{Sebuah pengantar menarik dari penyelenggaraan simposium pendidikan yang diselenggarakan oleh National Integration Movement (NIM), sebuah pencerahan dibalik sekian banyak PR pendidikan nasional kita……}
Ketika sebuah negara seperti Indonesia sedang terpuruk, hampir semua
sepakat untuk menyoroti Pendidikan sebagai salah satu biang keladi utama. Tapi, apakah semua sudah sepakat dan sepaham tentang apa itu Pendidikan? Apakah Pendidikan itu sama seperti ketrampilan atau keahlian di sebuah bidang tertentu? Apakah Pendidikan itu berarti paham pemikiran logika dan sistematis, yang hanya mengandalkan fungsi otak kiri saja? Apakah Pendidikan hanyalah sebuah sarana untuk mendapatkan Ijazah formal dan pekerjaan agar dapat membiayai diri sendiri (dan keluarga) untuk hidup layak?
Di Indonesia, masalah pendidikan sudah sangat pelik. Dari kurangnya komitmen politik pemerintah untuk memenuhi anggaran pendidikan minimal 20% dari total anggaran pendapatan dan belanja negara sesuai amanat Undang-Undang Dasar sampai ditudingnya Departemen Pendidikan sebagai salah satu sarang utama korupsi. Dari mewah fasilitas sekolah dan mahalnya biaya pendidikan sampai begitu banyaknya bangunan sekolah yang hampir roboh dimakan usia atau korupsi. Dari pendidikan yang disisipi indoktrinasi pemahaman tertentu sampai pendidikan disamakan dengan sekedar transfer Ilmu Pengetahuan semata. Jadi apakah pendidikan itu? Sistem pendidikan seperti apakah yang cocok diterapkan di Indonesia ini?
Pendidikan bukanlah (hanya) transfer of knowledge
Ada sebuah penelitian di Amerika Serikat yang melaporkan bahwa, peran otak kiri, yang berkaitan dengan logika dan intelektual, pada keberhasilan seseorang dalam mencapai kesuksesan hanya 4%. Porsi terbesar untuk mencapai kesuksesan yakni 96% didominasi peran otak kanan yang berkaitan dengan kreativitas dan inovasi.
Sayangnya, pola pendidikan yang dapat membantu perkembangan otak kanan kurang diperhatikan di Indonesia. Oleh karena itu, pengembangan emosi dan kepribadian yang dapat menuntun seseorang menjadi manusia arif dan bijaksana menjadi terlalaikan. Padahal, untuk bisa membangun suatu bangsa yang kuat diperlukan orang yang tidak hanya berintelektual tinggi, tetapi juga peka terhadap kondisi yang terjadi. Selain itu, bangsa Indonesia pun memerlukan orang yang punya kebijaksanaan tinggi untuk dapat menghadapi segala persoalan dengan tepat. Keseimbangan antara fungsi otak kiri dan otak kanan sangat ditentukan oleh pola pendidikan jenis apakah yang diterima seorang murid.
Tapi pola pendidikan ideal seperti ini sangat langka di Indonesia yang cenderung lebih mengarah pada transfer of knowledge daripada pendidikan dalam arti membimbing seorang anak didik menjadi manusia yang mengenal dirinya sendiri tapi peka terhadap apa yang terjadi dengan lingkungan sekitar dirinya.
Pendidikan bukanlah Indoktrinisasi Pemahaman
Di Indonesia banyak sekali lembaga pendidikan yang didirikan oleh lembaga-lembaga agama dengan tujuan secara langsung maupun tidak langsung untuk menanamkan doktrin-doktrin agama dalam benak anak didik dari usia muda. Hal ini patut disesalkan karena dikhawatirkan kelak anak-anak tersebut tidak mampu mengapresiasi keberagaman yang diciptakan oleh Tuhan di dunia ini. Diperparah pula oleh timbulnya perda-perda syariat yang seakan melegalisir pemisahan bagi para siswa di sekolah. Dan, hasilnya adalah konflik antar agama, konflik
horisontal antar kelompok masyarakat hanya karena berbeda dengan dirinya. Perbedaan yang semestinya menjadi rahmat keberagaman bagi umat manusia, malah menjadi kutukan dan penyebab perang di antara umat manusia.
