Rencana Depdiknas meluncurkan program televisi pendidikan mulai 17 Juli ini menarik dicermati. Program yang menggandeng TVRI tersebut akan menayangkan program tiga mata pelajaran yang diujikan dalam ujian nasional alias UN, tiap Senin-Kamis, pukul 07.00-09.30 WIB.Sasarannya siswa kelas III di 28.376 SMP negeri dan swasta di 353 kabupaten/kota yang dianggap minim fasilitas dan belum memiliki kemampuan standar. Pertanyaannya, seberapa efektif program yang konon menyedot anggaran hingga Rp 213,69 miliar itu? Mencermati momentum diluncurkannya program ini, ada tendensi Depdiknas mencoba mengalihkan perhatian publik atas kontroversi UN dan kritikan bertubi-tubi dalam pelaksanaannya. Sinyalemen ini begitu kuat mengingat mata pelajaran yang nantinya ditayangkan terdiri atas tiga mata pelajaran yang diujikan secara nasional. Depdiknas seolah ingin merasionalisasi urgensi keberadaan UN dan memberikan solusi terhadap banyaknya siswa yang tidak lulus dalam beberapa tahun terakhir dengan
program ini. Tidak kalah penting adalah kritikan terhadap besarnya jumlah anggaran yang dipakai. Dari dana sebesar Rp 213,69 miliar, pos pengeluaran terbesar adalah rencana Depdiknas menganggarkan pembelian 75.000 TV. Setiap sekolah bakal mendapat dua pesawat televisi. Masalahnya, Depdiknas dinilai tidak memiliki kepekaan dalam memprioritaskan kebutuhan pendidikan. Banyak kalangan menganggap dana tersebut lebih baik digunakan untuk kebutuhan primer, seperti rehabilitasi sekolah, pemberian beasiswa kepada murid dari keluarga miskin atau di daerah bencana, atau untuk peningkatan kesejahteraan dan kompetensi guru. Televisi memang diakui menjadi salah satu media yang cukup efektif untuk menyampaikan pesan pada masyarakat luas. Hampir setiap keluarga dari setiap kalangan masyarakat di wilayah Tanah Air memiliki televisi yang berfungsi sebagai sarana hiburan dan informasi. Barangkali, berawal dari salah satu asumsi tersebut, Depdiknas memanfaatkan media televisi dapat untuk kegiatan proses pendidikan yang bersifat massal. Penulis juga mengakui media ini banyak memiliki keunggulan. Misalnya, pertama, siaran televisi dapat ditangkap oleh beberapa indera manusia sekaligus. Kedua, siaran televisi dapat menjangkau sasaran secara luas dan singkat. Ketiga, mata acara televisi dapat disampaikan dengan format hiburan, sehingga peluang tayangannya lebih menyenangkan, cukup tinggi. Keempat, banyak variasi bentuk acara televisi yang dapat dipilih, antara lain: uraian, reportase, dialog, wawancara, diskusi, laporan, atau hiburan. Namun, sejauh ini belum teruji format dan bentuk yang paling ideal untuk menayangkan program pendidikan. Dulu, Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) juga memiliki orientasi yang tidak jauh beda dengan Depdiknas sekarang, tapi hasilnya tidak efektif; apalagi memuaskan. Tayangan program pendidikan tidaklah cukup menarik ditonton dan masih kalah jauh rating-nya dengan tayangan-tayangan infotainmen, hiburan, atau sinetron. Karena itu, hal ini perlu diwaspadai oleh Depdiknas, meskipun penayangan materi pelajarannya nanti tetap diadakan di kelas. Sebab, uraian siaran televisi biasanya cukup membosankan, apalagi bila pembawa acaranya tidak tampil menarik dan meyakinkan. Hal lain yang juga kurang disadari dari proses pendidikan melalui televisi adalah fungsi dialogis antara guru-murid. Televisi tentu saja tidak bisa menggantikan peran guru karena ia bersifat monologis. Seumpama murid tidak memerhatikan sedikit saja, ia sudah pasti akan ketinggalan karena materi pelajaran di televisi tidak bisa diulang seperti halnya penyampaian materi seorang guru. Ini berarti efektivitas penyerapan materinya bergantung pada siswa bersangkutan. Guru di kelas memang dapat menjadi tumpuan bila kasus semacam itu terjadi. Namun, bagaimana dengan guru yang tidak kompeten? Bukankah proses belajar-mengajar menjadi semakin rancu? Bagaimanapun, proses dialog dalam kegiatan belajar-mengajar berfungsi untuk merumuskan pemecahan masalah yang dihadapi anak. Dialog biasanya terjadi karena ada pandangan dan keterangan yang kurang jelas atau berbeda tentang sesuatu hal. Dalam program ini nanti, apakah murid—bahkan guru yang memiliki pemahaman atau pengertian tertentu atas suatu mata pelajaran—mampu menyimak sekaligus mengkritisi pandangan yang berbeda dan mengupayakannya untuk mempersatukan perbedaan serta mencari penyelesaian terbaik atas perbedaan tersebut? Faktor peran dan fungsi televisi dan fungsi guru semacam inilah yang tidak diantisipasi oleh Depdiknas. Bagi para guru sendiri, banyak hal yang masih perlu dikritisi dan diperbaiki. Metode mengajar yang monoton, tidak diminati peserta didik, serta banyak perilaku guru yang justru meninggalkan historisitas seorang guru. Mereka tidak lagi melakukan pendekatan keilmuan dan kebiasaan yang selayaknya dilakukan oleh guru. Semisal, sebagian guru malas, bahkan jarang membaca. Pembaruan pengetahuan nyaris tidak dilakukan. Membaca adalah pekerjaan yang paling dibenci, membosankan, dan menyita banyak waktu. Model atau kualifikasi guru semacam inilah yang telah kita percayai untuk mengisi salah satu tahapan perjalanan anak bangsa, selaku seorang pembelajar, menuju masa depannya. Kondisi guru-guru yang demikian ini telah menjadikan persekolahan kita jauh dari tradisi buku dan membaca buku. Akibatnya, secara struktural, anak- anak tumbuh di sekolah menjadi pembelajar yang timpang. Mereka hanya tahu bahwa belajar adalah menerima informasi di kelas, pada jam-jam yang telah dijadwal, dari seorang guru. Posisi guru jadi sangat penting, khususnya sebagai sumber informasi dan sumber kebenaran. Sebagai batu ujian awal, Depdiknas memang diharapkan benar-benar jeli dan selalu mempertimbangkan masukan dari segenap pakar pendidikan atas diluncurkannya program TV pendidikan ini. Evaluasi atas program tersebut yang nantinya akan dilakukan tiga bulanan harus sungguh-sungguh mampu mengevaluasi seberapa jauh efektivitas dari tiap-tiap aspek di dalamnya, serta tindak lanjut seperti apa yang akan diproyeksikan di masa mendatang. Evaluasi sekaligus tindak lanjut tersebut, misalnya, apakah program TV pendidikan nanti mampu menumbuhkan minat, motivasi, serta etos belajar anak didik atau sebaliknya. Selain itu, apakah metode belajar dengan cara demikian juga mendorong diadakannya diskusi intensif antara guru dan murid terhadap suatu mata pelajaran. Apakah program tersebut juga membutuhkan buku penunjang berupa buku teks sehingga akan ada proyek kembali tentang tender pengadaan buku? Apakah suatu saat murid juga bisa ikut siaran, dan seterusnya. Karena itu, perlu kiranya diperhatikan ulang bahwa pendidikan tidak semata-mata mengajarkan, tapi juga mendidik. Bisakah televisi mendidik peserta didik?
Abdullah Yazid
Peneliti di FKIP Universitas Islam Malang, Bekerja di Yayasan Averroes, Malang
sumber : www2.kompas.com/kompas-cetak/
Minggu, 11 Mei 2008
Menakar Efektivitas Program TV Pendidikan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar