka pendek pendidikan melek media dapat diintegrasikan ke dalam beberapa mata pelajaran. Pendidikan melek media dapat diajarkan secara bertahap, sehingga dalam jangka panjang masyarakat semakin mengerti konsep melek media dan urgensinya.

Pendidikan melek media merupakan pendidikan kecakapan hidup, sehingga penerapannya sangat praktis untuk dilakukan. Pendidikan melek media memiliki nilai lebih, karena pendidikan ini menempatkan anak didik sebagai subjek. Hal tersebut membuat perkembangan emosi, pola pikir, karakter, serta perilaku anak didik lebih terkontrol, karena anak didik dibekali dengan kemampuan untuk memilih dan memaknai pesan media, sehingga anak didik bukan lagi sebagai imitator media. Hal tersebut menunjukan bahwa pendidikan melek media tidak hanya mencakup kemampuan kognitif, tetapi juga membangun daya analisis, membuat anak didik dapat menyikapi apa yang terjadi di luar dirinya.

Dari sisi urgensinya, Pembelajaran Melek Media memiliki peluang yang besar untuk dikembangkan, mengingat perkembangan media yang begitu pesat tidak diikuti dengan kecakapan dalam mengkonsumsinya. Selain itu juga karena telah tersedianya sumber informasi mengenai melek media. Sumber informasi tersebut dapat digunakan sebagai referensi untuk mengaplikasikan pendidikan melek media. Selain itu banyaknya LSM yang peduli terhadap melek media dapat menunjang sosialisasi mengenai melek media, sehingga semakin banyak pihak yang tahu mengenai melek media dan urgensinya.

Harus diakui tidak semua sekolah siap untuk melaksanakan pendidikan melek media, di antaranya disebabkan oleh kurang tersedianya sarana untuk melakukan pendidikan melek media (televisi, internet, dvd/vcd player). Memang pendidikan melek media membutuhkan alat bantu, tetapi tidak harus menggunakan alat bantu yang mahal, sekolah dapat menggunakan alat bantu yang murah, seperti gambar, poster, majalah, koran, dan alat bantu lainnya. Pembelajaran Melek Media dapat terhambat apabila tidak ada sinergi antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Oleh karena itu komitmen orangtua dalam memberikan pengawasan terhadap anak didik ketika mengakses media sangat dibutuhkan.



Penutup

Sudah saatnya Departemen Pendidikan Nasional memikirkan tentang pendidikan mengenai media kepada siswa sekolah dasar hingga SMU. Dengan dimilikinya kemampuan melek media pada siswa, maka proses pembelajaran sepanjang hidup dari media akan dapat dijalaninya dengan baik. Siswa yang media literate juga akan mampu menyusun isi pesan media dengan dasar pemahaman terhadap karakteristik masing-masing media yang cukup kuat.

Sekolah-sekolah swasta yang lebih memiliki keleluasaan dalam memodifikasi proses pembelajaran, diharapkan segera berinisiatif dalam merespon perkembangan media yang sangat pesat dalam kaitan dengan akses anak-anak terhadap media tersebut, setidaknya untuk mencegah dampak-dampak negatif yang tidak diinginkan.

Untuk kondisi di Indonesia, pengintegrasian Pembelajaran Melek Media lebih tepat diterapkan pada siswa sekolah dasar (SD). Anak-anak SD berada pada kisaran usia yang sangat rawan terkena dampak negatif media, khususnya televisi. Jumlah jam menonton televisi dan penggunaan media lain pada anak-anak SD di Indonesia sudah jauh melampaui batas yang aman dan wajar. Selain itu, di usia jenjang sekolah dasar, anak-anak memiliki kecenderungan sebagai imitator tayangan televisi, padahal banyak tayangan televisi yang tidak aman untuk ditonton anak-anak. Oleh karena itu pendidikan melek media perlu diterapkan pada jenjang sekolah dasar selagi pola pikir dan perilaku anak didik masih mudah dibentuk.

Selain itu, masyarakat pun hendaknya mulai membangun self sensor awareness, terhadap tayangan televisi dan media lainnya. Orangtua harus mulai membuat peraturan mengenai kapan dan berapa lama anak-anak boleh mengakses media dan materi apa yang boleh diakses. Sebisa mungkin, orangtua juga diharapkan untuk mendampingi anak-anaknya ketika menonton televisi dan memberikan penjelasan mengenai isi acara yang ditonton.

sumber : http://www.kidia.org

baca selengkapnya......

Jumat, 30 Mei 2008

"Mengoptimalkan Penyelenggaraan Program Televisi Pendidikan"

Sejak diluncurkan pertama kali pada 17 Juni 2006 oleh Menteri Pendidikan Indonesia, program Televisi Pendidikan yang dalam penyiarannya bekerjasama dengan TVRI (Televisi Republik Indonesia) menuai banyak kritikan dari berbagai kalangan. Bukan hanya besaran dana saja yang dipermasalahkan, yang konon besarnya mencapai 213,69 milyar rupiah, namun kritikan tersebut juga mengarah kepada efektivitas penyampaian materi ajar kepada siswa yang diragukan keberhasilannya.

Pos pengeluaran terbesar untuk pengadaan pesawat televisi sejumlah 75.000 unit yang nantinya dibagikan pada sekolah-sekolah di seluruh Indonesia juga tak kalah mengundang pro dan kontra. Belum lagi masalah jam tayang siaran pendidikan yang berada pada pukul 07.00-09.30 jelas-jelas akan merebut waktu belajar di kelas, padahal pemerintah sebagai penyelenggara program ini tidak mungkin memaksa sekolah untuk mengalokasikan waktu maupun melakukan penyesuaian jadwal belajar siswa agar dapat melihat tayangan sesuai dengan jadwal tayang yang telah ditetapkan mereka, mengingat adanya kebebasan pengaturan jadwal pelajaran di masing-masing sekolah.

Di sisi lain, model pendidikan berbasis video seperti yang pemerintah dan TVRI lakukan tidak akan menghadirkan interaktifitas antara guru dan siswa, mengingat metode pembelajaran ini hanya menghasilkan komunikasi satu arah, yakni siswa hanya dapat melihat dan mendengarkan tayangan televisi saja, tetapi tidak dapat berkomunikasi layaknya diskusi antara guru dan siswa di dalam kelas. Proses belajar yang tidak dialogis seperti ini harusnya dapat dijembatani dengan memodifikasi atau menambah metode distribusi penyiaran konten pendidikan tanpa menghentikan proses yang telah dilakukan.

Kontroversi seputar penyelenggaraan program tersebut sebenarnya dapat diminimalisir apabila pemerintah selain melakukan penayangan di TVRI juga menyelenggarakan pendistribusian bahan ajar video yang ditampilkan di televisi kedalam format penyimpanan VCD maupun DVD ke sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Hal tersebut akan menjadi efektif, mengingat bahan ajar tersebut dapat digunakan guru sebagai bahan ajar tambahan dalam kelas selain buku ajar. Dampak lainnya, siswa akan dengan mudah memutar kembali tayangan yang diinginkan kapan saja dan dimana saja.

Satu set VCD/DVD yang dibagikan ke sekolah-sekolah selanjutnya bebas untuk digandakan kembali oleh pihak sekolah. Siswa yang membutuhkan nantinya dapat meminta atau membeli VCD/DVD kopian ke pihak sekolah. Berbekal VCD/DVD tersebut siswa dapat belajar mandiri di rumah atau dimana saja sesuai keinginan mereka. Sedangkan guru nantinya bertindak sebagai pendamping yang akan menjawab pertanyaan-pertanyaan dari siswa ketika mereka menemui kesulitan atau mendapati sesuatu yang kurang jelas. Lewat model pembelajaran yang variatif seperti ini siswa akan mendapatkan pengalaman belajar yang lebih menyenangkan dibandingkan cara belajar konvensional.

Dua program sebelum ini, baik pada saat pemerintah bekerjasama dengan TPI (Televisi Pendidikan Indonesia), ataupun saat bekerjasama dengan televisi-televisi lokal untuk menayangkan konten TV-Edukasi mulai tahun 2004, jelas-jelas belum terlihat keseriusan pemerintah untuk menyebarluaskan secara gratis konten-konten yang telah dibuatnya selama ini ke sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Padahal dengan pustaka video sebanyak itu akan banyak memberi manfaat dan kesempatan bagi setiap pihak untuk belajar mandiri apabila disebarluaskan secara bebas daripada disimpan atau didiamkan saja dalam lemari arsip.

Solusi menyebarluaskan konten video yang telah dibuat adalah salah satu jalan tengah di tengah maraknya kritikan pada penyelenggaraan program ini. Program yang telah berjalan dan telah menghabiskan dana besar tersebut seharusnya dapat memberi manfaat sesuai dengan harapan banyak pihak untuk menepis anggapan bahwa program tayangan pendidikan ini hanyalah upaya pemerintah untuk mengalihkan sorotan masyarakat atas kegagalan dalam pelaksanaan Ujian Negara (UN).


sumber :http://gora.edublogs.org

baca selengkapnya......

Kamis, 29 Mei 2008

"TELEVISI PENDIDIKAN...,EFEKTIFKAH..???"

Mengkaji permasalahan pendidikan hampir menjadi kebutuhan kita yang secara nyata berdampak pada keinginan masyarakat memunculkan kerinduan akan lahirnya genarasi-genarasi penerus bangsa yang cerdas dan berakhlak mulia. Mereka tidak hanya cerdas secara intelektual, namun juga cerdas secara psikomotorik, sosial, emosional, dan spiritual. Sedangkan upaya yang dilakukan pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan melalui pengembangan sumberdaya menuju manusia Indonesia seutuhnya terkesan lambat dan bahkan stagna. Upaya pengembangan itu dilakukan dengan mengadakan berbagai macam metode maupun media pembelajaran. Dan media pembelajaran yang lagi menjadi “kambing hitam” di tingkat elit pendidikan adalah penggunaan media televisi pendidikan untuk menjangkau masyarakat yang berdomisili di daerah pedalaman.

Semenjak abad XIX merupakan awal mula ditemukannya Electrisce Telescope oleh seorang mahasiswa dari Berlin bernama Paul Nipkow, alat ini berfungsi sebagai pengirim gambar dari satu tempat ke tempat lain (Morissan, 2004). Temuan inilah yang kemudian menjadi titik awal berkembangnya televisi, dan sejak saat itu perkembangannya dari tahun ke tahun menjadi sangat pesat hingga detik ini dan bahkan televisi mampu menunjukkan eksistensi maupun dominasinya dibanding dengan media-media yang lainnya..

Eksistensi televisi sebagai media komunikasi pada prinsipnya, bertujuan untuk dapat menginformasikan segala bentuk acaranya kepada masyarakat luas. Hendaknya, televisi mempunyai kewajiban moral untuk ikut serta berpartisipasi dalam menginformasikan, mendidik, dan menghibur masyarakat yang pada gilirannya berdampak pada perkembangan pendidikan masyarakat melalui tanyangan-tayangan yang disiarkannya.

Secara normatif, siaran televisi mampu menyajikan menu kepada masyarakat tanpa harus mendatangi, tidak membedakan status, kasta, golongan, dan usia selama 24 jam nonstop. Ini berarti televisi tidak dibatasi waktu hari, minggu, dan bulan. Melainkan hanya dibatasi waktu detik, menit, dan jam. Begitu juga, televisi pendidikan yang sementara ini digagas oleh pembuat kebijakan pendidikan oleh elit pusat dimaksudkan sebagai upaya pengkomunikasian informasi, mendidik, dan juga transfer of knowledge, khususnya di wilayah-wilayah pedalaman. Namun demikian, yang menjadi prmasalahan di kmudian hari adalah tv bukan lagi hanya wilayah-wilayah marginal.saja yang perlu untuk mndapatkan acara televisi pendidikan, melankan daerah-daerah yang dianggap lebih berkembangpun layak menikmati menu tv pendidikan.

Dalam kompleksitas dan mata rantai yang panjang tentang televisi pendidikan serta dinamikanya, maka pertanyaan yang paling dominan muncul adalah bagaimanakah konsep dan strategi penyiaran televisi pendidikan yang tepat?, dan “Apakah tv pendidikan mampu mengimbangi siaran stasiun tv lain, mialnya; infotainment yang lagi booming, film-film karton yang dapat mensugesti anak sehingga anak lupa tuganya, maupun acara-acara menaik lainnya. Jika tidak dapat mengemas menjadi komoditi yang menarik lebih baik gunakan media-media yang lain yang lebih disukai anak, menjadi teman bermain sekaligus belajar sehingga anak merasa enjoy. Hal ini perlu dipahami bersama, bahwa televisi pendidikan memiliki fungsi yang sama dengan media massa lain, yaitu fungsi mendidik, menginformasikan, meneruskan nilai-nilai budaya bangsa, menjadi agen pembaruan (di negara berkembang). Sehingga, tanpa disadari dengan melihat acara/tayangan televisi seseorang telah mengikuti pendidikan.

* * * * *

Hemat penulis, untuk mmpertegas program pemerataan kualitas pendidikan dengan mengaplikasikan konsep televisi pendidikan, maka perlu dilakukan serangkaian kegiatan sebagai berikut. Pertama, membentuk tim yang bertugas menyiapkan program ini dengan sistem dan manajerial yang baik. Tim ini melibatkan wakil-wakil dari departemen pendidikan nasional yang mempunyai tugas dan fungsi secara teknis terhadap sekolah dan tenaga kependidikan. Kedua, perlu disusun dan dikembangkan considerance sebagai bahan untuk didiskusikan dan disempurnakan. Ketiga, Perlu diprogramkan suatu kegiatan diskusi yang intensif untuk mematangkan konsep dan program. Unsur-unsur yang perlu diundang dalam kegiatan diskusi tersebut mencakup unsur akademisi, praktisi, pemerhati, dan birokrat yang secara langsung maupun tidak langsung bertanggungjawab pada upaya peningkatan mutu pendidikan.


sumber :http://mkpd.wordpress.com

baca selengkapnya......

Rabu, 28 Mei 2008

Peluncuran Televisi Pendidikan di Indonesia

PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (CTPI) didirikan pada bulan Januari 1991 oleh Siti Hardiyanti Rukmana, Abdullah Alatas Fahmi dan Mohamad Jarman, dengan capital yang disetujui Rp. 76.7 milyar. Berdasar surat ijin (permit) dari Investment Coordinating Board (BKPM), dengan rencana perusahaan itu akan invest kira-kira Rp. 225 milyar, termasuk working capital Rp. 47.7 milyar. Berjalan di bawah Domestic Investment (PMDN) Scheme, CTPI atau lebih kenal sebagai TPI sudah punya tenaga kerja 1,866 orang, termasuk 10 tenaga asing.

Hari ini (Juni 27, 1994), jam siaran TPI sudah ditingkatkan lagi ke 19 jam dan 15 minit dari pukul 5.30 pagi sampai pukul 00.45 pagi.
Ref. Highbeam.Com

Televisi Paling Indonesia

Pada hari ini (7 April, 2007) website TPI baru sedang dibuat. Tetapi jelas dari "Visi & Misi" namanya bukan Televisi Pendidikan Indonesia lagi. Kebetulan kami paling senang Dangdut, tetapi mohon ingat artinya "bermutu" dan pengaruh kekerasan di TV. Semoga Sukses TPI, dari Pendidikan Network.


Pada Tahun 2007 Bagaimana? (Pendidikan menjadi Paling)

Latar Belakang
Sebagai stasiun televisi swasta pertama yang mengudara secara nasional sejak 23 januari 1991, TPI juga merupakan televisi pelopor tayangan musik-musik dangdut. TPI yang mengedepankan tayangan-tayangan sopan dan bisa dinikmati seluruh keluarga.

Visi & Misi
Visi : Televisi Paling Indonesia
Misi : Menyajikan program bermutu untuk pemirsa
Slogan : Makin Indonesia Makin Asyik Aja
Ref. http://www.tpi.tv/profile.html
Jadi Kapan Kita Akan Meluncuran Televisi Pendidikan Indonesia?

Peluncuran Televisi Edukasi
Departemen Pendidikan Nasional meluncurkan Televisi Edukasi (TV-E), Selasa 12 Oktober 2004. Program dalam televisi tersebut diharapkan akan menjadi media spesifik dalam penyebaran informasi di bidang pendidikan dan berfungsi sebagai media pembelajaran masyarakat.

Menteri Pendidikan Nasional Abdul Malik Fadjar dalam sambutan saat peluncuran resmi program tersebu mengatakan, sebagai bangsa yang ingin maju, maka kemajuan teknologi perlu dimanfaatkan. Hanya saja itu dilakukan dengan kadar kearifan dan etika yang tinggi, khususnya dilihat dari segi pendidikan.

Saat ini sudah 50 stasiun televisi lebih yang beroperasi di Indonesia, termasuk di dalamnya televisi lokal, televisi kabel, dan televisi satelit. Namun dari jumlah itu, sedikit sekali program yang mengandung pesan pendidikan. Banyak keluhan yang dilontarkan masyarakat tentang dampak negatif siaran televisi. Sebutlah seperti cara hidup konsumtif melalui gempuran paket sinetron dan berbagai tayangan penuh gagasan mistis. Oleh karena itu, Televisi Edukasi harus dirancang untuk mendidik dan mencerdaskan masyarakat. Karena daya jangkau televisi bisa sangat luas, keberhasilan memanfaatkan media itu untuk tujuan pembelajaran akan mempercepat pembangunan masyarakat belajar yang cerdas. Mendiknas juga mengingatkan agar program dibuat mengasyikkan dan menyenangkan.

Kepala Pusat Teknologi Komunikasi Departemen Pendidikan Nasional Harina Yuhetty-yang menjadi penanggung jawab televisi tersebut- mengatakan, program TV-E disiarkan melalui satelit dan dapat diakses dengan menggunakan parabola. Depdiknas memanfaatkan jasa jaringan satelit Telkom.

Pada tahap rintisan, siaran dilaksanakan selama empat jam dari pukul 07.00 hingga 11.00 di frekuensi 3782-3790 MHz. Komposisi program meliputi materi pelajaran pendidikan formal 30 persen, pendidikan nonformal 30 persen, pendidikan informal 20 persen, serta informasi kebijakan dan program berupa berita atau feature 20 persen.

Sasaran TV-E terutama adalah sekolah. Pada September ini telah dilakukan uji coba program siaran yang materi sasarannya diprioritaskan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, dengan penerima siaran di 100 sekolah di seluruh Tanah Air. Sekolah-sekolah lain yang berkeinginan menangkap siaran tersebut dapat melengkapi perangkat parabola dengan dukungan dan bantuan pemerintah atau masyarakat.

Paket-paket program TV-E sementara ini dikerjakan dengan bantuan Universitas Terbuka, internal Departemen Pendidikan Nasional, Japan Foundation, dan berbagai program studi jarak jauh.

Sumber : pendidikan.tv/issues.html

baca selengkapnya......

Televisi Dalam Kehidupan Anak

Berapa lama idealnya seorang anak dapat berada di depan televisi? Benarkah televisi membuat anak kita bodoh dan cenderung bertindak kekerasan? Program televisi yang manakah sesuai dengan usia anak anda dan memiliki nilai pendidikan?

Hidup tanpa televisi mungkin sudah tidak bisa dibayangkan oleh generasi anak kita yang mau tidak mau telah besar bersamaan dengan semakin maraknya dunia media elektronik. Dengan makin menjamur berdirinya stasiun-stasiun televisi swasta dengan penawaran aneka ragam program acaranya di indonesia, maka semakin dituntut pula orang tua menyikapi secara bijaksana interaksi anak kita dengan media televisi yang ada.


Penelitian khusus berkaitan dengan pengaruh televisi ataupun seberapa besar proporsi waktu yang dipergunakan oleh anak indonesia di depan tabung kaca ini memang belum banyak dilakukan. Namun trend yang terjadi sedikit banyak akan tidak jauh berbeda dengan apa yang ditemui di negara negara maju: semakin banyak waktu yang konsumsi oleh anak untuk berada di depan televisi. Penelitian tentang pengkonsumsian media televisi di jerman mungkin dapat dijadikan perbandingan dan masukan bagi orang tua di indonesia untuk makin bijaksana menyikapi kehadiran media ini di ruang keluarga kita. Dari hasil penelitian tersebut di ketahui bahwa seorang anak jerman menghabiskan rata rata waktu sebanyak 108 menit berada di depan televisi, bahkan angka tersebut mendekati 1 jam pada anak usia di bawah dua tahun. 50% anak bahkan telah memiliki tv di ruang kamarnya sendiri. Hasil yang paling mengkhawatirkan para ahli pendidikan di negara tersebut adalah terdapatnya satu hubungan berarti antara waktu yang dihabiskan anak di depan media elektronik tersebut dengan prestasi belajar yang di capai anak di sekolah; Anak yang banyak menghabiskan waktu di depan televisi biasanya memiliki prestasi akademik yang tidak begitu memuaskan.

Risiko Pengkonsumsian Televisi Yang Berlebihan

Timbulnya efek negatif dari pengkonsumsian televisi yang berlebihan telah banyak di catat dari penelitian penelitian yang umumnya di lakukan di negara negara maju. Beberapa efek negatif yang dapat timbul akibat pengkonsumsian televisi yang berlebih pada anak adalah:
- Anak akan mengidentifikasi dirinya melalui tokoh yang ia tonton. Hal ini akan membahayakan terlebih bila tokoh yang ia idolakan adalah tokoh fiktif yang tidak ada di dunia nyata. Anak akan berpikiran bahwa ia dapat melakukan apapun dan the best seperti tokoh figur yang ia idolakan. Akibatnya ia akan kehilangan kemampuan untuk menganalisa dirinya sendiri, sejauh mana ia mampu berbuat dan hal mana yang tidak mungkin untuk dilakukan.
- Anak kurang memiliki kemampuan untuk berpikir kritis karena ia umumnya di hadapkan di dunia non fiktif yang umumnya serba sempurna. Dan hal ini menyebabkan daya kemampuan berimajinasi pun tidak dapat berkembang secara proporsional.
- Kemampuan bicara anak akan terhambat mengingat televisi tidak akan mampu menjawab pertanyaan pertanyaan yang ada di benaknya. Selain itu anak tidak memiliki banyak kesempatan melatih ketrampilan bicara karena ia hanya berlaku sebagai pendengar pasif dari acara acara televisi yang ditontonnya. Hal ini nantinya berakibat pada menurunnya kemampuan si anak dalam melakukan kontak sosial dengan teman temannya. Padahal di usia 0-4 tahun adalah masa otak menangkap secara optimal informasi yang ada.
- Anak akan lebih bersifat apatis, mudah bosan dan tidak mampu berkonsentrasi pada suatu aktivitas yang memerlukan ketrampilan motorik. Akibatnya ia tidak banyak memiliki inisiatif untuk melakukan aktifitas yang membutuhkan ketrampilan jasmani dan mudah mengisolasi diri bila menemui kesulitas melakukan kontak sosial.
- Akibat miskinnya „bergerak“ dalam aktivitas menonton televisi, maka akan terhambat pula perkembangan kemampuan motorik anak yang seharusnya berkembang pesat di masa pertumbuhan anak.


Berapa Lama Toleransi Menonton Televisi Pada Anak?

Para ahli menganjurkan beberapa batasan toleransi bagi anak untuk berada di depan media elektronik (tv, komputer, video ataupun game) sebagai berikut: anak 3-5 th: 30 menit, anak 6-9 th: 60 menit, anak 10-13 th: 90 menit. Batasan toleransi ini didapatkan dengan mempertimbangkan banyak faktor seperti pengaruh layar monitor pada kesehatan mata anak ataupun kemampuan optimal anak dalam berkonsentrasi menekuni satu hal tertentu.

Orang Tua Sebagai Teladan

Sikap orang tua dalam mensikapi media televisi amat memegang peranan penting. Orang tua berfungsi sebagai teladan yang kerap dijadikan acuan bagi anak dalam membangun interaksi lanjut dengan media tersebut. Bila orang tua memperlakukan televisi sebagai „sahabat“ yang selalu di nanti kehadirannya serta mengisi aktivitas kesehariannya, maka janganlah heran bila satu saat mendapati anak yang mampu berlama lama di depan tabung kaca untuk menonton program kesenangannya ataupun tahan berjam jam menikmati nintendo game-nya. Demikian pula sebaliknya. Bila orang tua dapat memberikan contoh bijaksana dalam bersikap dengan media televisi, maka akan lebih mudah anak diarahkan untuk memupuk kesadarannya dalam bersikap kritis terhadap media tersebut. Satu hal yang patut diperhatikan adalah pemberian alternatif dari program televisi yang ada, semisal melakukan permainan di halaman rumah, membaca buku, ataupun melakukan aktivitas tertentu secara bersama-sama serta hal yang tak kalah pentingnya: jangan pernah memperlakukan TV sebagai Baby-Sitter agar anak dapat duduk dengan tenang!

Beberapa Tips Mensikapi Media Elektronik

Beberapa Tipps di bawah ini dapat digunakan sebagai panduan untuk mengatur kehadiran televisi di dalam kehidupan anak kita.

Membicarakan bersama program televisi yang akan di tonton. Pembicaraan ini paling baik dilakukan secara mingguan. Anak dapat mengusulkan acara televisi yang ingin ia nikmati, dan orang tua memberikan pandangan (dan akhirnya keputusan) acara televisi yang akan di tonton di satu minggu ke depan. Orang tua juga sebaiknya membatasi tema acara televisi yang akan ditonton oleh anak. Carilah sebisa mungkin program program acara yang secara pedagogis baik untuk di konsumsi, seperti acara sesame street atau acara sejenis yang menumbuhkan keinginan anak untuk mengeksplorasi lingkungannya.

Mensepakati waktu menonton televisi. Waktu yang digunakan untuk menonton televisi juga perlu di bicarakan sehingga si anak dapat belajar mendisiplinkan waktunya, dan tak ada waktu yang tiba tiba harus terkorbankan demi menonton satu acara di televisi di luar jadwal yang telah disepakati. Dengan adanya perjanjian mengenai “waktu nonton”, maka bila terjadi pelanggaran orang tua dapat memberikan sanksi misal dengan menghapuskan waktu nonton televisi di hari berikutnya atau jenis sanksi bermanfaat lainnya.

Memberikan penjelasan pada anak. Orang tua hendaknya mendampingi anak ketika mereka berada di depan tabung kaca untuk mencoba menjalin komunikasi dengan anak serta memberikan penjelasan dan tanggapan atas acara yang sedang berlangsung. Beberapa acara yang sedianya diperuntukkan buat anak ternyata banyak memerlukan penjelasan lebih lanjut, sehingga anak dapat membedakan antara alam nyata dan alam fantasi yang banyak ditemui, khususnya di film-film kartun. Perlu dicermati pula bahwa televisi akan dapat mendatangkan manfaat bila anak sudah memiliki kemampuan berbicara, sehingga dapat dijalin percakapan lebih lanjut tentang hal hal yang melintas di pikirannya.

Bila orang tua mampu bersikap bijaksana atas kehadiran media televisi di kehidupan anak, maka tak ayal media ini akan dapat membawa banyak manfaat bagi perkembangan intellegensi anak anda, namun demikian pula sebaliknya: televisi dapat menjadi bumerang yang berakibat buruk bagi kehidupan anak bila anda tak mampu mensikapinya dengan baik. Pilihan ada pada anda para ayah bunda! (@DAI)

sumber : http://myscratch.blogsome.com/2005/01/01/televisi-dalam-kehidupan-anak/

baca selengkapnya......