Pendidikan bukanlah hanya untuk orang kaya saja
Sekolah favorit selalu menjadi incaran orangtua murid untuk menyekolahkan anaknya di sana. Kenapa? Karena dengan bersekolah di sekolah favorit maka kemungkinan besar, sang murid akan mudah mendapatkan pekerjaan yang layak di masyarakat dan menjadi kaya. Jadi apakah kita berpendidikan hanya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak? Bila jawabannya tidak, tapi kenyataannya bahwa banyak sekolah-sekolah yang menawarkan fasilitas dan kelas ketrampilan tambahan menjadi sekolah-sekolah favorit walaupun bertarif sangat mahal. Dan, hanya orang-orang kaya saja yang mampu menyekolahkan anak-anaknya di sana karena banyak juga perusahaan yang hanya mau mempekerjakan para lulusan dari sekolah-sekolah favorit saja. Pola pikiran seperti ini hanya menimbulkan ekses-ekses bahwa hanya orang kaya saja yang mampu mendapatkan pendidikan. Jelas ini bertentangan dengan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, sila ke-2 dari Pancasila.
Program Televisi (TV) yang tidak mendidik
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006, menyatakan bahwa penduduk Indonesia yang berumur lebih dari 10 tahun menonton televisi adalah sebanyak 85.86%, dibandingkan 40.26% yang mendengarkan radio dan 23.46% yang membaca surat kabar. TV telah menjadi salah satu media yang paling mudah memberikan informasi kepada masyarakat dan mendidik masyarakat.
Celakanya, program-program TV negara ini dipenuhi hal-hal berbau klenik, perdukunan, kekerasan, budaya instan, pola hidup konsumtif, dll. Sehingga tidak mengherankan bila masyarakat kita mudah sekali ditipu oleh sms-sms berhadiah karena ingin cepat kaya (budaya instan), oleh iklan-iklan yang menimbulkan keinginan berbelanja barang-barang yang tidak diperlukan (konsumtif), bertikai dengan kekerasan karena berbeda, dan mudah dibodohkan oleh cerita-cerita gaib ilmu perdukunan.
Solusi : Pendidikan Holistik berbasis budaya Nusantara
Pendidikan holistik adalah pendidikan yang bertujuan memberi kebebasan anak didik untuk mengembangkan diri tidak saja secara intelektual, tapi juga memfasilitasi perkembangan jiwa dan raga secara keseluruhan sehingga tercipta manusia Indonesia yang berkarakter kuat yang mampu mengangkat harkat bangsa. Mewujudkan manusia merdeka seperti ungkapan Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional, "Manusia merdeka yaitu manusia yang hidupnya lahir atau batin tidak tergantung kepada orang lain, akan tetapi bersandar atas kekuatan sendiri."
Bila sekarang Pendidikan Barat memperkenalkan istilah PQ, IQ, EQ, SQ, tapi Budaya Nusantara mengenal istilah Sembah Raga, Sembah Rasa dan Sembah Cipta dari karya agung Kitab Wedhatama karya KGPA Mangkunegara IV sejak abad ke-19
Pendidikan yang baik akan menempa seorang siswa agar mampu hidup mandiri tanpa tergantung orang lain dan sebenarnya, negara Indonesia tidak perlu mengadopsi kurikulum pendidikan bangsa lain, yang belum tentu cocok diterapkan di Indonesia, tapi cukup mengembangkan sistem
pendidikan nasional yang mampu membentuk karakter manusia Indonesia seutuhnya. Salah satunya adalah Pelajaran Budi Pekerti seperti yang pernah diterapkan dalam kurikulum nasional oleh Bapak Ki Hajar Dewantara, pendiri Perguruan Taman Siswa.
Prinsip dasar dalam pendidikan Taman Siswa yang sudah tidak asing di
telinga kita adalah:
-
Ing Ngarso Sung Tulodo (di depan kita memberi contoh)
-
Ing Madya Mangun Karso (di tengah membangun prakarsa dan bekerja sama)
-
Tut Wuri Handayani (di belakang memberi daya-semangat dan
dorongan).
Inilah pendidikan holistik berbasis budaya Nusantara yang perlu dikembalikan semangat dan kearifannya bagi pendidikan siswa-siswa, generasi penerus bangsa.
Sumber = http://prayudi.wordpress.com/2007/10/16/pendidikan-holistik-berbudaya-nusantara/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar