Selasa, 06 Mei 2008

menggagas dunia televisi bervisi pendidikan

Televisi atau si kotak ajaib, disadari atau tidak telah menjadi alat informasi dan komunikasi yang efektif. Hampir setiap rumah di pelosok , bahkan rumah yang tergolong gubuk reot sekalipun, terkadang televisi tetap tersedia. Televisi seolah jadi kebutuhan pokok di masyarakat. Si kotak ajaib ini memang menawarkan tidak saja hiburan, tapi segudang informasi yang up to date/terkini dan detail/terperinci. Gambar-gambar yang disuguhkan memberikan informasi yang lebih lengkap jika dibanding bentuk media seperti koran dan majalah.Tak heran jika televisi jadi barang elektronik yang paling di minati masyarakat.Dibalik banyaknya kentungan yang disuguhkan oleh tayangan televisi, tak hanya hiburan dan juga informasi, televisi juga menjadi media pergeseran budaya yang cukup ampuh. Trend Mode, Fashion, warna hingga trend rumah pun terasimilasi melalui media televisi. Kalau kita belajar dari pemilu tahun yang lalu. Informasi yang disuguhkan melalui media televisi telah menjadi media efektif bagi pencerdasan kepada masyarakat tentang sisitem pemilu yang baik. Namun ibarat sebilah pisau. Media Televisi adalah alat. Dapat digunakan untuk yang bermanfaat, tapi dapat pula digunakan untuk hal yang justru mematikan. Dalam hal ini tak dapat dipungkiri media televisi adalah media penyebaran pornografi dan pornoaksi yang sangat dekat dengan masyarakat. Pornografi selama ini sering kali dikaitkan dengan media , dalam bentuk koran taloid atau majalah-majalah. Namun wadah yang paling dekat dengan masyarakat sendiri adalah terdapat di tayangan-tayangan yang disuguhkan melalui televisi. John Naisbit dalam bukunya High Tech Soft Tech, memaparkan adanya pergeseran budaya yang disumbangkan oleh tayangan televisi. Tayangan televisi yang selalu diramu dengan kekerasan, pornografi akan menurunkan sensitivitas masyarakat terhadap pelanggaran moralitas/etika yang sebelumnya di junjung tinggi. Kekerasan perlahan justru dianggap hiburan. Dan ini mengakibatkan responsitas masyarakat terhadap tindak kejahatan semakin menurun. Dan tentu saja ini mengakibatkan tingkat kejahatan yang semakin tinggi. Dalam sebuah seminar yang diadakan oleh televisi swasta di , ada sebuah pertanyaan yang terlontar pada sesi tanya jawab, yang mempertanyakan visi misi televisi tersebut terhadap pendidikan. Jawaban yang diberikan oleh sumber yang merupakan salah satu pemilik dari siaran televisi itu memaparkan beberapa jadwal acara yang merupakan film dokumenter ataupun ilmu pengetahuan, seperti acara discovery dan sejenisnya. Pemaparan dari sumber tersebut menunjukkan sempitnya pengertian dari pendidikan itu, sehingga tayangan pendidikan hanya dipersepsikan terbatas pada tayangan yangPaulo Freire mendefinisikan pendidikan dalam artian memanusiakan manusia. Yaitu setiap aktifitas dan proses pembelajaran yang memberikan pengetahuan hak, fungsi dan kewajiban manusia selayaknya. Defenisi ini secara tersirat menjelaskan bahwa ada manusia yang bukan manusia sesungguhnya. Manusia yang bukan manusia sesungguhnya itu sendiri adalah manusia yang hanya hidup untuk memenuhi kebutuhan biologis dan pribadinya saja. tak jauh berbeda dengan mahluk ciptaan Tuhan lainnya.Dengan defenisi tersebut, maka pendidikan bukanlah didapat dari sebatas wadah formal yang bernama sekolah. Tapi melingkupi seluruh aktifitas manusia di keseharian. Dalam hal ini televisi sebagai salah satu media informasi adalah alat bagi Pendidikan.Mewujudkan televisi yang berwawasan pendidikan tentunya bukan hal mudah. Karena persepsi masyarakat terhadap pendidikan sendiri masih sangat dangkal. Pendidikan dianggap hanya terdapat di wadah-wadah pendidikan yang bernama sekolah, tempat mendapatkan selembar ijasah ataupun gelar untuk modal mencari pekerjaan. Padahal sesungguhnya pendidikan harus ada di setiap proses kehidupan. Bahkan rumah sekalipun adalah wadah pendidikan. Mengkritisi sinetron televisi Sinetron, tayangan ini mayoritas menjadi andalan siaran televisi. Dan ditayangkan di jam dimana keluarga dapat menontonnya. Sinetron mengangkat realitas masyarakat yang juga terdapat asimilasi budaya di dalamnya. Tayangan sinetron juga dapat menjadi proses pembelajaran yang dapat diserap di masyarakat. Tayangan sinteron televisi saat ini lebih sekedar menjadi hiburan dari pada mendidik penontonnya. Anehnya hampir semua tayangan sinetron memiliki warna hiburan yang sama yaitu perebutan harta, kekerasan, mistik, obsesi cinta, orang gila/idiot. Jika ini dibiarkan, bisa jadi kasus yang sama akan terjadi di tak jauh berbeda seperti yang dipaparkan oleh Jon Naisbit. Perbedaannya pun mungkin karna di dengan ide-ide cerita segar. Sinetron justru terjebak dengan tema yang monoton. Sangat langka kisah-kisah aktivis sosial, tokoh-tokoh perubahan masyarakat, diangkat menjadi sinetron. Padahal perubahan-perubahan besar yang terjadi di negara ini terjadi justru karena sumbangsih tokoh-tokoh seperti ini, dan bukan dari orang-orang yang hanya terjebak dalam permasalahan kerluarga dan harta gono gini yang selalu diungkap di setiap sinetron kita. Televisi sebagai wadah pendidikan perlu dijadikan misi kedepan. Karena televisi wadah komunikasi dan informasi yang efektif. Caranya bisa melalui:Membuat aturan persentasi tayangan yang bersifat mendidikMerangsang minat pelaku entertainment untuk menghasilkan tayangan yang bersifat pendidikan, melalui sayembara-sayembara.Melakukan pendidikan kepada para insan pertelevisian untuk memahami bagaimana sesungguhnya tayangan yang bervisi pendidikan. Masyarakat pro aktif mengkritisi tayangan televisi. Caranya dapat melayangkan ke stasiun televisi terkait, ataupun lembaga-lembaga sensor yang ada.

Sumber : http://peranita.multiply.com/journal/item/6

Tidak ada komentar: