tag:blogger.com,1999:blog-61547023545530239262023-11-15T23:58:09.100+07:00media televisi pendidikanAKU TUhttp://www.blogger.com/profile/00759864107426711727noreply@blogger.comBlogger29125tag:blogger.com,1999:blog-6154702354553023926.post-73000644110538209572009-01-07T22:03:00.001+07:002009-01-07T22:14:13.435+07:00Makalah Sistem Belajar MandiriBAB I<br />PENDAHULUAN<br /><br />A. Kajian Teori<br />1. Perkembangan Batasan Model Pendidikan Terbuka Dan Jarak Jauh <br />Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh (PTJJ) itu sudah timbul bertahun-tahun sebelum kita, bangsa Indonesia, mengenalnya. Pengertian atau batasan PTJJ itu berkembang dari waktu ke waktu.<br /><br /><br />Pada tahun 1968, G. Mackenzie, E. Christensen, dan P. Rigby mengatakan bahwa: Sekolah korespondensi sebagai salah satu bentuk PTJJ merupakan metode pembelajaran yang menggunakan korespondensi sebagai alat untuk berkomunikasi antara peserta didik (siswa) dengan pendidik (guru). <br />Menurut mereka karakteristik PTJJ adalah sebagai berikut:<br />• Siswa dan guru bekerja secara terpisah.<br />• Siswa dan guru dipersatukan melalui korespondensi.<br />• Perlu adanya interaksi antara siswa dan guru.<br /><br />Pada tahun 1971 di Perancis ada undang-undang yang mengatur penyelenggaraan BT/JJ. Hukum tersebut memuat batasan sebagai berikut: Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh itu merupakan bentuk pendidikan yang memberikan kesempatan kepada siswanya untuk belajar secara terpisah dari gurunya. Pertemuan antara guru dan siswa hanya dilakukan kalau ada peristiwa yang istimewa atau untuk melakukan tugas-tugas tertentu saja.<br />Menurut batasan di atas ada dua ciri utama yang menonjol, yaitu:<br />• Terpisahnya guru dan siswa,<br />• Adanya kemungkinan untuk acara pertemuan atau pelajaran secara tatap muka tertentu antara guru dan siswanya.<br /><br />Pada tahun 1973 dan diulang lagi pada tahun 1977, M. Moore mengajukan batasan PT/JJ sebagai berikut: Pendidikan Terbuka/Jarak Jauh merupakan metode pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara terpisah dari kegiatan mengajarnya, sehingga komunikasi antara siswa dan guru harus dilakukan dengan bantuan media cetak, elektronik, mekanis, dan peralatan lainnya. <br />Yang menonjol dalam batasan Moore itu adalah: <br />• Terpisahnya siswa dan guru dalam proses belajar mengajar,<br />• Digunakannya media untuk komunikasi antara siswa dan guru.<br /><br />Pada tahun 1977, B. Holmeberg memberikan batasan sebagai berikut: Dalam sistem PT/JJ siswa belajar tanpa mendapatkan pengawasan langsung secara terus menerus dari tutor yang hadir di ruang belajar atau di lingkungan sekolah, namun demikian siswa mendapat keuntungan dari perencanaan, bimbingan, dan pembelajaran dari suatu lembaga yang mengorganisasikan PT/JJ itu. <br />Yang menjadi fokus dari batasan Holmberg adalah:<br />• Bahwa siswa dan guru bekerja secara terpisah,<br />• Adanya perencanaan pembelajaran yang dilakukan oleh sesuatu lembaga pendidikan yang mengatur PT/JJ itu.<br /><br />Setelah tahun 1997 batasan PT/JJ itu masih terus berkembang. Ciri-ciri yang menonjol selama masa perkembangan itu adalah terpisahnya siswa dan guru, adanya lembaga yang mengelola, digunakannya media untuk menyampaikan isi pelajaran, adanya komunikasi dua arah antara siswa dan guru, dan tidak adanya kelompok belajar yang tetap. Pada tahun 1980 Peter melontarkan kembali tambahan ciri pada PT/JJ yang mengatakan bahwa PT/JJ seolah-olah dikelola seperti industri. Pendapat Peter ini ada yang mendukung, tetapi juga ada yang tidak dapat menerima.<br /><br />2. Faktor - faktor yang Mempengaruhi Kesiapan Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh<br /><br />Banyak faktor yang mempengaruhi untuk tumbuhnya belajar mandiri, yaitu:<br />1. Terbuka terhadap setiap kesempatan belajar, belajar pada dasarnya tidak dibatasi oleh waktu, tempat dan usia.<br /><br />2. Memiliki konsep diri sebagai warga belajar yang efektif, seseorang yang memiliki konsep diri berarti senantiasa mempersepsi secara positif mengenai belajar dan selalu mengupayakan hasil belajar yang baik<br /><br />3. Berinisiatif dan merasa bebas dalam belajar, inisiatif merupakan dorongan yang muncul dari diri seseorang tanpa dipengaruhi oleh orang lain, seseorang yang memiliki inisiatif untuk belajar tidak perlu dirangsang untuk belajar.<br /><br />4. Memiliki kecintaan terhadap belajar, menjadikan belajar sebagai bagian dari kehidupan manusia dimulai dari timbulnya kesadaran, keakraban dan kecintaan terhadap belajar.<br /><br />5. Kreativitas. Menurut Supardi (1994), kreativitas merupakan kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun kerja nyata, yang relatif berbeda dengan apa yang telah ada sebelumnya.<br /><br />Ciri perilaku kreatif yang dimiliki seseorang diantaranya dinamis, berani, banyak akal, kerja keras dan bebas. Bagi seseorang yang kreatif, tidak akan kuatir atau takut melakukan sesuatu sepanjang yang dilakukannya mengandung makna.<br /><br />6. Memiliki orientasi ke masa depan. Seseorang yang memiliki orientasi ke masa depan akan memandang bahwa masa depan bukan suatu yang mengandung ketidakpastian.<br /><br />7. Kemampuan menggunakan keterampilan belajar yang mendasar dan memecahkan masalah.<br /><br />B. Kondisi Real untuk Model – Model Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh<br />Suryadi (2005) menyatakan bahwa sistem belajar konvensional di universitas tidak efektif dalam era global perkembangan teknologi, informasi dan komunikasi yang maju pesat. Sekolah dan perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan formal belum banyak menghasilkan SDM unggul yang mampu menggerakkan perubahan dan pembaruan dalam rangka menciptakan akselerasi pembangunan untuk kemajuan bangsa. Menurut Suryadi (2005), sistem pendidikan belum berhasil mengatasi enam aspek kelemahan pada luaran pendidikan, yaitu :<br />1. Kelemahan mengembangkan power of character.<br />Sistem pendidikan nasional belum mampu mengembangkan karakter dan moral anak didik. Hal ini tampak pada munculnya fenomena sosial seperti egoisme pribadi/kelompok, lemahnya solidaritas, konflik sosial, korupsi, kurang bertanggung jawab, krisis identitas, dan tidak percaya diri. <br /><br />2. Kelemahan mengembangkan power of leadership. <br />Konsep leadership cenderung direduksi sebatas kepandaian menjadi pemimpin. <br /><br />3. Kelemahan mengembangkan power of citizenship. <br />Sistem pendidikan belum mampu menanamkan penghayatan, motivasi, dan komitmen untuk memberdayakan heterogenitas sosial dan budaya bangsa sebagai kekuatan dalam percaturan antar bangsa. <br />4. Kelemahan mengembangkan power of thinking. <br />Praktek pendidikan kita tidak banyak memberikan latihan berpikir. <br /><br />5. Kelemahan mengembangkan power of skills. <br />Ada kesan kuat bahwa sistem pendidikan dirancang untuk menghasilkan lulusan yang tidak siap kerja. Dalam konteks ini, kita masih menghadapi masalah lemahnya penguasaan keterampilan dan relevansi antara dunia pendidikan dengan dunia kerja nyata. Sistem pendidikan nasional juga tidak memiliki konsep dalam mengembangkan kecakapan entrepreneurship. <br /><br />6. Kelemahan mengembangkan power of engineering.<br />Pendidikan kita belum mampu mendorong tumbuhnya kekuatan riset, inovasi dan rekayasa teknologi untuk membangun keunggulan kompetitif. <br /><br />Selain itu, salah satu persoalan pelik yang dihadapi sistem pendidikan konvensional adalah daya tampung yang rendah. Dalam kondisi demikian maka sistem PTJJ agaknya dapat dijadikan sebagai sebuah solusi. <br /><br />Pembelajaran jarak jauh (distance learning) telah diperkenalkan oleh banyak peneliti, misalnya Keegan (1980); Perry dan Rumble (1987). Karakteristik utama PTJJ adalah: a). pemisahan dosen dan mahasiswa selama proses belajar mengajar; b). penggunaan media pendidikan (cetak, audio, vidio dan internet) untuk menyatukan dosen dan mahasiswa; c). peranan penting organisasi pendidikan dalam perencanaan, persiapan bahan belajar dan penyediaan pelayanan mahasiswa; d). tersedianya komunikasi dua arah, dan e). kemandirian belajar mahasiswa (Rusfidra, 2006a,b).<br /><br />Praktek pembelajaran jarak jauh sangat berbeda dengan model kelas jauh. Menurut Fajar (2002) PTJJ adalah perguruan tinggi yang dalam proses pembelajarannya menggunakan teknologi media, sedangkan kelas jauh sifatnya paralel (semacam filial), kelas yang jauh dari kampus pusatnya (Koran Tempo, 23/02/2002). Berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pendidikan Tinggi No 2630/D/T/2000, model pembelajaran kelas jauh tidak boleh dilakukan, karena diduga dapat merugikan mahasiswa. Sampai saat ini PTN yang secara resmi menyelenggarakan sistem PTJJ hanyalah Universitas Terbuka, meskipun berdasarkan Keputusan Mendiknas Nomor 107/U/2001 tentang Penyelenggaraan Program Pendidikan Jarak Jauh, memungkinkan bagi setiap lembaga pendidikan tinggi menyelenggarakan sistem PTJJ.<br /><br />C. Permasalahan Dalam Model – Model Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh<br />Pendidikan merupakan salah satu faktor determinan kualitas SDM. Akses setiap guru untuk meningkatkan kapasitas diri dengan mengikuti perkuliahan di pendidikan tinggi harus dibuka seluas-luasnya karena pendidikan merupakan hak asasi warganegara. Pendidikan adalah kunci untuk menciptakan, mengadaptasi dan menyebarkan ilmu pengetahuan.<br /><br />Dalam konteks itu, gagasan PTJJ merupakan komponen penting dalam strategi nasional maupun global untuk mendidik mahasiswa dalam jumlah besar. Hal ini sejalan dengan konsep belajar sepanjang hayat (life long learning) dan pendidikan untuk semua (education for all) yang diusung Badan Pendidikan dan Kebudayaan PBB (UNESCO).<br />• Penggunaan model pada pendidikan terbuka dan jarak jauh mempengaruhi proses dan hasil belajar peserta didik, yang mana hal ini masih sangat kurang diketahui oleh pendidik maupun peserta didik.<br />• Pemahaman tentang model-model ini sangat berpengaruh terhadap penentuan model apakah yang cocok digunakan oleh masing-masing lembaga pendidikan jarak jauh, karena penentuan model juga berpengaruh terhadap tingkat kualitas guru dalam pembelajaran. <br />• Kualitas pembelajaran dipandang kurang bermutu karena penerapan model yang mungkin belum dipahami pendidik dan peserta didik, sehingga lulusan PTJJ masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat.<br />D. Rumusan Masalah<br />Berdasarkan pemaparan yang telah kami sampaikan diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang akan dibahas yaitu sebagai berikut:<br />1. Apa saja model yang dipakai dalam pendidikan terbuka dan jarak jauh ?<br />2. Bagaimana penerapan model pembelajaran jarak jauh untuk meningkatkan mutu guru dalam pembelajaran? <br />3. Bagaimana kualitas dalam pembelajaran pendidikan terbuka dan jarak jauh?<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB II<br />PEMBAHASAN<br />A. Berbagai Model yang Dipakai untuk Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh<br />Dalam uraian sebelumnya dapat Anda ketahui bahwa sebelum kita mengenal sistem PT/JJ telah banyak lembaga di luar negeri yang menyelenggarakan PT/JJ. Batasan yang mereka gunakan mempunyai penekanan yang berbeda-beda, sebelum akhirnya dirumuskan batasan yang berlaku umum. Pada waktu itu yang berbeda sesungguhnya bukan hanya batasannya, model dan nama-nama yang mereka gunakan juga berbeda-beda. <br />Berikut akan di uraikan beberapa dari model-model itu:<br />a. Sekolah Korespondensi<br />Sekolah Korespondensi kadang disebut Pendidikan melalui Korespondensi atau Belajar melalui Korespondensi. Sekolah Korespondensi mempunyai riwayat yang panjang dalam pendidikan anak-anak dan orang dewasa. Sampai sekarang Sekolah Korespondensi dianggap masih ada, sebab masih banyak Pendidikan Terbuka/Jarak Jauh yang dikelola melalui hubungan surat-menyurat dengan bantuan pos.<br /><br />UNESCO memberi batasan Sekolah Korespondensi sebagai berikut:<br />“Pendidikan yang dilakukan dengan menggunakan jasa pos tanpa adanya pertemuan tatap muka antara guru dan siswa”. Pengajaran dilakukan melalui bahan belajar dalam bentuk cetakan atau rekaman kaset suara yang dikirimkan kepada siswa melalui pos. Kemajuan belajar siswa dimonitor dengan menggunakan latihan atau tugas-tugas tertulis atau latihan yang direkam dalam kaset. Siswa mengerjakan latihan itu menggunakan tulisan atau rekaman kaset juga yang dikirimkan kepada guru yang ada di Pusat Lembaga PT/JJ. Guru memeriksa pekerjaan siswa dengan memberi komentar dan saran-saran secara tertulis atau melalui rekaman kaset. Hasil koreksi itu dikirimkan kembali kepada siswa.<br />Beberapa tahun yang lalu, Sekolah Korespondensi di Australia dikelola sebagai berikut:<br />• Kurikulum dan bahan belajar disusun oleh guru-guru yang berkantor di lembaga yang mengelola Sekolah Korespondensi itu.<br />• Bahan belajar dikirimkan kepada siswa melalui pos ke rumah siswa.<br />• Siswa mempelajari bahan belajar itu dengan pengawasan dan bimbingan orang tua masing-masing.<br />• Siswa mengerjakan tugas atau latihan yang disediakan dalam bahan belajar itu.<br />• Pekerjaan siswa dikirimkan kepada guru di Kantor Pusat Sekolah Korespondensi.<br />• Guru mengoreksi, memberi komentar, dan memberikan saran-saran secara tertulis pada pekerjaan siswa itu.<br />• Pekerjaan siswa yang telah dikoreksi dikirimkan kembali kepada siswa. Dengan demikian siswa akan mengetahui kemajuan belajar masing-masing.<br />• Pada waktu-waktu tertentu (biasanya pada musim panas) diadakan acara “camping” yang diikuti oleh para siswa. Pada saat itu dipelajari pelajaran yang memerlukan praktek seperti kesenian, olah raga, pekerjaan tangan.<br /><br />Di Australia kerjasama antara PT/JJ dan Pos sangat baik. Surat-surat atau pelajaran yang dikirimkan melalui pos tidak dipungut biaya. Untuk memudahkan proses pengiriman, oleh Kantor Pos disediakan amplop mondar-mandir. Sebuah amplop yang bertanda khusus digunakan berulang kali, mondar-mandir dari guru ke siswa dan dari siswa ke guru. Sekolah Korespondensi sangat tergantung pada jasa pos. Karena itu bila sistem pengiriman melalui pos belum terjamin kelancarannya, sistem ini sulit dilaksanakan. <br /><br /><br /><br />b. Pendidikan Terbuka<br />Banyak pendidikan terbuka yang diselenggarakan di berbagai negara. Mungkin Anda pernah mendengar nama-nama pendidikan terbuka seperti SMP Terbuka, SMA Terbuka dan Universitas Terbuka di Indonesia, Sukhothai Thammthirat Open University (STOU) di Thailand, The British Open University di United Kingdom, The Univeristy of Manila Open Universisty di Pilipina. Pendidikan Terbuka ini mempunyai karakteristik umum yang sama dengan belajar terbuka/jarak jauh (BT/JJ). Namun menurut para penyelenggara Pendidikan Terbuka ada perbedaan yang khas antara Pendidikan Terbuka dan BT/JJ. Apakah perbedaannya?<br /><br />Seperti halnya dalam BT/JJ, siswa Pendidikan Terbuka dapat belajar dari jauh, maksudnya belajar jauh atau terpisah dari guru atau dosen dan mungkin juga jauh dari lembaga penyelenggaranya. Sebagai contoh, beribu-ribu mahasiswa Universitas Terbuka menghabiskan sebagian waktu belajarnya untuk belajar sendiri di tempat mereka masing-masing. Mereka menghadiri pelajaran secara tatap muka dengan dosen atau tutor hanya dalam waktu-waktu tertentu saja. Namun demikian belajar terbuka (open learning) atau pendidikan terbuka dapat terjadi di ruang kuliah yang penuh dengan siswa. <br /><br />Menurut Race (1989), seorang siswa yang sedang belajar sendiri dengan mempelajari buku teks, buku acuan, atau hand out untuk menjawab pertanyaan yang diberikan oleh guru, dapat dikatakan bahwa dia sedang belajar secara terbuka (open learning), sungguhpun hal itu dilakukan dalam kelas bersama dengan siswa lain. Dengan pengertian yang sama, belajar terbuka dapat terjadi di laboratorium, pusat pelatihan, tempat lokakarya, dan sebagainya. Pokoknya hampir di semua tempat belajar terbuka dapat terjadi, tidak peduli apakah pada saat itu siswa itu menjadi bagian dari kelompok atau sendirian saja.<br /><br /><br />Konsep di atas diterapkan dalam sistem SLTP Terbuka. Setiap hari siswa wajib belajar di Tempat Kegiatan Belajar (TKB) bersama siswa lain. Namun demikian masing-masing siswa aktif belajar sendiri secara mandiri. Di TKB itu mereka tidak belajar dengan mendengarkan guru mengajar, melainkan belajar sendiri dengan menggunakan modul dengan bimbingan terbatas dari tutor yang disebut guru pamong. Sungguhpun duduk di satu ruangan bersama dengan siswa lain, mereka boleh mempelajari modul yang berbeda-beda.<br /><br />Apakah arti terbuka dalam konsep “pendidkan terbuka” atau “belajar terbuka” itu? Terbuka berarti bahwa siswa atau peserta pendidikan lebih leluasa dalam menentukan pilihan dari pada siswa pendidikan konvensional. Leluasa dalam memilih apa?<br /><br />• Siswa atau peserta didik mempunyai keleluasaan dalam menentukan kecepatan belajarnya. Lama waktu untuk mempelajari sesuatu penggalan isi pelajaran (learning chunk) ditentukan oleh siswa sendiri. Keleluasaan seperti ini tidak dimiliki oleh siswa pendidikan konvensional, sebab dalam sistem pendidikan konvensional siswa harus menyesuaikan kecepatan belajarnya dengan kecepatan guru dalam mengajar. Kalau dosen atau guru memberikan penjelasan mengenai sesuatu topik terlalu lambat atau lama siswa yang pandai harus tetap mengikutinya sungguhpun mereka telah mengert dan menjadi bosan. Sebaliknya kalau guru mengajar terlalu cepat siswa yang lamban harus berusaha untuk mengikutinya meskipun barangkali mereka mendapatkan kesulitan dalam memahaminya, sehingga akibatnya dapat menjadi frustrasi.<br />• Siswa atau peserta didik mempunyai keleluasaan dalam memilih tempat belajar. Belajar terbuka dapat dilakukan di rumah, di perpustakaan, di tempat kerja, atau di mana saja yang dianggap tepat oleh siswa itu sendiri.<br />• Siswa atau peserta didik dapat menentukan sendiri waktu belajarnya, sesuai dengan kemauan dan waktu yang dimilikinya.<br />• Siswa atau peserta didik dapat menentukan sendiri cara belajar yang sesuai untuk dirinya. Siswa dapat menyusun rencana belajar dengan memilih sebuah modul dan dipelajarinya sampai selesai dalam batas waktu tertentu, baru kemudian pindah ke modul lain. Siswa juga bebas menentukan apakah semua modul akan dipelajari setiap hari. Dalam hal ini masing-masing modul diberi jatah waktu tertentu, misalnya masing-masing 60 menit. Kalau jumlah modulnya ada 4 buah, maka setiap hari belajar 4 x 60 menit=240 menit. .Siswa juga bebas menentukan media belajar yang akan digunakannya, apakah membaca buku, melihat program video, belajar dengan bantuan komputer, mendengarkan kaset audio, menghadiri diskusi atau seminar, dan sebagainya.<br /><br />Pengertian terbuka seringkali juga mengacu pada kriteria penerimaan siswa. Banyak Pendidikan Terbuka yang membebaskan calon siswa dari persyaratan masuk atau kualifikasi dalam menerima mahasiswa baru. Di samping itu siswa juga dapat tidak aktif untuk sementara waktu, dan kemudian aktif lagi di lain waktu.<br /><br />c. Distance Teaching, Distance Learning, dan Distance Education<br />Mungkin Anda menjadi bingung bila membaca istilah-istilah yang hampir sama di atas, lebih-lebih karena istilah-istilah tersebut seringkali digunakan secara bergantian atau tumpang tindih (interchangable).<br /><br />Keegan (1986) membedakan ketiga istilah tersebut sebagai berikut.<br />Distance Teaching berusaha mengembangkan bahan belajar mandiri yang bermutu yang dapat digunakan oleh lembaga pendidikan untuk memberikan pelajaran dari jauh. Orang-orang yang menggunakan istilah ini lebih menekankan pada penyediaan bahan belajar untuk mengajar, tetapi kurang memperhatikan bagaimana proses belajar dapat terjadi pada diri siswa. Padahal bahan belajar yang dikembangkan dengan biaya mahal itu kadang-kadang tidak dapat mengajarkan apa-apa, karena tidak dipakai oleh siswa atau karena siswa tidak tahu cara memakainya. Dengan perkataan lain istilah distance teaching itu terlalu berorientasi pada guru (teacher oriented).<br /><br />Sebaliknya Distance Learning lebih banyak menekankan pada proses belajar siswa. Orang yang menggunakan istilah ini banyak memikirkan mengenai bantuan-bantuan yang perlu diberikan kepada siswa supaya mereka belajar dan dapat memahami isi pelajarannya. Tetapi sayang orang-orang ini kurang memikirkan bagaimana bahan belajar jarak jauh yang bermutu dan mudah dipelajari siswa harus dikembangkan. Dengan perkataan lain istilah distance learning terlalu berorientasi pada siswa (student oriented).<br /><br />Istilah Distance Education merupakan perpaduan istilah Distance Teaching dan Distance Learning tersebut dan lebih tepat untuk digunakan. Dalam sistem Distance Education siswa belajar secara terpisah dari guru, karena itu bahan belajar yang digunakan harus disusun secara khusus supaya relatif lebih mudah untuk dipelajari siswa sendiri. Bahan belajar ini tidak cukup hanya dikembangkan oleh ahli isi pelajaran (content specialist) sendiri saja, melainkan perlu melibatkan ahli pengembang pembelajaran, ahli media, dsb. dalam penyusunannya. Namun perlu disadari bahwa betapapun bahan belajar itu telah disusun supaya dapat dicerna sendiri oleh siswa, kesulitan-kesulitan yang dihadapi siswa waktu belajar secara mandiri selalu ada. Karena itu perlu adanya bantuan pelayanan dan bantuan belajar bagi siswa. Dengan perkataan lain perlu adanya sistem pengelolaan belajar jarak jauh yang baik supaya di samping penyediaan bahan belajar yang baik dapat juga disediakan bantuan belajar yang cukup.<br /><br />d. External Study, Home Study dan Independent Study<br />Istilah-istilah ini seringkali dipakai orang untuk pengertian BT/JJ. <br />External Studies. External studies adalah istilah yang dipakai secara luas di Australia. Istilah ini menggambarkan etos Belajar Terbuka/Jarak Jauh yang dijumpai di universitas-universitas di Australia. Istilah External Studies mengandung arti “di luar” tetapi “tidak terpisah” dari tanggung jawab staf dosen dari suatu universitas atau perguruan tinggi. Jelasnya staf dosen yang sama mempunyai dua kelompok siswa yang berbeda. Kelompok pertama disebut kelompok “on campus” adalah kelompok siswa yang belajar di kampus seperti laiknya mahasiswa yang belajar di universitas. Kelompok kedua disebut kelompok “external” atau “off campus”. Kelompok yang kedua ini tidak harus mengikuti kuliah di kampus tetapi belajar sendiri di luar kampus. Namun demikian tujuan yang ingin dicapai, dan bahan belajar yang akan dipelajari siswa external itu perlu dikonsultasikan dan didiskusikan dengan dosen di kampus. Dengan demikian dosen di kampus harus menyiapkan kedua kelompok mahasiswa tadi supaya mereka dapat menempuh ujian yang sama untuk mendapatkan gelar yang sama.<br /><br />Home Study. Menurut Keegan (1986) istilah home study diciptakan pada saat para Direktur Sekolah Korespondensi mengadakan konferensi dan mendirikan asosiasi yang disebut National Home Study Council bukannya National Correspondence Study Council. Istilah Home Study ini hanya dipakai di Amerika Serikat dan hanya mengacu pada pendidikan lanjutan untuk orang dewasa. Home Study bukan bagian dari universitas, melainkan sekolah korespondensi untuk orang-orang dewasa di Amerika Serikat. Dalam sistem ini siswa tidak harus belajar di sekolah atau di pusat pendidikan dan pelatihan. Walaupun istilah yang dipakai home study, tetapi dalam praktiknya mahasiswanya tidak selalu atau tidak hanya belajar di rumah saja. Biasanya sebagian bahan belajar dipelajari di rumah, sebagian yang lain dipelajari di Pusat-pusat Sumber Belajar, di perpustakaan, di pusat-pusat pelatihan, atau di tempat-tempat lain yang dipandang sesuai bagi mereka.<br /><br />Independent Study. Istilah ini diperkenalkan oleh Charles Wedemeyer dari Universitas Wiscounsin sebagai istilah umum untuk jenis-jenis pendidikan yang di Amerika Serikat biasa disebut sebagai “belajar melalui korespondensi, pendidikan terbuka, pengajaran melalui radio dan TV, atau belajar mandiri.” Sedangkan di Eropa jenis-jenis yang disebutkan tadi digolongkan ke dalam Belajar Terbuka/Jarak Jauh.<br /><br />Istilah Independent Study ini seringkali dipakai sebagai ganti istilah Belajar Terbuka/Jarak Jauh di Amerika Serikat. Kelemahan istilah ini kadang-kadang ditafsirkan sebagai ketidakterikatan pada lembaga pendidikan, Padahal Belajar Terbuka/Jarak Jauh itu selalu terikat dan dikelola oleh suatu lembaga pendidikan. Di Amerika Serikat sendiri orang seringkali ragu-ragu untuk menggunakan istilah ini sebab istilah tersebut sudah sering dipakai sebagai pengganti istilah belajar secara individual. Memang proses belajar dalam sistem PT/JJ seringkali dilakukan secara individual, tetapi tidak semua belajar secara individual adalah pendidikan jarak jauh. Pada sistem belajar konvensional kadang kala siswa diminta belajar secara individual. Tujuan dan hasil yang ingin dicapai ditentukan melalui kontrak yang disepakati oleh dosen dan mahasiswa secara individual. <br /><br />B. Penerapan Model Pembelajaran Jarak Jauh untuk Meningkatkan Kompetensi Guru Di Sekolah<br />Salah satu komponen penting dalam upaya meningkatkaan mutu pendidikan nasional adalah adanya guru yang berkualitas, profesional dan berpengetahuan. Guru, tidak hanya sebagai pengajar, namun guru juga mendidik, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik.<br /><br />Dalam menjalankan tugasnya sebagai agen pembelajaran, maka guru diharapkan memiliki empat kompetensi dasar, yaitu kompetensi pedagogis, kompetensi sosial, kompetensi kepribadian dan kompetensi profesional. Menurut Zamroni (2006), guru yang profesional adalah guru yang menguasai materi pembelajaran, menguasai kelas dan mengendalikan perilaku anak didik, menjadi teladan, membangun kebersamaan, menghidupkan suasana belajar dan menjadi manusia pembelajar (learning person).<br />Selain sebagai sebuah profesi, seorang guru adalah motivator dan fasilitator dalam transformasi IPTEK pada anak didik. Oleh karena itu, guru pada abad ke XXI adalah seorang saintis yang menguasai ilmu pengetahuan yang ditekuninya. Sebagai ilmuwan, guru tergolong elit intelektual. Guru bukanlah profesi kelas dua. Sebab itu, calon guru sebaiknya adalah insan terpilih untuk jabatan profesi mulia.<br /><br />Menurut Rustaman (2006) profesi guru adalah profesi “saintis plus” yang harus menguasai IPTEK dan mampu sebagai motivator dan fasilitator. Sebagai motivator dan fasilitator proses belajar, guru adalah seorang komunikator ulung karena ia harus mampu memberi jiwa terhadap informasi yang diberikan oleh saran komunikasi yang super canggih. <br /><br />Pasca pemberlakuan UU Guru dan Dosen, guru yang mengajar di pendidikan dasar dan pendidikan menengah disyaratkan memiliki kualifikasi pendidikan sarjana (S-1) atau diploma IV (D-IV). Karena itu, guru yang belum berkualifikasi sarjana diberikan kesempatan mencapai kualifikasi minimal tersebut dalam waktu 10 tahun. Berdasarkan data Balitbang Depdiknas (2004) guru SMA yang berkualifikasi sarjana baru 72,75 persen; guru SMK 62,16 persen; SMP 42,03 persen; SD 8,30 persen dan TK 3,88 persen. Sisanya sekitar 1,9 juta orang belum berkualifikasi sarjana. Semakin tinggi kualitas guru diharapkan kualitas pendidikan nasional akan meningkat. Faktanya, hingga kini kualitas pendidikan masih sangat rendah. Menurut Shanghai Jiaotong University (2005) tak satupun perguruan tinggi di Indonesia yang masuk rangking dalam 100 perguruan tinggi terbaik di Asia dan Australia. <br /><br />Pendidikan merupakan pilar utama dalam membangun sumber daya manusia (SDM) berkualitas. Semakin terdidik suatu masyarakat semakin besar peluang memiliki SDM yang berkualitas. Semakin tinggi kualitas SDM, semakin besar kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraan. Kuatnya kaitan antara pendidikan dengan SDM dalam mengukur keberhasilan pembangunan SDM suatu negara diperlihatkan oleh United Nation Development Program (UNDP). <br /><br />Dalam kondisi tersebut, perlu dicari alternatif lain seperti menerapkan pendidikan tinggi jarak jauh (PTJJ) untuk menyediakan kesempatan belajar yang lebih murah dan pemerataan kesempatan belajar di pendidikan tinggi. Gagasan tentang universitas terbuka dan PTJJ, virtual university, e-learning, open learning, flexible learning dan home schooling menjadi komponen penting dalam strategi nasional dan global untuk mendidik mahasiswa dalam jumlah besar. <br /><br />Ditinjau dari metode penyampaian materi ajar dalam proses pembelajaran di perguruan tinggi, dikenal dua model pendidikan, yaitu model pendidikan tinggi tatap muka (konvensional) dan PTJJ. Berbeda dengan pendidikan tatap muka, pada PTJJ, dosen dan mahasiswa dibatasi oleh jarak karena faktor geografis. Komunikasi antara dosen dan mahasiswa lebih banyak dilakukan melalui surat, telepon, faksimili atau e-mail (Rusfidra, 2002, 2006a,b).<br />C. Kualitas Dalam Pembelajaran Pendidikan Terbukan dan Jarak Jauh <br />Negara Indonesia yang tersusun dari 17.508 buah pulau terbentang dari Sabang sampai Merauke memiliki potensi besar dalam mengembangkan sistem PTJJ, meskipun masih banyak sinyalemen di masyarakat bahwa PTJJ dianggap sebagai pendidikan kelas dua. Anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar. Tuduhan lain yang agak mengusik pelaku PTJJ adalah rendahnya mutu lulusan institusi PTJJ. Namun hal itu berhasil ditepis oleh Selim (1989) dalam Suparman (1989). Di Australia, hasil studi Selim (1989) menunjukkan bahwa prestasi mahasiswa PTJJ justru lebih baik dari mahasiswa perguruan tinggi konvensional. Begitu pula temuan Sunarwan (1982), tidak terdapat perbedaan signifikan prestasi belajar antara siswa pendidikan yang menggunakan modul dan pengajaran tatap muka. <br />Meskipun memiliki beberapa keunggulan, namun sistem PTJJ yang dikembangkan UT tak bebas dari kritik. Sebagai misal, salah satu kritik itu adalah berita di harian Kompas (9/5/2005) yang berjudul ”Kuliah jarak jauh tidak menjamin kompetensi guru”. Kritik terbuka Markus Wanandi (Direktur Yayasan Perkumpulan Strada, Jakarta), terkesan mendiskreditkan UT. Markus mengaku pernah memecat seorang guru lulusan UT yang bekerja di sekolahnya, karena tidak kompeten dalam mengajar. <br /><br />Tuduhan Markus mengenai rendahnya kompetensi guru lulusan UT sangat prematur dan dapat diperdebatkan. Perlu diketahui bahwa guru-guru yang melanjutkan pendidikan di UT merupakan lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) dan LPTK. Diasumsikan metode belajar mengajar dan teknik pengelolaan kelas sudah mereka dapatkan di lembaga pendidikan terdahulu. Lagi pula, guru-guru tersebut telah berpengalaman mengajar bertahun-tahun. Oleh karena itu, tidak tepat bila Markus menyalahkan UT semata-mata. Ketidakakuratan Markus yang lain adalah kekeliruan dalam penarikan kesimpulan. Bagaimana mungkin hanya dari satu kasus, Markus lantas membuat kesimpulan umum. Penarikan kesimpulan seperti itu tidak memenuhi kaidah metode ilmiah dengan metode statistik yang sahih (Rusfidra, 2006b).<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB III<br />PENUTUP<br /><br />A. SIMPULAN<br />Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa :Keberhasilan pendidikan jarak jauh ditunjang oleh adanya interaksi maksimal antara Guru dan siswa, antara siswa dengan berbagai fasilitas pendidikan, antara siswa dengan siswa lainnya, adanya pola pendidikan aktif dalam interaksi tersebut. <br />Bila pendidikan bebasis pada web, maka diperlukan adanya pusat kegiatan mahasiswa, interaksi antar grup, administrasi penunjang sistem, pendalaman materi, ujian, perpustakan digital, dan materi online. Dari sisi Teknologi informasi; dunia Internet memungkinkan perombakan total konsep-konsep pendidikan yang selama ini berlaku. Teknologi informasi & telekomunikasi dengan murah & mudah akan menghilangkan batasan-batasan ruang & waktu yang selama ini membatasi dunia pendidikan.<br />Beberapa konsekuensi logis yang terjadi antara lain adalah: <br />1. Siswa dapat dengan mudah mengambil matakuliah dimanapun di dunia tanpa terbatas lagi pada batasan institusi & negara; <br />2. Siswa dapat dengan mudah berguru pada orang-orang ahli / pakar di bidang yang diminatinya. Cukup banyak pakar di dunia ini yang dengan senang hati menjawab berbagai pertanyaan yang datang; <br />3. Belajar bahkan dapat dengan mudah diambil di berbagai penjuru dunia tanpa tergantung pada si siswa belajar. Artinya konsep Pendidikan terbuka akan semakin membaur pada zaman ini. Konsekuensi yang akan. <br />4. Guru adalah motivator dan fasilitator dalam transformasi IPTEK pada anak didik. Guru bukanlah profesi kelas dua. Sebab itu, calon guru sebaiknya adalah insan terpilih untuk jabatan profesi mulia. <br />5. Pembelajaran jarak jauh merupakan salah satu solusi dalam meningkatkan kompetensi guru IPA menjadi guru berpengetahuan, cerdas, kreatif, inovatif dan produktif. <br />6. Ciri utama PTJJ adalah terpisahnnya dosen dengan mahasiswa. Sebagian besar komunikasi antara dosen dan mahasiswa dilakukan melalui surat, telepon, faksimili atau e-mail.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br /> Aristohadi. 2008. Konsepsi Pendidikan Terbuka/Jarak jauh http://aristohadi.wordpress.com. 13 Oktober 2008, 20:48 WIB<br /> http://saina-kurtekdik.blogspot.com. 2008. Pengembangan Model Pembelajaran Jarak Jauh. 28 Oktober 2008, 10:03 WIB<br /> http://anakciremai.blogspot.com. 2008. 29 Oktober 2008, 10:55 WIB<br /> http://tpers.net. 2008. Model Pendidikan dengan Sistem Belajar Mandiri. 29 Oktober 2008, 10:38 WIB<br /> Rusfidra. 2008. Penerapan Model Pembelajaran Jarak Jauh untuk Meningkatkan Kompetensi Guru IPA. http://undp.org. 29 Oktober 2008, 10:46 WIB<br /> Sudjana, D. (2000). Strategi Pembelajaran. Bandung : Falah Production. 29 Oktober 2008, 10:54 WIBAKU TUhttp://www.blogger.com/profile/00759864107426711727noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6154702354553023926.post-3628708504720258672008-05-31T21:10:00.003+07:002009-01-07T21:30:35.381+07:00TV Pendidikan SMKN 1 Kedawung<strong><em>Alhamdulillah</em></strong>, pada hari selasa tanggal 5 Februari 2008 telah berhasil uji coba penyiran televisi edukasi pertama di SMKN 1 Kedawung. Siaran tv edukasi ini mengudara pada frekwensi VHF 222, dan signalnya haya bisa ditangkap dilingkungan sekolah dan sekitarnya. TV ini hanya diperuntukan kepentingan media pembelajaran di sekolah kami dan sekitarnya.<br /><br />Perangkat sederhana, biaya ringan dan motifasi yang besar untuk pengembangan media pembelajaran ini mendorong dibangunnya media tv edukasi ini. Semua ini ditunjukan untuk memberikan kontribusi bagi pengembangan proses pembelajaran di sekolah sehingga diharapkan dapat membantu peningkatan mutu pendidikan khususnya di SMKN 1 Kedawung, Kabupaten Cirebon.<br /><br />Dengan mengudaranya tv edukasi ini diharapkan menjadi tatangan tersendiri bagi kami, sehingga kami punya pr besar untuk mengembangkan konten siaran yang akan dijadikan sebagai media pembelajaran.<br /><br />Banyak pihak yang akan terlibat, semua warga sekolah bahkan masyarakat sekitar akan terdorong untuk mengembangkan kreatifitasnya. Guru dan siswa yang akan menjadi objek dan subyek untuk pengembangannya.<br /><br />Pengembangan perangkat penyiaran bukan menjadi prioritas, tetapi konten siaran menjadi target utama, sehingga beberapa semester kedepan fokus pada set up program penyiaran. Setelah konten bisa memenuhi target kebutuhan warga sekolah dan sekitarnya, selanjutnya kami akan berbenah untuk pengembangan perangkat penyiaran, sehingga bisa dinikmati oleh masyarat lebih luas lagi. Dengan demikian tujuan jangka panjangnya tv ini diharapkan akan menjadi icon untuk pendidikan di cirebon dan sekitarnya.<br /><br />Semua akan beejalan sesuai dengan yang diharapkan apabila semua pihak memberikan dukungan.<br /><br />Sumber : ivan72id.blogspot.comAKU TUhttp://www.blogger.com/profile/00759864107426711727noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6154702354553023926.post-10648270056427990542008-05-31T08:36:00.004+07:002009-01-11T21:57:53.728+07:00"PENGAJARAN PENDIDIKAN MEDIA"Saat ini, kita semua sedang berada dalam sebuah revolusi yang berkaitan dengan teknologi dan budaya. Pengertian ‘revolusi' ini sesungguhnya lebih cocok bagi mereka yang saat ini sudah dewasa. Namun bagi anak-anak dan remaja, dunia mereka adalah betul-betul dunia yang tumbuh dalam era digital. Media interaktif, bagi anak-anak dan remaja bukanlah hal baru karena hal itu sudah mereka kenal sejak mereka lahir. Semenjak video game mulai populer pada tahun 1980an, maka perkembangan industri digital menjadi semakin cepat yang didukung dengan semakin populernya internet di kalangan masyarakat.<br /><br />Perkembangan industri digital yang sangat cepat itu menjadi tantangan berat bagi dunia pendidikan dan orangtua dalam menyiapkan anak didik untuk dapat menghadapi ‘banjir informasi' yang dibawa oleh media digital melalui beraneka ragam bentuk dan format. Tanpa ada penyiapan yang sistematis dan sungguh-sungguh, maka bisa diperikirakan bahwa anak-anak dan remaja akan menjadi korban dari perkembangan teknologi media yang didominasi dengan hiburan yang cenderung tidak sehat dengan muatan bisnis yang kental.<br /><br />Untuk media televisi misalnya, dampak negatif dari tayangan-tayangan yang tidak aman tentunya perlu diwaspadai. Dewasa ini, media televisi sangat memengaruhi anak-anak dengan program-programnya yang banyak menampilkan adegan kekerasan, hal-hal yang terkait dengan seks, mistis, dan penggambaran moral yang menyimpang. Tayangan televisi yang sangat liberal membuat tidak ada lagi jarak pemisah antara dunia orang dewasa dan anak-anak. Fenomena seperti ini tidak hanya terjadi di negara-negara liberal, namun juga di negara-negara berbudaya timur, karena besarnya infiltrasi media televisi di berbagai penjuru dunia. Dengan kata lain, anak-anak zaman sekarang memiliki kebebasan untuk melihat apa yang seharusnya hanya ditonton oleh orang dewasa.<br /><br />Di Amerika serikat, dampak media massa terutama televisi dan video game, semakin membuat para orangtua kuatir. Data yang ada menunjukkan bahwa para remaja Amerika Serikat dengan rata-rata usia 15 tahun, menyaksikan aksi pembunuhan brutal sebanyak 25 ribu kali dari televisi dan 200 ribu kali tindak kekerasan dari media massa lainnya. Antara tahun 1950 sampai 1979, terjadi peningkatan jumlah kejahatan berat yang dilakukan oleh anak-anak muda di bawah 15 tahun di AS, sebesar 110 kali lipat, yang berarti peningkatan sebesar 11 ribu persen ("Fenomena Kekerasan Masyarakat Modern", 2007).<br /><br />Interaksi Anak dengan Media<br /><br />Dari waktu ke waktu, banyak sekali kasus mengenai dampak media terutama siaran televisi di Indonesia. Misalnya, akibat meniru adegan di televisi, seorang anak kehilangan nyawanya. Maliki yang berusia tiga belas tahun, tewas setelah mempraktikkan adegan bunuh diri dalam film India di televisi. Rentetan kasus dampak negatif televisi seakan tidak ada habisnya. Masih segar dalam ingatan, kasus "Smack Down" yang juga menelan korban jiwa. Reza, seorang siswa Sekolah Dasar menjadi korban, setelah temannya mempraktikkan adegan smack down kepadanya. Ternyata kasus Reza bukan kasus yang terakhir, ada kasus lainnya di Bandung yang berkaitan dengan tayangan Smack Down. Angga Rakasiwi yang berusia 9 tahun, seorang murid Sekolah Dasar Babakan Surabaya 7 di Kiaracondong, memar-memar karena bermain ala Smack Down dengan teman sekelasnya. Raviansyah (5 tahun), murid sebuah Taman Kanak-kanak di Margahayu Kecamatan Margacinta, terluka setelah bermain Smack Down dengan temannya. Raviansyah bahkan kabarnya sempat muntah darah.<br /><br />Dampak negatif televisi tidak hanya pada perubahan perilaku, tetapi juga kepada karakter dan mental penontonnya, terutama anak-anak. Stasiun televisi cenderung menyajikan tayangan yang homogen pada pemirsanya. Meski judulnya beragam namun sebenarnya isinya hampir seragam. Beberapa jenis tayangan tersebut di antaranya adalah, sinetron yang kerap dibumbui dengan kekerasan, hedonisme, seks, mistik atau berbagai tayangan infotainment yang disuguhkan dari pagi hingga petang. Ketika diprotes, produser dan pengelola siaran televisi akan beralasan bahwa tayangan-tayangan tersebut dibuat sesuai selera pasar. Buktinya ratingnya tetap tinggi yang berarti diminati oleh masyarakat.<br /><br />Kasus lain adalah keluhan seorang ibu karena anaknya yang berusia 3,5 tahun bicaranya cadel dan tergagap-gagap. Ternyata anak tersebut meniru karakter utama dalam sinetron Si Yoyo. Sinetron tersebut menampilkan sosok pemuda lugu, yang memiliki perilaku dan pola pikir seperti anak kecil. Terbukti bahwa sinetron tersebut telah menjadi "sihir" bagi anak-anak, sehingga banyak yang meniru karakter si Yoyo.<br /><br />Setidaknya ada 3 hal penting yang perlu disimak dalam menelaah interaksi antara anak dengan media massa: Pertama, intervensi media terhadap kehidupan anak akan makin bertambah besar dengan intensitas yang semakin tinggi. Pada saat budaya baca belum terbentuk, budaya menonton televisi sudah sangat kuat. Kedua, kehadiran orangtua dalam mendampingi kehidupan anak sehari-hari akan semakin berkurang akibat pola hidup masyarakat modern yang menuntut aktivitas di luar rumah. Ketiga, persaingan bisnis yang makin ketat antar media dalam merebut perhatian khalayak termasuk anak-anak telah mengabaikan tanggungjawab sosial, moral, dan etika, serta pelanggaran hak-hak konsumen. Hal ini diperparah dengan sangat lemahnya regulasi di bidang penyiaran.<br /><br />Munculnya berbagai dampak tersebut, pada umumnya dapat dilihat sebagai akibat dari kurangnya pemahaman orangtua dalam mengatur dan menjembatani interaksi anak dengan televisi. Dalam berbagai kesempatan pertemuan dengan orangtua dan guru, mereka merasa tidak berdaya dalam menghadapi persoalan ini. Mereka lebih meletakkan harapan pada peran pemerintah dan industri penyiaran televisi agar mendisain ulang program siaran mereka yang sesuai dengan nilai-nilai dan budaya Indonesia sehingga tidak berpengaruh buruk pada anak-anak. Sikap ketidakberdayaan inilah yang harus dikikis dengan memberikan penyadaran bahwa kuncinya bukanlah pada orang lain atau pihak lain, tetapi ada pada si orangtua dan anak itu sendiri. Karena, baik pemerintah maupun industri penyiaran televisi adalah dua pihak yang pada saat ini tidak bisa diharapkan dan tidak akan mampu memenuhi harapan para orangtua.<br /><br />Untuk mengantisipasi dampak-dampak negatif buruk dari televisi tentunya tidak dapat didiamkan begitu saja. Dibutuhkan sebuah kemampuan untuk menyikapi media ini dengan bijaksana. Tapi bagaimana mungkin masyarakat dapat bersikap kritis terhadap media jika masyarakat tidak diajarkan bagaimana caranya. Hal ini juga menjadi salah satu kelemahan kurikulum pendidikan di Indonesia. Pendidikan mengenai media hampir terlupakan. Agenda pendidikan media sama sekali belum diperhitungkan oleh penyelenggara negara, khususnya pemegang otoritas pendidikan. Padahal media memiliki kekuatan untuk menjalankan hidden curriculum (kurikulum terselubung) baik yang konstruktif maupun destruktif.<br /><br /> <br /><br />Konsep Media Literacy dan Pengajarannya<br /><br />Media Literacy di Indonesia lebih dikenal dengan istilah Melek Media. James Potter dalam bukunya yang berjudul “Media Literacy” (Potter, 2001) mengatakan bahwa media Literacy adalah sebuah perspekif yang digunakan secara aktif ketika, individu mengakses media dengan tujuan untuk memaknai pesan yang disampaikan oleh media. Jane Tallim menyatakan bahwa media literacy adalah kemampuan untuk menganalisis pesan media yang menerpanya, baik yang bersifat informatif maupun yang menghibur. Allan Rubin menawarkan tiga definisi mengenai media literacy.<br /><br />Yang pertama dari National Leadership Conference on Media Literacy (Baran and Davis, 2003) yaitu kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan mengkomunikasikan pesan. Yang kedua dari ahli media, Paul Messaris, yaitu pengetahuan tentang bagaimana fungsi media dalam masyarakat. Yang ketiga dari peneliti komunikasi massa, Justin Lewis dan Shut Jally, yaitu pemahaman akan batasan-batasan budaya, ekonomi, politik dan teknologi terhadap kreasi, produksi dan transmisi pesan. Rubin juga menambahkan bahwa definisi-definisi tersebut menekankan pada pengetahuan spesifik, kesadaran dan rasionalitas, yaitu proses kognitif terhadap informasi. Fokus utamanya adalah evaluasi kritis terhadap pesan. Media literasi merupakan sebuah pemahaman akan sumber-sumber dan teknologi komunikasi, kode-kode yang digunakan, pesan-pesan yang dihasilkan serta seleksi, interpretasi dan dampak dari pesan-pesan tersebut.<br /><br />Terdapat dua pandangan mengenai media literacy yaitu dari Art Silverblatt dan James Potter (Potter, 2001). Silverblatt menyatakan bahwa media literacy memiliki lima elemen yaitu:<br />(1) Sebuah kesadaran akan dampak media terhadap individu dan masyarakat<br />(2) Sebuah pemahaman akan proses komunikasi massa<br />(3) Pengembangan strategi-strategi yang digunakan untuk menganalisis dan membahas pesan-pesan media<br />(4) Sebuah kesadaran akan isi media sebagai ‘teks’ yang memberikan wawasan dan pengetahuan ke dalam budaya kontemporer manusia dan diri manusia sendiri<br />(5) Peningkatan kesenangan, pemahaman dan apresiasi terhadap isi media.<br /><br />Di sisi lain, Potter (Baran and Davis, 2003) memberikan pendekatan yang agak berbeda dalam menjelaskan ide-ide mendasar dari media literacy, yaitu:<br />(1) Sebuah rangkaian kesatuan, yang bukan merupakan kondisi kategorikal<br />(2) Media literacy perlu dikembangkan dengan melihat tingkat kedewasaan seseorang<br />(3) Media literacy bersifat multidimensi, yaitu domain kognitif yang mengacu pada proses mental dan proses berpikir, domain emosi yaitu dimensi perasaan, domain estetis yang mengacu pada kemampuan untuk menikmati, memahami dan mengapresiasi isi media dari sudut pandang artistik, dan domain moral yang mengacu pada kemampuan untuk menangkap nilai-nilai yang mendasari sebuah pesan<br />(4) Tujuan dari media literacy adalah untuk memberi kita kontrol yang lebih untuk menginterpretasi pesan.<br /><br />Di banyak negara maju, pendidikan melek media sudah menjadi agenda yang penting dengan memasukkannya ke dalam satuan kurikulum pendidikan. Inggris, Jerman, Kanada, Perancis, dan Australia merupakan contoh negara yang telah melaksanakan pendidikan melek media di sekolah.<br /><br />Tabel di bawah menunjukkan perbandingan perkembangan melek media di berbagai negara (Media Literacy: Ability of Young People to Function in the Media Society, 2000)<br /><br /> <br />Negara<br /> <br /><br />Sistem dan aktivitas terkait dengan pendidikan melek media<br /><br />Inggris<br /> <br /><br />· Pengenalan pendidikan melek media dalam pendidikan dasar dan menengah ditujukan untuk memahami dan menganalisis isi media terutama sebagai bagian dari mata pelajaran bahasa.<br /><br />· Kerjasama antar kementerian melalui "Media Education Strategy Committee" telah dibentuk dan mengumumkan kebijakan pemerintah terkait dengan pendidikan melek media pada musim panas tahun 2000.<br /><br />Jerman<br /> <br /><br />· Setiap region telah mengadakan pelatihan melek media bagi guru.<br /><br />· Pihak penyiaran regional telah melaksanakan penelitian terkait dengan pendidikan melek media dan mendukung program produksi media yang dilakukan oleh masyarakat..<br /><br />Perancis<br /> <br /><br />· Diskusi mengenai keterkaitan antara media dan opini publik merupakan aktivitas wajib dalam kurikulum pendidikan dasar.<br /><br />· Lembaga penyiaran publik La Cinquieme bekerja sama dengan Le Centre National de Documentation Pedagogique (CNDP), secara periodik menyiarkan program-program melek media.<br /><br />Kanada<br /> <br /><br />· Sejak musim gugur tahun 1999, setiap provinsi diharuskan untuk melaksanakan program pendidikan melek media. (Terutama dalam mata pelajaran bahasa dan seni)<br /><br />· The Canadian Radio-television dan Telecommunications Commission (CRTC) mendukung produksi program-program yang dibuat oleh komunitas.<br /><br />Amerika Serikat<br /> <br /><br />· Sebagian besar negara bagian telah mengadopsi pendidikan melek media ke dalam pedoman pengajaran mereka. (Terutama di mata pelajaran bahasa)<br /><br />· The Public Broadcasting System (PBS) dan the National Cable Television Association (NCTA) memproduksi dan menyiarkan program-program mengenai melek media.<br /><br />Australia<br /> <br /><br />· Pendidikan melek media telah diperkenalkan sebagai bagian dari mata pelajaran bahasa, seni dan teknologi ke dalam kurikulum pendidikan nasional.<br /><br />· The Australian Broadcasting Authority (ABA) mempromosikan pendidikan melek media dengan cara mengadakan konferensi internasional dan mempublikasikan informasi terkait dengan melek`media secara periodik.<br /><br /> <br /><br />Permulaan abad 21 menandakan perkembangan minat terhadap pendidikan media di beberapa negara. Melek media ini dibangun sebagai alat pendidikan untuk melindungi orang-orang dari dampak negatif media. Di tahun 1930, Inggris merupakan negara pertama yang memunculkan isu mengenai melek media. Sedangkan pada tahun 1960, Kanada memulai pendidikan melek medianya.<br /><br />Kanada merupakan negara yang terutama mewajibkan melek media di kawasan Amerika Utara. Setiap provinsi di negara tersebut telah ditugaskan untuk melaksanakan pendidikan media dalam kurikulum. Peluncuran pendidikan melek dilakukan karena rentannya masyarakat Kanada terhadap budaya pop Amerika. Konsep melek media menjadi topik pendidikan yang pertama kali muncul di Kanada pada tahun 1978. Pada saat itu berdirilah Association for Media Literacy (AML), sebagai lembaga yang mengurusi segala hal yang berkaitan dengan pendidikan melek media di negara tersebut.<br /><br />Kemudian Amerika Serikat, yang merupakan negara tetangga Kanada, juga akhirnya menyadari pentingnya terdapat pendidikan melek media di negaranya. Apalagi dampak negatif yang timbul akibat media (terutama televisi) sudah sangat dirasakan oleh masyarakat Amerika sendiri. Frank Baker, salah satu konsultan pendidikan media di Amerika Serikat, melihat beberapa materi yang telah dikembangkan oleh Kanada, Inggris dan Australia sebagai poin awal yang sangat baik, terutama dalam hal dukungan serta kurikulumnya. Hal tersebut dapat dijadikan sebagai suatu pengalaman untuk mengembangkan pendidikan melek media di Amerika Serikat.<br /><br /> <br /><br />Pendidikan Melek Media di Indonesia<br /><br />Media massa, terutama televisi, merupakan sarana yang sangat efektif untuk mentransfer nilai dan pesan yang dapat memengaruhi khalayak secara luas. Bahkan, televisi dapat membuat orang kecanduan. Kini, media audio visual ini telah menjadi narkotika sosial yang paling efisien dan paling bisa diterima. Interaksi masyarakat, terutama anak-anak, terhadap televisi, sangat tinggi. Idealnya seorang anak hanya menonton tayangan televisi paling banyak dua jam sehari. Namun di Indonesia, setiap anak dapat menonton televisi selama 3,5 – 5 jam sehari. Anak-anak tidak hanya menonton tayangan yang memang ditujukan bagi mereka, tetapi juga tayangan yang belum pantas untuk mereka tonton. Kondisi ini terjadi tanpa pengawasan yang ketat dari orang tua.<br /><br />Data pola menonton televisi pada anak-anak menunjukkan bahwa jumlah jam menonton anak-anak melampaui batas jam menonton ideal. Angka 35 jam per minggu, berarti sama dengan 1820 jam per tahun, padahal jam belajar anak sekolah dasar menurut United Nations Education and Culture Organization (UNESCO) tidak melebihi 1000 jam per tahun. Jika melihat perbandingan jumlah jam menonton televisi dengan jumlah jam belajar di sekolah, maka dikuatirkan proses pembentukan pola pikir, karakter, dan perilaku anak justru terbentuk melalui tayangan televisi.<br /><br />Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kekuatan televisi dalam memengaruhi anak-anak sangat besar. Di samping jumlah jam belajar yang lebih sedikit ketimbang jam menonton, lemahnya pengawasan orang tua terhadap tontonan anak, membuat anak-anak mereka tidak mempunyai filter terhadap tayangan yang tidak mendidik. Dari 1000 jam belajar per tahun di sekolah dasar, pendidikan tentang media hanya dibahas sangat sedikit dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Hal ini sungguh memprihatinkan mengingat interaksi anak-anak dengan televisi jauh lebih tinggi dibanding interaksinya dengan buku-buku pelajaran. Kondisi seperti ini menuntut anak untuk memiliki self sensor awareness terhadap media televisi. Semakin cepat media ini berkembang, maka daya tanggap anak terhadap dampaknya juga harus dibangun.<br /><br />Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan, “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa, dan negara”. Dari rumusan tersebut, cukup jelas bahwa pendidikan melek media sangat sesuai dengan tujuan sistem pendidikan nasional di Indonesia.<br /><br />Saat ini pendidikan melek media yang ada di Indonesia, masih sebatas gerakan-gerakan yang belum terstruktur. Gerakan-gerakan tersebut dilakukan melalui seminar, road show, dan kampanye-kampanye mengenai melek media. Contohnya seperti yang dilakukan oleh Yayasan Jurnal Perempuan pada tahun 2005, Komunitas Mata Air tahun 2004, Komisi Penyiaran Indonesia tahun 2005, Perhimpunan Masyarakat Tolak Pornografi tahun 2006, dan beberapa organisasi pemerhati media lainnya. Namun, gerakan-gerakan ini baru bisa dilakukan dalam skala kecil. Pendidikan melek media tidak cukup bila disampaikan hanya dalam seminar berdurasi dua jam, atau dalam kampanye dan roadshow selama seminggu. Akibatnya, upaya-upaya memperjuangkan pendidikan melek media belum dapat dirasakan oleh semua pihak secara luas.<br /><br /> <br /><br />Pendidikan Melek Media dan Kurikulum Sekolah Dasar<br /><br />Adalah Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) yang pada tahun 2002 memulai sebuah proyek percontohan ‘Pembelajaran Melek Media’. Model ini diujicobakan pada Sekolah Dasar Negeri Johar Baru 01 Pagi, Jakarta Pusat. Sebelum melaksanakan model pertama ini, YKAI melakukan pelatihan terhadap para guru yang nantinya akan mengajarkan materi ini. Pelatihan tersebut bertujuan untuk mempersiapkan guru, agar dapat maksimal dalam mengajarkan pendidikan melek media terhadap anak didik. Selain itu, agar proses pendidikan melek media di sekolah dapat berjalan seiring dengan pendidikan di rumah, diadakan seminar bagi orangtua murid tentang pendidikan melek media. Seminar tersebut bermaksud untuk menyampaikan pentingnya pendidikan melek media diajarkan di sekolah dan di rumah. Melalui hal tersebut diharapkan kerjasama dan dukungan orangtua.<br /><br />Titik berat materi Pembelajaran Melek Media ditekankan pada media televisi mengingat media ini paling banyak diakses oleh anak-anak. Pokok bahasan yang diajarkan adalah:<br /><br />1. Mengapa melek media penting?<br />2. Jenis-jenis acara televisi <br />3. Fungsi dan pengaruh iklan<br />4. Karakteristik televisi <br />5. Dampak menonton televisi<br />6. Menonton TV dan kegiatan lain<br />7. Memilih acara televisi yang baik<br />8. Televisi sebagai sumber belajar<br /><br />Setelah siswa mendapatkan pembelajaran mengenai melek media dengan fokus pada televisi (bagaimana berinteraksi dengan televisi secara kritis), maka diharapkan para siswa:<br />a. dapat memahami dan mengapresiasi program yang ditonton<br />b. menyeleksi jenis acara yang ditonton<br />c. tidak mudah terkena dampak negatif acara televisi<br />d. dapat mengambil manfaat dari acara yang ditonton.<br />e. pembatasan jumlah jam menonton<br /><br />Sesudah proyek percontohan, tahun 2004 dan 2005 YKAI menyelenggarakan beberapa pelatihan guru tentang Pembelajaran Melek Media dengan dukungan dari UNESCO untuk tingkat SD dan SMP, dengan peserta dari Jabodetabek. Tahap berikutnya dilanjutkan oleh Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) yang pada tahun 2006 menyempurnakan modul pelatihan guru tentang Pembelajaran Melek Media dan mengujicobakannya dalam pelatihan guru pada bulan November 2006 dengan dukungan dari UNICEF.<br /><br />Masih dengan dukungan dari UNICEF, selanjutnya YPMA pada tahun 2007 mengembangkan stimulan atau alat bantu pengajaran untuk memudahkan para guru dalam memberikan materi Pembelajaran Melek Media kepada siswa dengan cara yang menyenangkan dan tidak membosankan. Pengembangan itu juga mencakup pembuatan buku pegangan untuk guru dan siswa, serta pengembangan lembar kerja siswa.<br /><br />Dengan supervisi selama pelatihan guru, kerangka berpikir ini dapat dijadikan pedoman oleh guru dalam menyusun materi pelajaran agar dapat diterapkan dalam setiap kelas di sekolah dasar dengan kedalaman materi dan cara yang berbeda-beda, disesuaikan dengan kondisi dan situasi sekolah masing-masing.<br /><br />Selain SDN Johar Baru 01 Pagi, ada satu sekolah lain yang telah menerapkan pendidikan melek media menjadi satu mata pelajaran tersendiri, yaitu Sekolah Dasar Lentera Insan, Cimanggis, Depok. Sekolah ini. Pelajaran melek media di sekolah ini dilaksanakan dua minggu sekali, dalam satu jam pelajaran dengan durasi waktu 30 menit. Materi-materi yang disampaikan meliputi pengenalan akan berbagai media hingga bagaimana membangun daya kritis siswa dalam menggunakan media.<br /><br />Model yang kedua dalam mengajarkan Pembelajaran Melek Media adalah dengan mengintegrasikan pendidikan melek media ke beberapa mata pelajaran. Untuk mewujudkan model ini, Len Masterman dalam tulisannya yang berjudul A Rationale for Media Education, (dealam Silalahi, 2007) menawarkan beberapa cara sederhana, yaitu:<br /><br />· Sejarah<br /><br />Guru dapat mengajarkan melek media dengan cara mengajak siswa untuk menilai secara kritis bukti-bukti sejarah yang ditampilkan melalui media. Bila berbicara dalam konteks televisi, maka sarana yang dapat dipakai adalah film-film bertemakan sejarah. Contoh yang paling sederhana adalah membahas film G 30 S/PKI yang ditayangkan di televisi setiap peringatan Hari Kesaktian Pancasila. Siswa diajak untuk melihat atau menbandingkan bukti-bukti sejarah, kronologi peristiwa, dan hal-hal lain yang mereka pelajari di kelas dengan apa yang ditampilkan oleh film tersebut.<br /><br />· Ilmu Pengetahuan Alam<br /><br />Guru dapat mengajak siswa untuk menilai gambaran, citra, fungsi dan status dari ilmu pengetahuan alam dan ilmuwan yang ditampilkan di media. Contohnya, ilmuwan sering digambarkan sebagai orang yang aneh karena terlalu pintar, kurang bersosialisasi karena terus-menerus berada di laboratorium, berkepala botak, dan berkacamata tebal. Guru dapat meminta penilaian siswa apakah siswa setuju dengan penggambaran tersebut atau tidak. Apakah menurut siswa penggambaran tersebut sesuai dengan kenyataan atau tidak. Selain itu, guru juga dapat menggunakan pesan-pesan iklan untuk dianalisis.<br /><br />Guru dapat mengintegrasikan program-program populer tentang ilmu pengetahuan alam ke dalam kurikulum formal sekolah. Misalnya program televisi Galileo, untuk membahas mata pelajaran fisika, matematika dan biologi. Siswa bisa juga dimotivasi untuk memperhatikan isu-isu terkait dengan mata pelajaran yang ditayangakan melalui berita televisi seperti isu wabah Flu Burung. Dalam pelajaran Biologi, guru dan siswa dapat berdiskusi mengenai apa itu flu burung, apa bahayanya bagi unggas-unggas dan apakah bisa menular ke manusia, apakah penanggulangan flu burung dengan membunuh unggas-unggas ada dianggap sudah tepat? Guru dapat menanyakan pendapat siswa mengenai hal-hal tersebut. Aktivis ini diharapkan dapat membangun daya kritis siswa terhadap informasi yang diperoleh dari media, terutama televisi.<br /><br />· Ilmu-ilmu sosial dan pendidikan politik<br /><br />Guru dapat mengajak siswa untuk membandingkan representasi media dengan infromasi-informasi yang didapat dari buku-buku pelajaran dan yang dipelajari di kelas. Misalnya, siswa diminta menjelaskan bagaimana televisi menggambarkan orang kulit hitam, orang Tionghoa dan kelompok-kelompok minoritas lainnya dalam masyarakat. Siswa dimintai pendapatnya mengenai norma-norma dan budaya masyarakat yang ditampilkan dalan sinetron-sinetron. Untuk topik yang lebih serius, misalnya, guru menanyakan pandangan siswa mengenai teroris yang dikaitkan dengan islam, peran media dalam pemilihan umum, kampanye-kampanye politik di televisi dan masih banyak lagi.<br /><br />· Bahasa dan sastra<br /><br />Guru dapat mengajak siswa untuk menganalisis penggunaan bahasa dalam media. Siswa diminta untuk berpendapat tentang penggunaan bahasa gaul dalam sinetron-sinetron dan contoh penggunaan bahasa tidak baku lainnya. Beberapa selebritis terkadang berbicara dalam Bahasa Indonesia yang diselingi Bahasa Inggris. Tanyakan kepada siswa, menurut mereka mengapa selebritis-selebritis tersebut berbicara seperti itu. Selain itu, siswa juga bisa didorong untuk menganalisis tag-line dari iklan. Guru menanyakan apa tag-line favorit siswa dan mengapa siswa memilih itu. Film-film atau sinteron yang diangkat dari cerita-cerita rakyat juga dapat dijadikan bahan analisis.<br /><br />Dari uraian di atas, Len Masterman (Masterman dalam Kubey, 2001) mengidentifikasi tiga cara nyata untuk memasukkan muatan melek media antar kurikulum:<br /><br />a. Guru-guru diharapkan dapat menggunakan materi-materi yang terkait dengan mata pelajaran yang ditampilkan di media untuk menjadikan kegiatan belajar-mengajar lebih menarik, relevan dan up-to-date. Misalnya, dalam pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan tentang demokrasi. Demokrasi terkait dengan proses pemilihan umum. Guru dapat mengambil contoh kampanye yang ditampilkan di televisi melalui iklan-iklan poitik. Siswa diajak untuk secara aktif menyadari bahwa apa yang mereka pelajari di kelas, juga ditampilkan di media. Tapi tidak hanya sebatas itu. Guru juga harus memberikan pemahaman kepada siswa bahwa apa pun yang ditampilkan di media terutama televisi, telah melewati sebuah proses produksi yang di dalamnya ada aktivitas seleksi dan konstruksi realita. Ada kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai kelompok tertentu yang termuat di dalamnya. Jika siswa telah memahami hal-hal tersebut, maka diharapkan mereka bisa menggunakan informasi-informasi yang tersebar di media secara lebih bijaksana dan kritis.<br /><br />b. Ketergantungan guru dan siswa dalam kegiatan belajar-mengajar terhadap buku pegangan sangatlah besar. Padahal siswa akan lebih tertarik pada penjelasan materi pelajaran menggunakan media lain selain buku pegangan. Penggunaan contoh-contoh mengenai suatu topik hendaknya tidak terpaku pada contoh-contoh yang ada di buku pegangan. Tapi dapat diambil dari informasi media yang sering di akses oleh siswa, dalam hal ini televisi. Bila guru mau sedikit saja lebih aktif untuk menggunakan media-media lain selain buku pegangan, siswa akan semakin terdorong untuk mengeluarkan kemampuan mereka dalam menggunakan media. Dari situ dapat terlihat kemampuan mereka mengambil, memilah dan memaknai informasi yag mereka dapatkan dari media. Guru diharapkan cepat tanggap terhadap hal ini, supaya bila ada murid yang kurang kritis menggunakan media, dapat memperoleh pengarahan, agar di lain waktu siswa tersebut dapat menggunakan informasi dari media dengan lebih baik.<br /><br />c. Guru dari setiap mata pelajaran harus memiliki kerangka berpikir kritis terhadap isi media yang akan digunakan di dalam kelas. Guru harus memberikan perhatian serius akan dampak dari representasi media populer terhadap mata pelajaran yang mereka ajarkan. Guru juga harus sadar betul bahwa siswa biasanya tidak menggunakan media (televisi) seperti menggunakan buku pegangan. Siswa menonton televisi lebih sebagai sarana melepaskan ketegangan dan mendapatkan kesenangan. Risikonya adalah siswa tidak menyadari bahwa di balik tayangan-tayangan yang menarik dan menyenangkan itu ada begitu banyak miskonsepsi, prasangka, stereotip dan asumsi-asumsi mengenai hal-hal lain yang belum tentu benar. Dampak inilah yang harus diperhitungkan oleh guru. Ketika guru masuk kelas untuk mengajar, perlu disadari bahwa pikiran siswa bukanlah pikiran kosong yang tidak mengerti apa-apa. Di dalam pikiran siswa telah tertanam pengetahuan mengenai banyak hal yang tentunya siswa dapatkan dari televisi. Tugas gurulah untuk meluruskan hal-hal yang salah atau melenceng dari seharusnya.<br /><br />Di Indonesia, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang berlaku saat ini memberikan peluang untuk pendidikan melek media masuk ke dalam kurikulum, karena KTSP memiliki sub-komponen yang mendukung, yaitu mata pelajaran dan pendidikan kecakapan hidup. Pendidikan melek media dapat dijadikan satu mata pelajaran sendiri, karena struktur kurikulum tingkat sekolah dapat dikembangkan dengan cara memanfaatkan jam tambahan untuk menambah jam pembelajaran pada mata pelajaran tertentu atau menambah mata pelajaran baru. Pada komponen pendidikan kecakapan diri, pendidikan melek media tidak menjadi satu mata pelajaran tersendiri, tetapi substansinya menjadi bagian integral dalam beberapa mata pelajaran yang memungkinkan.<br /><br />Selain itu, pelaksanaan pendidikan melek media dapat disesuaikan dengan kondisi sekolah masing-masing. Hal ini sejalan dengan karakteristik KTSP yang memberikan keleluasaan bagi guru dan sekolah untuk mengembangkan satuan sendiri yang disesuaikan dengan keadaan siswa, keadaan sekolah, dan keadaan lingkungan. Sekolah bersama dengan komite sekolah dapat bersama-sama merumuskan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan, situasi, dan kondisi lingkungan sekolah.<br /><br />Idealnya pendidikan melek media menjadi satu subjek pelajaran tersendiri. Hal tersebut dilakukan agar transfer pendidikan melek media dapat lebih optimal dan guru dapat lebih mudah memantau perkembangan siswa tentang pemahaman melek media. Untuk jangka pendek pendidikan melek media dapat diintegrasikan ke dalam beberapa mata pelajaran. Pendidikan melek media dapat diajarkan secara bertahap, sehingga dalam jangka panjang masyarakat semakin mengerti konsep melek media dan urgensinya.<br /><br />Pendidikan melek media merupakan pendidikan kecakapan hidup, sehingga penerapannya sangat praktis untuk dilakukan. Pendidikan melek media memiliki nilai lebih, karena pendidikan ini menempatkan anak didik sebagai subjek. Hal tersebut membuat perkembangan emosi, pola pikir, karakter, serta perilaku anak didik lebih terkontrol, karena anak didik dibekali dengan kemampuan untuk memilih dan memaknai pesan media, sehingga anak didik bukan lagi sebagai imitator media. Hal tersebut menunjukan bahwa pendidikan melek media tidak hanya mencakup kemampuan kognitif, tetapi juga membangun daya analisis, membuat anak didik dapat menyikapi apa yang terjadi di luar dirinya.<br /><br />Dari sisi urgensinya, Pembelajaran Melek Media memiliki peluang yang besar untuk dikembangkan, mengingat perkembangan media yang begitu pesat tidak diikuti dengan kecakapan dalam mengkonsumsinya. Selain itu juga karena telah tersedianya sumber informasi mengenai melek media. Sumber informasi tersebut dapat digunakan sebagai referensi untuk mengaplikasikan pendidikan melek media. Selain itu banyaknya LSM yang peduli terhadap melek media dapat menunjang sosialisasi mengenai melek media, sehingga semakin banyak pihak yang tahu mengenai melek media dan urgensinya.<br /><br />Harus diakui tidak semua sekolah siap untuk melaksanakan pendidikan melek media, di antaranya disebabkan oleh kurang tersedianya sarana untuk melakukan pendidikan melek media (televisi, internet, dvd/vcd player). Memang pendidikan melek media membutuhkan alat bantu, tetapi tidak harus menggunakan alat bantu yang mahal, sekolah dapat menggunakan alat bantu yang murah, seperti gambar, poster, majalah, koran, dan alat bantu lainnya. Pembelajaran Melek Media dapat terhambat apabila tidak ada sinergi antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Oleh karena itu komitmen orangtua dalam memberikan pengawasan terhadap anak didik ketika mengakses media sangat dibutuhkan.<br /><br /> <br /><br />Penutup<br /><br />Sudah saatnya Departemen Pendidikan Nasional memikirkan tentang pendidikan mengenai media kepada siswa sekolah dasar hingga SMU. Dengan dimilikinya kemampuan melek media pada siswa, maka proses pembelajaran sepanjang hidup dari media akan dapat dijalaninya dengan baik. Siswa yang media literate juga akan mampu menyusun isi pesan media dengan dasar pemahaman terhadap karakteristik masing-masing media yang cukup kuat.<br /><br />Sekolah-sekolah swasta yang lebih memiliki keleluasaan dalam memodifikasi proses pembelajaran, diharapkan segera berinisiatif dalam merespon perkembangan media yang sangat pesat dalam kaitan dengan akses anak-anak terhadap media tersebut, setidaknya untuk mencegah dampak-dampak negatif yang tidak diinginkan.<br /><br />Untuk kondisi di Indonesia, pengintegrasian Pembelajaran Melek Media lebih tepat diterapkan pada siswa sekolah dasar (SD). Anak-anak SD berada pada kisaran usia yang sangat rawan terkena dampak negatif media, khususnya televisi. Jumlah jam menonton televisi dan penggunaan media lain pada anak-anak SD di Indonesia sudah jauh melampaui batas yang aman dan wajar. Selain itu, di usia jenjang sekolah dasar, anak-anak memiliki kecenderungan sebagai imitator tayangan televisi, padahal banyak tayangan televisi yang tidak aman untuk ditonton anak-anak. Oleh karena itu pendidikan melek media perlu diterapkan pada jenjang sekolah dasar selagi pola pikir dan perilaku anak didik masih mudah dibentuk.<br /><br />Selain itu, masyarakat pun hendaknya mulai membangun self sensor awareness, terhadap tayangan televisi dan media lainnya. Orangtua harus mulai membuat peraturan mengenai kapan dan berapa lama anak-anak boleh mengakses media dan materi apa yang boleh diakses. Sebisa mungkin, orangtua juga diharapkan untuk mendampingi anak-anaknya ketika menonton televisi dan memberikan penjelasan mengenai isi acara yang ditonton. <br /><br />sumber : http://www.kidia.orgAKU TUhttp://www.blogger.com/profile/00759864107426711727noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6154702354553023926.post-62587283602798394112008-05-30T16:45:00.003+07:002009-01-07T21:57:38.358+07:00"Mengoptimalkan Penyelenggaraan Program Televisi Pendidikan"Sejak diluncurkan pertama kali pada 17 Juni 2006 oleh Menteri Pendidikan Indonesia, program Televisi Pendidikan yang dalam penyiarannya bekerjasama dengan TVRI (Televisi Republik Indonesia) menuai banyak kritikan dari berbagai kalangan. Bukan hanya besaran dana saja yang dipermasalahkan, yang konon besarnya mencapai 213,69 milyar rupiah, namun kritikan tersebut juga mengarah kepada efektivitas penyampaian materi ajar kepada siswa yang diragukan keberhasilannya.<br /><br />Pos pengeluaran terbesar untuk pengadaan pesawat televisi sejumlah 75.000 unit yang nantinya dibagikan pada sekolah-sekolah di seluruh Indonesia juga tak kalah mengundang pro dan kontra. Belum lagi masalah jam tayang siaran pendidikan yang berada pada pukul 07.00-09.30 jelas-jelas akan merebut waktu belajar di kelas, padahal pemerintah sebagai penyelenggara program ini tidak mungkin memaksa sekolah untuk mengalokasikan waktu maupun melakukan penyesuaian jadwal belajar siswa agar dapat melihat tayangan sesuai dengan jadwal tayang yang telah ditetapkan mereka, mengingat adanya kebebasan pengaturan jadwal pelajaran di masing-masing sekolah.<br /><br />Di sisi lain, model pendidikan berbasis video seperti yang pemerintah dan TVRI lakukan tidak akan menghadirkan interaktifitas antara guru dan siswa, mengingat metode pembelajaran ini hanya menghasilkan komunikasi satu arah, yakni siswa hanya dapat melihat dan mendengarkan tayangan televisi saja, tetapi tidak dapat berkomunikasi layaknya diskusi antara guru dan siswa di dalam kelas. Proses belajar yang tidak dialogis seperti ini harusnya dapat dijembatani dengan memodifikasi atau menambah metode distribusi penyiaran konten pendidikan tanpa menghentikan proses yang telah dilakukan.<br /><br />Kontroversi seputar penyelenggaraan program tersebut sebenarnya dapat diminimalisir apabila pemerintah selain melakukan penayangan di TVRI juga menyelenggarakan pendistribusian bahan ajar video yang ditampilkan di televisi kedalam format penyimpanan VCD maupun DVD ke sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Hal tersebut akan menjadi efektif, mengingat bahan ajar tersebut dapat digunakan guru sebagai bahan ajar tambahan dalam kelas selain buku ajar. Dampak lainnya, siswa akan dengan mudah memutar kembali tayangan yang diinginkan kapan saja dan dimana saja.<br /><br />Satu set VCD/DVD yang dibagikan ke sekolah-sekolah selanjutnya bebas untuk digandakan kembali oleh pihak sekolah. Siswa yang membutuhkan nantinya dapat meminta atau membeli VCD/DVD kopian ke pihak sekolah. Berbekal VCD/DVD tersebut siswa dapat belajar mandiri di rumah atau dimana saja sesuai keinginan mereka. Sedangkan guru nantinya bertindak sebagai pendamping yang akan menjawab pertanyaan-pertanyaan dari siswa ketika mereka menemui kesulitan atau mendapati sesuatu yang kurang jelas. Lewat model pembelajaran yang variatif seperti ini siswa akan mendapatkan pengalaman belajar yang lebih menyenangkan dibandingkan cara belajar konvensional.<br /><br />Dua program sebelum ini, baik pada saat pemerintah bekerjasama dengan TPI (Televisi Pendidikan Indonesia), ataupun saat bekerjasama dengan televisi-televisi lokal untuk menayangkan konten TV-Edukasi mulai tahun 2004, jelas-jelas belum terlihat keseriusan pemerintah untuk menyebarluaskan secara gratis konten-konten yang telah dibuatnya selama ini ke sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Padahal dengan pustaka video sebanyak itu akan banyak memberi manfaat dan kesempatan bagi setiap pihak untuk belajar mandiri apabila disebarluaskan secara bebas daripada disimpan atau didiamkan saja dalam lemari arsip.<br /><br />Solusi menyebarluaskan konten video yang telah dibuat adalah salah satu jalan tengah di tengah maraknya kritikan pada penyelenggaraan program ini. Program yang telah berjalan dan telah menghabiskan dana besar tersebut seharusnya dapat memberi manfaat sesuai dengan harapan banyak pihak untuk menepis anggapan bahwa program tayangan pendidikan ini hanyalah upaya pemerintah untuk mengalihkan sorotan masyarakat atas kegagalan dalam pelaksanaan Ujian Negara (UN).<br /><br /><br />sumber :http://gora.edublogs.orgAKU TUhttp://www.blogger.com/profile/00759864107426711727noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6154702354553023926.post-80264749319908652422008-05-29T18:58:00.003+07:002009-01-07T21:57:00.442+07:00"TELEVISI PENDIDIKAN...,EFEKTIFKAH..???"Mengkaji permasalahan pendidikan hampir menjadi kebutuhan kita yang secara nyata berdampak pada keinginan masyarakat memunculkan kerinduan akan lahirnya genarasi-genarasi penerus bangsa yang cerdas dan berakhlak mulia. Mereka tidak hanya cerdas secara intelektual, namun juga cerdas secara psikomotorik, sosial, emosional, dan spiritual. Sedangkan upaya yang dilakukan pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan melalui pengembangan sumberdaya menuju manusia Indonesia seutuhnya terkesan lambat dan bahkan stagna. Upaya pengembangan itu dilakukan dengan mengadakan berbagai macam metode maupun media pembelajaran. Dan media pembelajaran yang lagi menjadi “kambing hitam” di tingkat elit pendidikan adalah penggunaan media televisi pendidikan untuk menjangkau masyarakat yang berdomisili di daerah pedalaman.<br /><br />Semenjak abad XIX merupakan awal mula ditemukannya Electrisce Telescope oleh seorang mahasiswa dari Berlin bernama Paul Nipkow, alat ini berfungsi sebagai pengirim gambar dari satu tempat ke tempat lain (Morissan, 2004). Temuan inilah yang kemudian menjadi titik awal berkembangnya televisi, dan sejak saat itu perkembangannya dari tahun ke tahun menjadi sangat pesat hingga detik ini dan bahkan televisi mampu menunjukkan eksistensi maupun dominasinya dibanding dengan media-media yang lainnya..<br /><br />Eksistensi televisi sebagai media komunikasi pada prinsipnya, bertujuan untuk dapat menginformasikan segala bentuk acaranya kepada masyarakat luas. Hendaknya, televisi mempunyai kewajiban moral untuk ikut serta berpartisipasi dalam menginformasikan, mendidik, dan menghibur masyarakat yang pada gilirannya berdampak pada perkembangan pendidikan masyarakat melalui tanyangan-tayangan yang disiarkannya.<br /><br />Secara normatif, siaran televisi mampu menyajikan menu kepada masyarakat tanpa harus mendatangi, tidak membedakan status, kasta, golongan, dan usia selama 24 jam nonstop. Ini berarti televisi tidak dibatasi waktu hari, minggu, dan bulan. Melainkan hanya dibatasi waktu detik, menit, dan jam. Begitu juga, televisi pendidikan yang sementara ini digagas oleh pembuat kebijakan pendidikan oleh elit pusat dimaksudkan sebagai upaya pengkomunikasian informasi, mendidik, dan juga transfer of knowledge, khususnya di wilayah-wilayah pedalaman. Namun demikian, yang menjadi prmasalahan di kmudian hari adalah tv bukan lagi hanya wilayah-wilayah marginal.saja yang perlu untuk mndapatkan acara televisi pendidikan, melankan daerah-daerah yang dianggap lebih berkembangpun layak menikmati menu tv pendidikan.<br /><br />Dalam kompleksitas dan mata rantai yang panjang tentang televisi pendidikan serta dinamikanya, maka pertanyaan yang paling dominan muncul adalah bagaimanakah konsep dan strategi penyiaran televisi pendidikan yang tepat?, dan “Apakah tv pendidikan mampu mengimbangi siaran stasiun tv lain, mialnya; infotainment yang lagi booming, film-film karton yang dapat mensugesti anak sehingga anak lupa tuganya, maupun acara-acara menaik lainnya. Jika tidak dapat mengemas menjadi komoditi yang menarik lebih baik gunakan media-media yang lain yang lebih disukai anak, menjadi teman bermain sekaligus belajar sehingga anak merasa enjoy. Hal ini perlu dipahami bersama, bahwa televisi pendidikan memiliki fungsi yang sama dengan media massa lain, yaitu fungsi mendidik, menginformasikan, meneruskan nilai-nilai budaya bangsa, menjadi agen pembaruan (di negara berkembang). Sehingga, tanpa disadari dengan melihat acara/tayangan televisi seseorang telah mengikuti pendidikan.<br /><br />* * * * *<br /><br />Hemat penulis, untuk mmpertegas program pemerataan kualitas pendidikan dengan mengaplikasikan konsep televisi pendidikan, maka perlu dilakukan serangkaian kegiatan sebagai berikut. Pertama, membentuk tim yang bertugas menyiapkan program ini dengan sistem dan manajerial yang baik. Tim ini melibatkan wakil-wakil dari departemen pendidikan nasional yang mempunyai tugas dan fungsi secara teknis terhadap sekolah dan tenaga kependidikan. Kedua, perlu disusun dan dikembangkan considerance sebagai bahan untuk didiskusikan dan disempurnakan. Ketiga, Perlu diprogramkan suatu kegiatan diskusi yang intensif untuk mematangkan konsep dan program. Unsur-unsur yang perlu diundang dalam kegiatan diskusi tersebut mencakup unsur akademisi, praktisi, pemerhati, dan birokrat yang secara langsung maupun tidak langsung bertanggungjawab pada upaya peningkatan mutu pendidikan. <br /><br /><br />sumber :http://mkpd.wordpress.comAKU TUhttp://www.blogger.com/profile/00759864107426711727noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6154702354553023926.post-69841254628060885412008-05-28T21:03:00.002+07:002009-01-07T22:22:37.186+07:00Peluncuran Televisi Pendidikan di IndonesiaPT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (CTPI) didirikan pada bulan Januari 1991 oleh Siti Hardiyanti Rukmana, Abdullah Alatas Fahmi dan Mohamad Jarman, dengan capital yang disetujui Rp. 76.7 milyar. Berdasar surat ijin (permit) dari Investment Coordinating Board (BKPM), dengan rencana perusahaan itu akan invest kira-kira Rp. 225 milyar, termasuk working capital Rp. 47.7 milyar. Berjalan di bawah Domestic Investment (PMDN) Scheme, CTPI atau lebih kenal sebagai TPI sudah punya tenaga kerja 1,866 orang, termasuk 10 tenaga asing.<br /><br />Hari ini (Juni 27, 1994), jam siaran TPI sudah ditingkatkan lagi ke 19 jam dan 15 minit dari pukul 5.30 pagi sampai pukul 00.45 pagi.<br />Ref. Highbeam.Com<br /><br />Televisi Paling Indonesia<br /><br />Pada hari ini (7 April, 2007) website TPI baru sedang dibuat. Tetapi jelas dari "Visi & Misi" namanya bukan Televisi Pendidikan Indonesia lagi. Kebetulan kami paling senang Dangdut, tetapi mohon ingat artinya "bermutu" dan pengaruh kekerasan di TV. Semoga Sukses TPI, dari Pendidikan Network.<br /> <br /><br />Pada Tahun 2007 Bagaimana? (Pendidikan menjadi Paling)<br /><br />Latar Belakang<br />Sebagai stasiun televisi swasta pertama yang mengudara secara nasional sejak 23 januari 1991, TPI juga merupakan televisi pelopor tayangan musik-musik dangdut. TPI yang mengedepankan tayangan-tayangan sopan dan bisa dinikmati seluruh keluarga.<br /><br />Visi & Misi<br />Visi : Televisi Paling Indonesia<br />Misi : Menyajikan program bermutu untuk pemirsa<br />Slogan : Makin Indonesia Makin Asyik Aja<br />Ref. http://www.tpi.tv/profile.html<br />Jadi Kapan Kita Akan Meluncuran Televisi Pendidikan Indonesia?<br /><br />Peluncuran Televisi Edukasi<br />Departemen Pendidikan Nasional meluncurkan Televisi Edukasi (TV-E), Selasa 12 Oktober 2004. Program dalam televisi tersebut diharapkan akan menjadi media spesifik dalam penyebaran informasi di bidang pendidikan dan berfungsi sebagai media pembelajaran masyarakat.<br /><br />Menteri Pendidikan Nasional Abdul Malik Fadjar dalam sambutan saat peluncuran resmi program tersebu mengatakan, sebagai bangsa yang ingin maju, maka kemajuan teknologi perlu dimanfaatkan. Hanya saja itu dilakukan dengan kadar kearifan dan etika yang tinggi, khususnya dilihat dari segi pendidikan.<br /><br />Saat ini sudah 50 stasiun televisi lebih yang beroperasi di Indonesia, termasuk di dalamnya televisi lokal, televisi kabel, dan televisi satelit. Namun dari jumlah itu, sedikit sekali program yang mengandung pesan pendidikan. Banyak keluhan yang dilontarkan masyarakat tentang dampak negatif siaran televisi. Sebutlah seperti cara hidup konsumtif melalui gempuran paket sinetron dan berbagai tayangan penuh gagasan mistis. Oleh karena itu, Televisi Edukasi harus dirancang untuk mendidik dan mencerdaskan masyarakat. Karena daya jangkau televisi bisa sangat luas, keberhasilan memanfaatkan media itu untuk tujuan pembelajaran akan mempercepat pembangunan masyarakat belajar yang cerdas. Mendiknas juga mengingatkan agar program dibuat mengasyikkan dan menyenangkan.<br /><br />Kepala Pusat Teknologi Komunikasi Departemen Pendidikan Nasional Harina Yuhetty-yang menjadi penanggung jawab televisi tersebut- mengatakan, program TV-E disiarkan melalui satelit dan dapat diakses dengan menggunakan parabola. Depdiknas memanfaatkan jasa jaringan satelit Telkom.<br /><br />Pada tahap rintisan, siaran dilaksanakan selama empat jam dari pukul 07.00 hingga 11.00 di frekuensi 3782-3790 MHz. Komposisi program meliputi materi pelajaran pendidikan formal 30 persen, pendidikan nonformal 30 persen, pendidikan informal 20 persen, serta informasi kebijakan dan program berupa berita atau feature 20 persen.<br /><br />Sasaran TV-E terutama adalah sekolah. Pada September ini telah dilakukan uji coba program siaran yang materi sasarannya diprioritaskan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, dengan penerima siaran di 100 sekolah di seluruh Tanah Air. Sekolah-sekolah lain yang berkeinginan menangkap siaran tersebut dapat melengkapi perangkat parabola dengan dukungan dan bantuan pemerintah atau masyarakat.<br /><br />Paket-paket program TV-E sementara ini dikerjakan dengan bantuan Universitas Terbuka, internal Departemen Pendidikan Nasional, Japan Foundation, dan berbagai program studi jarak jauh.<br /><br />Sumber : pendidikan.tv/issues.htmlAKU TUhttp://www.blogger.com/profile/00759864107426711727noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6154702354553023926.post-61375169019230163342008-05-28T10:37:00.003+07:002009-01-11T21:31:48.664+07:00Televisi Dalam Kehidupan AnakBerapa lama idealnya seorang anak dapat berada di depan televisi? Benarkah televisi membuat anak kita bodoh dan cenderung bertindak kekerasan? Program televisi yang manakah sesuai dengan usia anak anda dan memiliki nilai pendidikan?<br /><br />Hidup tanpa televisi mungkin sudah tidak bisa dibayangkan oleh generasi anak kita yang mau tidak mau telah besar bersamaan dengan semakin maraknya dunia media elektronik. Dengan makin menjamur berdirinya stasiun-stasiun televisi swasta dengan penawaran aneka ragam program acaranya di indonesia, maka semakin dituntut pula orang tua menyikapi secara bijaksana interaksi anak kita dengan media televisi yang ada.<span class="fullpost"><br /><br /><br />Penelitian khusus berkaitan dengan pengaruh televisi ataupun seberapa besar proporsi waktu yang dipergunakan oleh anak indonesia di depan tabung kaca ini memang belum banyak dilakukan. Namun trend yang terjadi sedikit banyak akan tidak jauh berbeda dengan apa yang ditemui di negara negara maju: semakin banyak waktu yang konsumsi oleh anak untuk berada di depan televisi. Penelitian tentang pengkonsumsian media televisi di jerman mungkin dapat dijadikan perbandingan dan masukan bagi orang tua di indonesia untuk makin bijaksana menyikapi kehadiran media ini di ruang keluarga kita. Dari hasil penelitian tersebut di ketahui bahwa seorang anak jerman menghabiskan rata rata waktu sebanyak 108 menit berada di depan televisi, bahkan angka tersebut mendekati 1 jam pada anak usia di bawah dua tahun. 50% anak bahkan telah memiliki tv di ruang kamarnya sendiri. Hasil yang paling mengkhawatirkan para ahli pendidikan di negara tersebut adalah terdapatnya satu hubungan berarti antara waktu yang dihabiskan anak di depan media elektronik tersebut dengan prestasi belajar yang di capai anak di sekolah; Anak yang banyak menghabiskan waktu di depan televisi biasanya memiliki prestasi akademik yang tidak begitu memuaskan.<br /><br />Risiko Pengkonsumsian Televisi Yang Berlebihan<br /><br />Timbulnya efek negatif dari pengkonsumsian televisi yang berlebihan telah banyak di catat dari penelitian penelitian yang umumnya di lakukan di negara negara maju. Beberapa efek negatif yang dapat timbul akibat pengkonsumsian televisi yang berlebih pada anak adalah:<br />- Anak akan mengidentifikasi dirinya melalui tokoh yang ia tonton. Hal ini akan membahayakan terlebih bila tokoh yang ia idolakan adalah tokoh fiktif yang tidak ada di dunia nyata. Anak akan berpikiran bahwa ia dapat melakukan apapun dan the best seperti tokoh figur yang ia idolakan. Akibatnya ia akan kehilangan kemampuan untuk menganalisa dirinya sendiri, sejauh mana ia mampu berbuat dan hal mana yang tidak mungkin untuk dilakukan.<br />- Anak kurang memiliki kemampuan untuk berpikir kritis karena ia umumnya di hadapkan di dunia non fiktif yang umumnya serba sempurna. Dan hal ini menyebabkan daya kemampuan berimajinasi pun tidak dapat berkembang secara proporsional.<br />- Kemampuan bicara anak akan terhambat mengingat televisi tidak akan mampu menjawab pertanyaan pertanyaan yang ada di benaknya. Selain itu anak tidak memiliki banyak kesempatan melatih ketrampilan bicara karena ia hanya berlaku sebagai pendengar pasif dari acara acara televisi yang ditontonnya. Hal ini nantinya berakibat pada menurunnya kemampuan si anak dalam melakukan kontak sosial dengan teman temannya. Padahal di usia 0-4 tahun adalah masa otak menangkap secara optimal informasi yang ada.<br />- Anak akan lebih bersifat apatis, mudah bosan dan tidak mampu berkonsentrasi pada suatu aktivitas yang memerlukan ketrampilan motorik. Akibatnya ia tidak banyak memiliki inisiatif untuk melakukan aktifitas yang membutuhkan ketrampilan jasmani dan mudah mengisolasi diri bila menemui kesulitas melakukan kontak sosial.<br />- Akibat miskinnya „bergerak“ dalam aktivitas menonton televisi, maka akan terhambat pula perkembangan kemampuan motorik anak yang seharusnya berkembang pesat di masa pertumbuhan anak.<br /><br /><br />Berapa Lama Toleransi Menonton Televisi Pada Anak?<br /><br />Para ahli menganjurkan beberapa batasan toleransi bagi anak untuk berada di depan media elektronik (tv, komputer, video ataupun game) sebagai berikut: anak 3-5 th: 30 menit, anak 6-9 th: 60 menit, anak 10-13 th: 90 menit. Batasan toleransi ini didapatkan dengan mempertimbangkan banyak faktor seperti pengaruh layar monitor pada kesehatan mata anak ataupun kemampuan optimal anak dalam berkonsentrasi menekuni satu hal tertentu.<br /><br />Orang Tua Sebagai Teladan<br /><br />Sikap orang tua dalam mensikapi media televisi amat memegang peranan penting. Orang tua berfungsi sebagai teladan yang kerap dijadikan acuan bagi anak dalam membangun interaksi lanjut dengan media tersebut. Bila orang tua memperlakukan televisi sebagai „sahabat“ yang selalu di nanti kehadirannya serta mengisi aktivitas kesehariannya, maka janganlah heran bila satu saat mendapati anak yang mampu berlama lama di depan tabung kaca untuk menonton program kesenangannya ataupun tahan berjam jam menikmati nintendo game-nya. Demikian pula sebaliknya. Bila orang tua dapat memberikan contoh bijaksana dalam bersikap dengan media televisi, maka akan lebih mudah anak diarahkan untuk memupuk kesadarannya dalam bersikap kritis terhadap media tersebut. Satu hal yang patut diperhatikan adalah pemberian alternatif dari program televisi yang ada, semisal melakukan permainan di halaman rumah, membaca buku, ataupun melakukan aktivitas tertentu secara bersama-sama serta hal yang tak kalah pentingnya: jangan pernah memperlakukan TV sebagai Baby-Sitter agar anak dapat duduk dengan tenang!<br /><br />Beberapa Tips Mensikapi Media Elektronik<br /><br />Beberapa Tipps di bawah ini dapat digunakan sebagai panduan untuk mengatur kehadiran televisi di dalam kehidupan anak kita.<br /><br />Membicarakan bersama program televisi yang akan di tonton. Pembicaraan ini paling baik dilakukan secara mingguan. Anak dapat mengusulkan acara televisi yang ingin ia nikmati, dan orang tua memberikan pandangan (dan akhirnya keputusan) acara televisi yang akan di tonton di satu minggu ke depan. Orang tua juga sebaiknya membatasi tema acara televisi yang akan ditonton oleh anak. Carilah sebisa mungkin program program acara yang secara pedagogis baik untuk di konsumsi, seperti acara sesame street atau acara sejenis yang menumbuhkan keinginan anak untuk mengeksplorasi lingkungannya.<br /><br />Mensepakati waktu menonton televisi. Waktu yang digunakan untuk menonton televisi juga perlu di bicarakan sehingga si anak dapat belajar mendisiplinkan waktunya, dan tak ada waktu yang tiba tiba harus terkorbankan demi menonton satu acara di televisi di luar jadwal yang telah disepakati. Dengan adanya perjanjian mengenai “waktu nonton”, maka bila terjadi pelanggaran orang tua dapat memberikan sanksi misal dengan menghapuskan waktu nonton televisi di hari berikutnya atau jenis sanksi bermanfaat lainnya.<br /><br />Memberikan penjelasan pada anak. Orang tua hendaknya mendampingi anak ketika mereka berada di depan tabung kaca untuk mencoba menjalin komunikasi dengan anak serta memberikan penjelasan dan tanggapan atas acara yang sedang berlangsung. Beberapa acara yang sedianya diperuntukkan buat anak ternyata banyak memerlukan penjelasan lebih lanjut, sehingga anak dapat membedakan antara alam nyata dan alam fantasi yang banyak ditemui, khususnya di film-film kartun. Perlu dicermati pula bahwa televisi akan dapat mendatangkan manfaat bila anak sudah memiliki kemampuan berbicara, sehingga dapat dijalin percakapan lebih lanjut tentang hal hal yang melintas di pikirannya.<br /><br />Bila orang tua mampu bersikap bijaksana atas kehadiran media televisi di kehidupan anak, maka tak ayal media ini akan dapat membawa banyak manfaat bagi perkembangan intellegensi anak anda, namun demikian pula sebaliknya: televisi dapat menjadi bumerang yang berakibat buruk bagi kehidupan anak bila anda tak mampu mensikapinya dengan baik. Pilihan ada pada anda para ayah bunda! (@DAI)<br /><br />sumber : http://myscratch.blogsome.com/2005/01/01/televisi-dalam-kehidupan-anak/ </span>AKU TUhttp://www.blogger.com/profile/00759864107426711727noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6154702354553023926.post-3935360489423975472008-05-28T10:20:00.003+07:002009-01-11T21:32:05.647+07:00Peran Televisi Untuk Pendidikan<table border="0" width="98%"><tbody><tr><td align="center" valign="top" width="40%"><span style=";font-family:verdana;font-size:100%;" ><b>Mengintegrasikan Peran Televisi untuk Pendidikan Indonesia</b></span></td> </tr> <tr><td><br /></td></tr> <tr> <td align="left" valign="top" width="40%"><p align="justify"><span style=";font-family:verdana;font-size:85%;" >Ahmed Kurnia Soeriawidjaja<br /><br />Ketika budaya baca masyarakat Indonesia belum lagi tumbuh yang ditandai dengan masih tingginya angka buta huruf, media televisi dan radio sudah muncul bak cendawan di musim hujan. Banyak pihak menilai fenomena ini mengkhawatirkan karena akan mendorong penguatan budaya lisan. Perlu langkah afirmatif untuk menggunakan media visual sebagai alat meningkatkan kualitas masyarakat kita.<br /><br /><br />Kualitas manusia Indonesia ternyata menyedihkan. Lihat saja laporan terbaru yang dikeluarkan lembaga Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) tahun 2004 lalu, yang menempatkan posisi Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index/HDI) di Indonesia pada urutan 111 dari 175 negara. Posisi ini sangat jauh tertinggal di belakang, jika dibanding negara-negara tetangga seperti Malaysia (peringkat 59), Thailand (76) dan Filipina (83). Di kawasan Asian Tenggara, Indonesia hanya setingkat di atas Vietnam (118).</span><span class="fullpost"><span style="color: rgb(0, 0, 255);"><span class="fullpost"></span></span><br /><span style=";font-family:verdana;font-size:85%;" ><br />Dalam perhitungan peringkat HDI sebuah negara, UNDP melihat pada tiga komponen, yakni indeks pendidikan, indeks kesehatan dan indeks ekonomi. Khusus untuk indeks pendidikan, terdapat dua indikator. Yaitu, angka melek huruf orang dewasa dan rata-rata lama pendidikan.<br /><br />Indikator melek huruf di Indonesia lumayan jeblok. Buta huruf masih merupakan persoalan serius dan memerlukan penanganan yang khusus. Menurut laporan Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP) Depdiknas, pada 2003 di Indonesia masih terdapat 15,41 juta atau 10,21 persen penduduk usia 15 tahun ke atas buta aksara –kendati hal ini masih lebih baik daripada negara berkembang lainya yang rata-rata jauh di atas 10 persen penduduknya masih buta huruf. Tapi, kalau persoalan buta huruf di negara ini tidak diatasi dengan segera, jelas bakal menjadi hambatan yang berdampak pada pembangunan kesejahteraan rakyat Indonesia.<br /><br />Tidak heran Kabinet Indonesia Bersatu (kabinet yang dipimpin Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono) mematok target: pada tahun 2009 penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas yang buta huruf, akan menjadi tinggal lima persen. Artinya target total orang yang dientaskan supaya bisa baca tulis mencapai 14 juta orang, atau 2,8 juta orang jadi melek huruf per tahunnya. Sebuah target yang ambisius mengingat selama ini, Pemerintah baru bisa mengentaskan orang supaya melek huruf kurang dari 200.000 rata-rata per tahunnya.<br /><br />Persoalan lain yang juga dihadapi adalah, kendati di Indonesia secara statistik yang melek hurufnya cukup tinggi dibanding negara berkembang lainnya, namun tak berarti mereka bisa memanfaatkan kemampuan baca tulisnya itu secara maksimal. Inilah yang disebut Daniel Dhakidae, pengamat sosial kemasyarakatan, sebagai kemampuan baca tulisan sebagian besar masyarakat Indonesia masih pada tahap technical alphabetism, belum mencapai tahap functional alphabetism. Artinya, orang melek huruf hanya mampu sebatas teknis menulis dan membaca. Mereka belum dapat mengolah informasi dalam bentuk teks (tertulis) tersebut untuk mengindentifikasi masalah sehari-hari dan meningkatkan pengetahuan yang berakibat pada peningkatan kesejahteraan (inilah yang disebut dengan functional alphabetism). Misalnya, hingga kini para petani di Indonesia masih saja mengandalkan informasi lisan dari tenaga penyuluh –dan tidak mampu dan sekaligus tidak mau memanfaatkan informasi lain tentang pertanian dalam bentuk tertulis.<br /><br />Bebas buta huruf memang tidak bisa hanya ditafsirkan sebagai kemampuan untuk baca tulis dan mengeja semata (technical alphabetism). Keadaan bebas buta huruf menjadi bermakna kalau masyarakat sudah mencapai tingkat kemampuan membaca dan menulis secara fungsional (functional alphabetism).<br /><br />Minat baca dalam masyarakat Indonesia menunjukkan gejala yang memprihatinkan. Boleh jadi karena budaya lisan tampaknya kini lebih berkembang ketimbang budaya baca tulis. Salah satu fenomena yang mendukung gejala maraknya budaya lisan adalah terus bertambahnya jumlah stasiun televisi. Beberapa di antaranya menayangkan siaran non-stop 24 jam. Begitu juga stasiun radio yang terus menjamur jumlahnya, dan hebatnya lagi sebagian juga tak mau kalah, siaran non-stop 24 jam. Kalau tak ada peminatnya, tentu mereka tak akan mengudara non-stop.<br /><br />Coba tanya pakar atau pengamat, lebih suka yang mana: menulis kolom atau diwawancarai? Pasti mereka memilih yang kedua. Karena lebih mudah, dan yang pasti bakal lebih ngetop kalau diwawancarai wartawan televisi atau radio.<br /><br />Kini tercatat lebih dari 1.000 stasiun radio yang beroperasi di Indonesia. Padahal, tahun 2002 lalu masih tercatat 865 stasiun radio. Begitu pula jumlah stasiun televisi yang terus bertambah. Kalau dulu, kita cuma mengenal TVRI, sekarang selain stasiun televisi milik pemerintah itu, juga ada 11 stasiun televisi swasta: TVRI, TPI, RCTI, SCTV, Anteve, Indosiar, Metro TV, Trans TV, TV7, Lativi dan Global TV. Belum lagi siaran televisi yang mengudara melalui satelit.<br /><br />Tak cuma itu, televisi lokal di beberapa kota besar Indonesia terus bermunculan. Tahukah Anda di Manado ada empat stasiun televisi swasta? Di Semarang juga tak lama lagi bakal mengudara empat stasiun televisi lokal milik swasta. Bahkan di Papua saja sudah berdiri stasiun televisi lokal. Belum lagi televisi milik pemerintah daerah –dengan mengibarkan semangat otonomi –yang tersebar di berbagai pelosok. Jumlah stasiun televisi lokal diperkirakan lebih dari 50. ini masih di tambah lagi dengan 11 stasiun televisi nasional yang sudah lebih dulu ada.<br /><br />Lalu bagaimana dengan media cetak di Indonesia? Saat ini, ditaksir oplah seluruh Koran yang beredar di Indonesia hanya sekitar tiga persen dari jumlah penduduk yang ada. Padahal, menurut UNESCO, indeks ukuran maju tidaknya sebuah Negara dapat dilihat dari Koran yang beredar – minimal sekitar 10 persen dari jumlah total penduduknya. Sementara di negara industri yang sudah maju, tiras korannya mencapai lebih dari 30 persen dari jumlah penduduknya. Jadi, kalau memakai ukuran UNESCO, Indonesia masih jauh di bawah standar sebuah negara yang maju.<br /><br />Data lain juga menunjukkan bahwa tiras Koran di Indonesia mengalami penurunan yang lumayan signifikan. Laporan kongres Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) di Jakarta tahun lalu memperlihatkan justru terjadi penyusutan tiras seluruh Koran yang terbit di Indonesia. Ironisnya, penurunan tiras koran ini justru berlangsung di tengah euphoria kebebasan pers. Sejak tahun 1998, untk menerbitkan Koran tak perlu lagi izin. Siapa saja, kalau punya sumber daya termasuk dana tentunya, dan berbadan hukum, bisa menerbitkan koran. Dan memang koran baru banyak bermunculan. Tapi pada saat yang hamper bersamaan banyak pula koran yang tak dapat meneruskan penerbitannya. Entah karena memang pembacanya yang tidak ada (maka korannya tidak laku), atau karena salah urus (mismanagement). Namun yang pasti media-media cetak yang sudah mapan dan punya sejarah yang panjang, di tengah euphoria kebebasan pers, tetap tak dapat mendongkrak tirasnya. Paling banyak oplah koran papan atas yang berpengaruh (mainstream) yang terbit di Indonesia hanya sekitar 500 ribu setiap harinya. Sementara penduduk Jakarta saja sudah mencapai sekitar 8 juta jiwa. Bandingkan misalnya, dengan oplah Koran Yomiuri Shimbun yang terbit di Jepang yang mencapai 12 juta eksemplar setiap harinya. Atau oplah sebuah koran di Amerika Serikat atau Jerman yang juga mencapai jutaan eksemplarnya setiap terbit.<br /><br />Media cetak, khususnya koran, memang cenderung tak lagi menjadi sumber informasi yang handal di negeri ini. Banyak penelitian memperlihatkan bahwa media elektronik, yaitu televisi dan radio, menjadi acuan informasi bagi masyarakat. Menurut perkiraan, di negeri ini ada lebih dari 30 juta pesawat televisi, yang rata-rata untk setiap pesawat televisi ditonton oleh lima orang. Berarti ada sekitar 150 juta penduduk Indonesia, atau sekitar 70 persen dari total penduduk, yang menonton (dan mendapat informasi) dari televisi. Sedangkan, mereka yang memperoleh informasi dari media cetak, diduga hanya sekitar 10 persen dari jumlah penduduk Indonesia.<br /><br />Pada tahun 1977, total tiras semua Koran yang terbit di Indonesia mencapai sekitar 5,1 juta eksemplar. Pada tahun 2000 – ketika pers bebas berlangsung –total tirasnya malah susut menjadi 4,7 eksemplar. Maka satu surat kabar yang tadinya diasumsikan dibaca oleh 40 orang dalam tiga tahun menjadi 42 orang. Di tahun 2004 ini, tampaknya asumsi itu tak jauh berbeda.<br /><br />Fenomena di atas setidaknya menunjukkan bahwa minat baca di negeri ini memang rendah sekali. Bahkan, boleh dikata sangat memprihatinkan! Lihat kondisi perpustakaan umum yang ada, sangat menyedihkan. Perpustakaan HB Jasin di Jakarta atau Perpustakaan Bung Hatta di Bukittinggi, karena sepi pengunjung, tak mendapatkan pemasukan (pendapatan) yang berbuntut kurang terawatnya koleksi buku. Jadi, alih-alih menambah koleksi buku, mempertahankan yang sudah ada saja sudah megap-megap kekurangan dana.<br /><br />Padahal, membaca (dan juga menulis tentunya) adalah sebah kegiatan yang dapat merangsang orang aktif berpikir, mencerna secara reflektif dan kreatif. Aktivitas itu menuntut intensitas dan konsentrasi yang relatif lebih tinggi ketimbang menonton televisi atau mendengar radio.<br />Uraian di atas memperlihatkan betapa budaya lisan (dan dengar) lebih berkembang di masyarakat ketimbang budaya baca (dan tulis).<br /><br />Kondisi ini jelas merupakan tantangan bagi Pemerintah dalam upaya memberantas buta huruf. Mereka yang melek huruf saja, ternyata diduga baru sebatas mampu baca tulis secara teknis (technical alphabetism), dan belum mencapai tahap baca-tulis secara fungsional (functional alphabetism). Jadi, angka statistik yang menunjukkan bahwa di Indonesia masih terdapat 15,41 juta atau hanya 10,21 persen penduduk usia 15 tahun ke atas yang buta aksara menjadi patut dipertanyakan. Bukan tak mungkin mereka yang buta huruf (dalam arti belum mencapai tahapan functional alpbabetism) lebih banyak lagi.<br /><br />Sudah saatnya diperlukan sebuah suasana yang dapat mengkondisikan masyarakat supaya gemar membaca (dan menulis) dalam upaya memerangi buta huruf dan sekaligus mengimbangi budaya lisan (dan dengar) yang kini semakin mendominasi kehidupan sehari-hari. Tak dapat dipungkiri, media televisi telah begitu akrab dalam kehidupan sehari-hari.<br /><br />Karena alasan itulah, di antara banyak pilihan cara, apa boleh buat, kenapa tidak memanfaatkan media televisi sebagai sarana pendidikan, termasuk kegiatan pendidikan membaca dan menulis? Tentu pilihan ini terasa seperti sebuah usaha yang paradoks. Mengembangkan budaya baca-tulis dengan memanfaatkan media yang berbasis budaya lisan-dengar.<br /><br />Memanfaatkan Televisi Edukasi<br />Kesulitan utama yang dihadapi Pemerintah dalam mendongkrak HDI adalah minimnya sumber daya manusia, termasuk penyediaan guru atau tutor. Ditambah lagi dengan kondisi geografis bercorak kepulauan dan pegunungan, serta terbatasnya anggaran.<br /><br />Hambatan tersebut memang bukan barang baru bagi Indonesia. Sesuatu yang sering jadi tumpuan alasan adalah tidak meratanya pendidikan. Dan akibatnya, kesejahteraan pun juga jadi tidak merata di negeri ini.<br /><br />Untuk mengatasi keterbatasan penyediaan tutor, saat ini pemerintah telah merekrut sekitar 200 ribu calon pegawai negeri sipil dari 4 juta pelamar. Sebagian besar pegawai negeri baru ini nantinya akan menempati posisi sebagai guru pada jalur formal. Mereka akan disebar di berbagai wilayah di Indonesia.<br /><br />Namun bagaimana dengan tantangan geografis, padahal jumlah guru yang ada masih jauh dari mencukupi. Sebenarnya pemanfaatan teknologi pembelajaran jarak jauh melalui siaran televisi bisa dijadikan solusi untuk mengatasinya. Apalagi saat ini tercatat sudah ada lebih dari 50 televisi lokal di seluruh Indonesia. Angka ini dipastikan akan berkembang setelah era televisi swasta nasional berakhir –seiring berlakunya UU No.32/2002 tentang Penyiaran –dan semangat otonomi daerah yang kian menggebu.<br /><br />Pemerintah (melalui Depdiknas) memang tidak bisa bekerja sendiri untuk mendongkrak HDI Indonesia. Perlu ada kerja sama yang terkait di antara semua pihak di samping mengerahkan semua potensi yang ada. Termasuk tidak hanya mengoptimalkan jalur formal, tapi juga memacu jalur informal yang tidak hanya melibatkan guru dan sekolah.<br /><br />Pada Oktober 2004 lalu Depdiknas meluncurkan Televisi Edukasi atau TVE. Tujuan televisi ini adalah untuk memberikan layanan siaran pendidikan berkualitas yang dapat menunjang tujuan pendidikan nasional di samping memeratakan pendidikan ke seantero penjuru Indonesia.<br /><br />Kehadiran TVE Inilah tampaknya yang menjadi peluang untuk program pengentasan buta aksara. Sejumlah program dikemas untuk mendorong masyarakat pemirsa TVE untuk kenal huruf, dan kemudian di tahap berikutnya mengajak mereka gemar membaca dan menulis.<br /><br />Namun sayangnya TVE punya keterbatasan. Saat ini, stasiun tersebut hanya bisa diakses bagi mereka yang memiliki parabola, mengingat karena siarannya dipancarkan melalui satelit. Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut, TVE bisa dipastikan akan menangguk kegagalan seperti yang dialami oleh Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) –yang sudah lama berubah haluan hanya menjadi televisi hiburan semata dan melupakan jati diri P-nya sebagai televisi pendidikan.<br /><br />Kita masih belum lupa begitu ambisiusnya TPI di masa awal menayangkan siaran-siaran berisi tutorial berbagai mata pelajaran. Ambisi pemerintah, seiring hadirnya TPI kala itu, adalah setiap sekolah menyediakan pesawat televisi di dalam kelas-kelas sekolah –dan program tutorial tersebut sebagai alat bantu guru dalam menyampaikan pelajaran.<br /><br />Namun apa daya, jangankan menyediakan satu pesawat televisi di setiap kelas, satu televisi setiap satu sekolah saja susah ---bahkan tidak jarang ada sekolah yang atapnya saja tidak utuh, sehingga pengadaan televisi bukanlah prioritas. Apalagi televisi hingga kini masih dikategorikan sebagai barang mewah yang cukup mahal harganya. Alhasil, TPI – entah sebab atau akibat – “terpaksa” banting stir menjadi televisi hiburan semata.<br /><br />Sinergi TVE dan Stasiun Televisi Lokal<br />Itlah sebabnya keberadaan TVE perlu disiasati agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. TVE perlu melakukan sinergi dengan stasiun televisi-televisi lokal, khususnya dengan televisi lokal yang berjaya baik secara manajemen keuangan maupun manajemen isi siaran. Walaupun belakangan sebagian televisi lokal yang ada mulai mengendur semangatnya setelah menyadari mengelola televisi ternyata kompleks dan tidak semudah yang diduga sebelumnya.<br /><br />Kesulitan utama televisi lokal selain saat ini masih harus bersaing denan raksasa TV swasta nasional adalah ketersediaan program. Merencanakan program bagi sebuah stasiun televisi merupakan pekerjaan yang sangat melelahkan. Misalnya, bila sebuah stasiun televisi melakukan siaran selama sepuluh jam sehari dengan menayangkan program berdurasi 30 menit, maka stasiun TV ini membutuhkan 20 program sehari atau 140 program per minggu. Artinya, stasiun televisi akan terus kehausan program-program baru jika tidak ingin ditinggalkan pemirsanya. Dan jika tidak ada pemirsa, maka dijamin iklan pun tidak akan menghampiri. Padahal, pendapatan dari iklan merupakan darah bagi kelangsungan hidup sebuah stasiun televisi.<br /><br />Membuat program televisi memang bukan pekerjaan mudah –apalagi murah. Perlu biaya dan komponen yang berteknologi tinggi serta tenaga kreatif.<br /><br />Bagi pengelola televisi lokal, problem ini tentu diatasi atau setidaknya diringankan dengan menyiarkan program yang berasal dari TVE. Apalagi memang tujuan TVE adalah memberikan layanan siaran pendidikan berkualitas yang dapat menunjang tujuan pendidikan nasional. Sehingga, keseluruhan programnya dapat diakses dan dipancarkan kembali secara cuma-cuma melalui stasiun televisi lokal.<br /><br />Pentingnya Kreativitas<br />Salah satu “kesalahan” TPI adalah merancang program seperti layaknya tutorial di dalam kelas. Karena televisi merupakan medium hiburan, acara tutorial semacam itu sudah pasti akan sangat menjemukan. Konten dari TVE sebaiknya menghindari hal ini. Karakteristik televisi adalah media tempat pemerisa mencari hiburan dan informasi.<br /><br />Hal tersebut menjadi tantangan bagi TVE selaku penyedia program. Acara pendidikan bukan tidak mungkin dikemas dalam bentuk hiburan yang inspiatif. Kita bisa lihat contoh program Sesame Street – sebuah program pendidikan yang dibuat di Amerika Serikat – misalnya. Ternyata acara pendidikan tentang mengenal aksara bisa dikemas dengan tarian dan lagi yang menghibur. Singkatnya, acara yang bermuatan pendidikan itu tak menjemukan. Malah sangat atraktif untuk orang dewasa, apalagi untuk anak-anak. Tak heran kalau program seperti ini dibeli oleh stasiun swasta di seluruh dunia (termasuk Indonesia) untuk acara komersial – yang kemudian diselingi dengan iklan.<br /><br />Tentu saja TVE bisa melakkan hal serupa dengan cirri dan basis Indonesia denan melibatkan orang-orang kreatif di bidang pendidikan dan komunikasi yang tidak terhitung banyaknya.<br /><br />Pengentasan buta aksara sudah tidak bisa lagi hanya mengandalkan jalur formal semata. Dan kini sudah ada alternatif media yang dapat dijadikan alat yang kreatif dan inovatif. Yakni, dengan pemberdayaan televisi lokal yang memanfaatkan program siaran TVE.<br /><br />Televisi lokal yang ada haruslah menjadi kepanjang tangan pemerintah dalam upaya memeratakan pendidikan, karena televisi mampu menjangkau daerah-daerah terpencil. Pemerintah dalam hal ini Depdiknas melalui TVE tinggal merumuskan program yang tepat guna dan bermanfaat bagi masyarakat. Yang tak kalah pentingnya adalah sebuah program pendidikan yang dikemas dengan atraktif dan inspiratif. Upaya ini jauh lebih murah dan lebih luas menjangkau sasaran mengingat terbatasnya anggaran. Terlebih saat ini untuk mendongkrak posisi HDI Indonesia kita perlu bekerja keras mengoptimalkan tidak hanya jalur formal melainkan juga jalur lainnya.<br /><br />Hanya saja ada kekhawatiran memanfaatkan televisi sebagai media pendidikan jangan sampai menjadi bumerang: semakin maraknya budaya lisan-dengan akan membuat budaya baca tulis semakin terpuruk. Karena, bagaimanapun juga, ukuran sebuah bangsa yang maju seperti dipatok indeks HDI-nya UNDP adalah bangasa yang tingkat melek huruf masyarakatnya tinggi. Jadi, bukan dari ukuran seberapa banyak masyarakatnya menonton televisi.<br /></span></p></td></tr></tbody></table><br />sumber : http://www.ekonomiindonesia.info/newsdetail.asp?id=579<span class="fullpost"><span style="color: rgb(0, 0, 255);"></span></span></span>AKU TUhttp://www.blogger.com/profile/00759864107426711727noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6154702354553023926.post-68909823062944212522008-05-27T23:42:00.001+07:002008-05-27T23:53:28.247+07:00Smackdown VS Televisi Pendidikanoleh<br />Nama : Rafi Saleh Rumana<br />Nim : 1102406046<br /><br /><div class="snap_preview"><p>Potret buram dunia pendidikan kembali tercoreng dengan tewasnya salah satu peserta didik Sekolah Dasar (SD) di daerah Jawa Barat akibat dismackdown oleh teman-temannya, sedangkan menurut laporan Metro TV (28 Nopember 2006), seorang siswa TK di Bojonegoro dan seorang siswa SLTP di Probolinggo patah tulang juga akibat smackdown. Padahal kalau kita cermati acara smackdown sebenarnya telah ada pada tahun 80an dan ketika itu anak-anak usia sekolah melakukan adegan tersebut yang kemudian dikenal dengan istilah perang-perangan, ketoprak-ketropakan, dan atau banting-bantingan.<span id="more-122"></span><br />Namun demikian, peristiwa tersebut tidaklah seheboh sekarang ini, yang ternyata smackdown muncul sporadis dengan versi dan gaya yang deversitatif dan mampu memberi sugesti kepada anak-anak kecil usia sekolah untuk menonton dan kemudian “coba-coba” melakukan dengan teman-teman sebaya yang pada gilirannya berdampak negatif bagi fisik dan psikologis korban. Jika hal ini dibiarkan secara terus-menerus, maka korban-korban berikutnya akan antri berjatuhan.</p> <p>Sedangkan langkah preventif yang dilakukan pemerintah saat ini cenderung stagnan dan kurang variatif, kalupun ada itupun hanya setengah hati atau jangan-jangan hanya sebagai kambing hitam atas merosotnya kualitas mutu pendidikan nasional (Human Development Indeks Indonesia berada di angka 112 jauh di bawah negara tetangga) Adalah penggunaan televisi pendidikan untuk mengeliminir pencabulan media pembelajaran yang bernama televisi atau jika perlu pemerintah menelorkan kebijakan tentang larangan penayangan acara televisi “smackdown” pada jam-jam belajar serta mensosialisasikan kepada guru dan orang tua bahwa acara tersebut bukanlah menu yang pas untuk ditonton anak-anak.</p> <p>Abad XIX merupakan awal mula ditemukannya Electrisce Telescope oleh seorang mahasiswa dari Berlin bernama Paul Nipkow, alat ini berfungsi sebagai pengirim gambar dari satu tempat ke tempat lain. Temuan inilah yang kemudian menjadi titik awal berkembangnya televisi, dan sejak saat itu perkembangannya dari tahun ke tahun menjadi sangat pesat hingga detik ini dan bahkan televisi mampu menunjukkan eksistensi maupun dominasinya dibanding dengan media-media yang lainnya.</p> <p>Eksistensi televisi sebagai media komunikasi pada prinsipnya, bertujuan untuk dapat menginformasikan segala bentuk acaranya kepada masyarakat luas. Hendaknya, televisi mempunyai kewajiban moral untuk ikut serta berpartisipasi dalam menginformasikan, mendidik, dan menghibur masyarakat yang pada gilirannya berdampak pada perkembangan pendidikan masyarakat melalui tanyangan-tayangan yang disiarkannya.</p> <p>Secara normatif, siaran televisi mampu menyajikan menu kepada masyarakat tanpa harus mendatangi, tidak membedakan status, kasta, golongan, dan usia selama 24 jam nonstop. Ini berarti televisi tidak dibatasi waktu hari, minggu, dan bulan. Melainkan hanya dibatasi waktu detik, menit, dan jam. Begitu juga, televisi pendidikan yang seharusnya digagas oleh policy maker pendidikan sebagai upaya pengkomunikasian informasi, mendidik, dan juga transfer of knowledg and transfer of valuee.</p> <p>Dalam kompleksitas dan mata rantai yang panjang tentang televisi pendidikan serta dinamikanya, maka pertanyaan yang paling dominan muncul adalah “bagaimanakah konsep dan strategi penyiaran televisi pendidikan yang tepat?”, dan “Apakah tv pendidikan mampu mengimbangi siaran smackdown?”. Hal ini perlu dipahami, bahwa televisi pendidikan memiliki fungsi yang sama dengan media massa lain, yaitu fungsi mendidik, menginformasikan, meneruskan nilai-nilai budaya bangsa, menjadi agent of change. Sehingga, tanpa disadari dengan melihat acara/tayangan televisi seseorang telah mengikuti pendidikan.</p> <p>Hemat penulis, untuk mengaplikasikan konsep televisi pendidikan, maka perlu dilakukan serangkaian kegiatan sebagai berikut. Pertama, membentuk tim yang bertugas menyiapkan program ini dengan sistem dan manajerial yang baik. Tim ini melibatkan wakil-wakil dari departemen pendidikan nasional yang mempunyai tugas dan fungsi secara teknis terhadap sekolah dan tenaga kependidikan. Kedua, perlu disusun dan dikembangkan considerance sebagai bahan untuk didiskusikan dan disempurnakan. Ketiga, Perlu diprogramkan suatu kegiatan diskusi yang intensif untuk mematangkan konsep dan program. Unsur-unsur yang perlu diundang dalam kegiatan diskusi tersebut mencakup unsur akademisi, praktisi, pemerhati, dan birokrat yang secara langsung maupun tidak langsung bertanggungjawab pada upaya peningkatan moral dan perilaku anak didik kita sebagai generasi penerus bangsa !!!</p><p>Sumber : <span class="a">mkpd.wordpress.com</span></p> </div>AKU TUhttp://www.blogger.com/profile/00759864107426711727noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6154702354553023926.post-55504233692304093942008-05-27T22:38:00.001+07:002009-01-11T21:34:09.860+07:00Potret buram dunia pendidikan kembali tercoreng dengan tewasnya salah satu peserta didik Sekolah Dasar (SD) di daerah Jawa Barat akibat dismackdown oleh teman-temannya, sedangkan menurut laporan Metro TV (28 Nopember 2006), seorang siswa TK di Bojonegoro dan seorang siswa SLTP di Probolinggo patah tulang juga akibat smackdown. Padahal kalau kita cermati acara smackdown sebenarnya telah ada pada tahun 80an dan ketika itu anak-anak usia sekolah melakukan adegan tersebut yang kemudian dikenal dengan istilah perang-perangan, ketoprak-ketropakan, dan atau banting-bantingan.<span id="more-122"></span><br />Namun demikian, peristiwa tersebut tidaklah seheboh sekarang ini, yang ternyata smackdown muncul sporadis dengan versi dan gaya yang deversitatif dan mampu memberi sugesti kepada anak-anak kecil usia sekolah untuk menonton dan kemudian “coba-coba” melakukan dengan teman-teman sebaya yang pada gilirannya berdampak negatif bagi fisik dan psikologis korban. Jika hal ini dibiarkan secara terus-menerus, maka korban-korban berikutnya akan antri berjatuhan.</p> <p>Sedangkan langkah preventif yang dilakukan pemerintah saat ini cenderung stagnan dan kurang variatif, kalupun ada itupun hanya setengah hati atau jangan-jangan hanya sebagai kambing hitam atas merosotnya kualitas mutu pendidikan nasional (Human Development Indeks Indonesia berada di angka 112 jauh di bawah negara tetangga) Adalah penggunaan televisi pendidikan untuk mengeliminir pencabulan media pembelajaran yang bernama televisi atau jika perlu pemerintah menelorkan kebijakan tentang larangan penayangan acara televisi “smackdown” pada jam-jam belajar serta mensosialisasikan kepada guru dan orang tua bahwa acara tersebut bukanlah menu yang pas untuk ditonton anak-anak.</p> <p>Abad XIX merupakan awal mula ditemukannya Electrisce Telescope oleh seorang mahasiswa dari Berlin bernama Paul Nipkow, alat ini berfungsi sebagai pengirim gambar dari satu tempat ke tempat lain. Temuan inilah yang kemudian menjadi titik awal berkembangnya televisi, dan sejak saat itu perkembangannya dari tahun ke tahun menjadi sangat pesat hingga detik ini dan bahkan televisi mampu menunjukkan eksistensi maupun dominasinya dibanding dengan media-media yang lainnya.</p> <p>Eksistensi televisi sebagai media komunikasi pada prinsipnya, bertujuan untuk dapat menginformasikan segala bentuk acaranya kepada masyarakat luas. Hendaknya, televisi mempunyai kewajiban moral untuk ikut serta berpartisipasi dalam menginformasikan, mendidik, dan menghibur masyarakat yang pada gilirannya berdampak pada perkembangan pendidikan masyarakat melalui tanyangan-tayangan yang disiarkannya.</p> <p>Secara normatif, siaran televisi mampu menyajikan menu kepada masyarakat tanpa harus mendatangi, tidak membedakan status, kasta, golongan, dan usia selama 24 jam nonstop. Ini berarti televisi tidak dibatasi waktu hari, minggu, dan bulan. Melainkan hanya dibatasi waktu detik, menit, dan jam. Begitu juga, televisi pendidikan yang seharusnya digagas oleh policy maker pendidikan sebagai upaya pengkomunikasian informasi, mendidik, dan juga transfer of knowledg and transfer of valuee.</p> <p>Dalam kompleksitas dan mata rantai yang panjang tentang televisi pendidikan serta dinamikanya, maka pertanyaan yang paling dominan muncul adalah “bagaimanakah konsep dan strategi penyiaran televisi pendidikan yang tepat?”, dan “Apakah tv pendidikan mampu mengimbangi siaran smackdown?”. Hal ini perlu dipahami, bahwa televisi pendidikan memiliki fungsi yang sama dengan media massa lain, yaitu fungsi mendidik, menginformasikan, meneruskan nilai-nilai budaya bangsa, menjadi agent of change. Sehingga, tanpa disadari dengan melihat acara/tayangan televisi seseorang telah mengikuti pendidikan.</p> <p>Hemat penulis, untuk mengaplikasikan konsep televisi pendidikan, maka perlu dilakukan serangkaian kegiatan sebagai berikut. Pertama, membentuk tim yang bertugas menyiapkan program ini dengan sistem dan manajerial yang baik. Tim ini melibatkan wakil-wakil dari departemen pendidikan nasional yang mempunyai tugas dan fungsi secara teknis terhadap sekolah dan tenaga kependidikan. Kedua, perlu disusun dan dikembangkan considerance sebagai bahan untuk didiskusikan dan disempurnakan. Ketiga, Perlu diprogramkan suatu kegiatan diskusi yang intensif untuk mematangkan konsep dan program. Unsur-unsur yang perlu diundang dalam kegiatan diskusi tersebut mencakup unsur akademisi, praktisi, pemerhati, dan birokrat yang secara langsung maupun tidak langsung bertanggungjawab pada upaya peningkatan moral dan perilaku anak didik kita sebagai generasi penerus bangsa !!!</p> <script type="text/javascript"><!-- yieldbuild_client = 765; yieldbuild_layout = "digg3theme3"; yieldbuild_loc = "pre_tags"; yieldbuild_options = {google_channels:"9378541030+7401333398+7453468586+9928239188"}; //--></script><script src="http://yieldbuild.com/s_ad.js" type="text/javascript"></script> <script language="javascript" src="http://yieldbuild.com/ad/inline?url=http%3A%2F%2Fmkpd.wordpress.com%2F2008%2F04%2F05%2Fsmackdown-vs-televisi-pendidikan%2F&client_id=765&loc=pre_tags&rnd=9261&layout=digg3theme3&google_channels=9378541030+7401333398+7453468586+9928239188&options=1&referrer=http%3A%2F%2Fwww.google.co.id%2Fsearch%3Fhl%3Did%26q%3DMedia%2Btv%2Bpendidikan%26start%3D10%26sa%3DN" type="text/javascript"> </script> sumber : <span class="a">mkpd.wordpress.com</span>AKU TUhttp://www.blogger.com/profile/00759864107426711727noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6154702354553023926.post-6596940466609302922008-05-27T22:09:00.001+07:002009-01-11T21:33:29.504+07:00Dalam pendidikan modern, pemanfaatan program media televisi pendidikan merupakan bagian dari<br />penerapan konsep teknologi instruksional yang disebut konsepsi pengajaran visual, yang perlu<br />disebarluaskan karena memiliki keuntungan relatif, manfaat, kesamaan dan kemudahan untuk proses belajar<br />mengajar.<br />Selain daripada itu penggunaan alat bantu visual dalam program pengajaran dimaksudkan untuk<br />memperkenalkan, membentuk dan memperkaya serta memperjelas pengertian yang abstrak kepada anak<br />didik serta mengembangkan sikap yang diinginkan dan mendorong kegiatan anak didik lebih lanjut. Istilah<br />konsepsi pengajaran visual inilah yang disebut audio visual instruction.<br />Pemanfaatan audio visual seperti media televisi pendidikan sangat dimungkinkan apabila mampu<br />menyajikan pesan dengan jelas kepada anak didik tentang hal-hal yang berguna dan pantas ditiru.<br />Tesis ini membahas pemanfaatan program kaset media televisi pendidikan produksi Pustekkom di<br />Kotamadya Bandung, karena selama ini frekuensi pemanfaatannya disekolah Lanjutan Tingkat Pertama<br />sangat rendah, padahal telah diproduksi 547 (lima ratus empat puluh tujuh) buah judul program media<br />televisi pendidikan untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama.<br />Terdapat dua masalah yang diidentifikasikan dalam penelitian ini, pertama kurangnya pemahaman guruguru<br />tentang inovasi pendidikan, kedua rendahnya kualitas program kaset media televisi pendidikan<br />Pustekkom Sehingga kedua hal ini di duga mempengaruhi tingkat pemanfaatannya di Sekolah Lanjutan<br />Tingkat Pertama.<br />Untuk membuktikan dugaan permasalahan tersebut diatas, maka dibutuhkan sebuah penelitian. Karena<br />dalam penelitian ini ingin melihat hubungan antara pemahaman inovasi pendidikan dan kualitas program<br />dengan pemanfaatan program di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, baik itu secara sendiri-sendiri maupun<br />secara bersama-sama, maka untuk membuktikan hipotesis digunakan analisis regresi dan korelasi sederhana,<br />regresi dan korelasi ganda, dengan syarat terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data, uji homogenitas data<br />dan uji linieritas data. Hasil pengujian membuktikan bahwa ketiga hasil uji data tersebut memenuhi syarat.<br />Setelah itu dilakukan pengujian hipotesis, ternyata hipotesis pertama, kedua dan ketiga terbukti yaitu : 1 .<br />terdapat hubungan yang positip antara pemahaman inovasi pendidikan dengan pemanfaatan program kaset<br />media televisi pendidikan di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. 2. Terdapat hubungan yang positip antara<br />persepsi mengenai kualitas program kaset media televisi pendidikan dengan pemanfaatannya di Sekolah<br />Lanjutan Tingkat Pertama. 3. Terdapat hubungan yang positip antara pemahaman inovasi pendidikan dan<br />persepsi mengenai kualitas program media pendidikan produksi Pustekkom secara bersama-sama dengan<br />pemanfaatannya di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Untuk hal tersebut di atas, maka perlu diterapkan<br />teori difusi inovasi, dan peranan Sanggar Tekkom sebagai agen pembaharuan di daerah memegang peranan<br />penting untuk penyebarluasan pemahaman inovasi. Pustekkom sebagai lembaga pembaharuan dan yang<br />sekaligus bertindak sebagai unit produksi harus dapat menyediakan program-program yang berkualitas,<br />yang sesuai dengan kebutuhan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, dan yang tidak kalah pentingnya ialah<br />bahwa sebelum program kaset media televisi pendidikan ini diproduksi terlebih dahulu dilakukan penelitian.<br /><br />Sumber : <font class="a">www.digilib.ui.ac.id<br /></font>AKU TUhttp://www.blogger.com/profile/00759864107426711727noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6154702354553023926.post-75488019422055313772008-05-26T07:53:00.000+07:002008-05-26T07:55:58.529+07:00<div style="text-align: center;"><span style="font-weight: bold;" class="judul">Media Sebagai Lingkar Pendidikan Keempat</span><br /></div><p align="left">oleh :</p><p align="left">NAMA : HERU KRISTIANTO</p><p align="left">NIM : 1102406050<br /></p><p align="justify"><span class="storycontent">Beberapa waktu lalu, sekelompok muda perfilman yang tergabung dalam Masyarakat Film Indonesia (MFI) mengajukan judicial review atas Undang-undang nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menggugat keberadaan Lembaga Sensor Film (LSF) yang membendung kreativitas mereka selama ini. Juga, mereka menuntut agar LSF dan Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) dibubarkan karena telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). </span></p><p> <span class="storycontent">Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, Indonesia akan terus merapalkan sejumlah tuntutan, deklarasi, dan gugatan atas nama HAM yang tereja dari masyarakatnya sendiri. HAM menjadi dalih ampuh untuk melindungi diri manakala seseorang atau kelompok orang terampas hak-haknya. Pada kasus di atas, kreativitas adalah sewujud HAM yang, bagi kalangan perfilman, merupakan modal dasar dalam berkarya. Padahal, mengutip pendapat Julian Beggini (2003:51), 'bahasa hak dan kebebasan dapat digunakan untuk mengaburkan segala jenis ketidakadilan dan perbuatan salah'. </span></p><p> <span class="storycontent">Mungkin penulis akan dituduh mengaburkan ketidakadilan jika berpendapat bahwa mendapatkan pendidikan yang layak dari media -dalam arti luas berarti juga film--adalah HAM, apalagi bagi bangsa yang mendapat amanah 'mencerdaskan kehidupan bangsa' dari the founding fathers-nya. Kalaulah anak dan remaja di negeri ini sadar atas hak pendidikannya, mereka mungkin menuntut agar mendapatkan tayangan film yang meneguhkan wawasan dan kepribadiannya. Jika demikian halnya, yang dibutuhkan tidak hanya LSF yang hanya bekerja di area seksualitas dan agresivitas, tapi juga lembaga yang melarang beredarnya film yang tidak mengandung unsur pendidikan. Letak masalahnya bukan pada tingkat pendidikan masyarakat yang rendah (sebagaimana pendapat harian ini dalam Tajuk Rencana, 12/01/2008), tapi tidak adanya perhatian dari elemen bangsa, termasuk media, terhadap proses dan strategi mendidik. Tapi, apakah itu mungkin? Alih-alih menghayati tujuan pendirian bangsa, mengharapkan media sebagai sarana pendidikan bagi masyarakat justru mempersempit peran media itu sendiri. </span></p><p> <span class="storycontent">Dari naluri mendidiknya, Ki Hajar Dewantara pernah mengutarakan tiga lingkar pendidikan, yakni keluarga, sekolah dan masyarakat. Tiga lingkungan itulah yang akan memberi corak bagi seorang anak atau remaja terhadap perilaku (behavior), sikap (attitude), pandangan (subjective norm), keyakinan (belief) dan nilai (value) yang dianut. Tiga lingkungan itu seperti buaian yang akan mengintrodusir anak dan remaja perihal anasir kepribadian tersebut. Namun, dalam era informasi sekarang ini, ketiga lingkungan itu mengenyam peran yang semakin menyusut. Saat ini media, baik cetak maupun elektronik, merupakan lingkungan yang dekat bagi anak dan remaja. Lepas dari apakah media menyadari atas signifikansi perannya dalam membentuk kepribadian, media telah menjadi lingkar pendidikan keempat, bahkan dalam rentang yang lebih dekat. </span></p><p> <span class="storycontent">Mengulas peran mendidik sebenarnya tidak terpaku pada tanggung jawab pelaku pendidikan di tiga lingkar itu. Bukan semata sebagai tanggung jawab orang tua atau yang dituakan (dalam keluarga), guru (di sekolah) dan sesepuh atau tokoh (di masyarakat). Mendidik adalah tanggung jawab universal setiap orang atas kodratnya sebagai makhluk yang dididik (animal educandum) dan makhluk yang mendidik (animal educandus). Seorang tokoh filsafat pendidikan dari Universitas London, john White, berpendapat, 'bukan hanya guru dan orang tua yang bertanggung jawab memikirkan tujuan pendidikan, melainkan setiap warga berkepentingan dengannya. Akan seperti apakah masyarakat kita?' (Callan, 2003:448). Bahkan sebenarnya tanggung jawab terbesar atas pendidikan adalah pihak yang paling besar mempengaruhi gaya hidup masyarakat. Berarti pula, pihak yang mampu menjadi trend-setter budaya di masyarakat dan sekaligus juga mengetahui jawaban atas pertanyaan White, 'akan seperti apakah masyarakat kita?' Dalam hal ini peran media teramat penting bagi terbentuknya cita masyarakat yang akan dituju. </span></p><p> <span class="storycontent">Ada beberapa alasan mengapa media, sebagai lingkar pendidikan keempat, memiliki peran signifikan dalam mendidik anak dan remaja. Pertama, anak dan remaja memiliki intensitas interaksi yang tinggi dengan media. Hampir tidak ada hari tanpa menonton televisi--pun karena hampir setiap rumah memiliki televisi. Seorang remaja dianggap tidak gaul jika belum menonton film Indonesia terbaru--yang memang banyak berkisah tentang remaja.Kedua, media memungkinkan jarak sosial yang dekat dengan anak atau remaja. Media menjadi sarana interaksi yang privat. Peran masyarakat sebagai lingkar pendidikan setelah sekolah berkurang perannya apalagi dalam masyarakat perkotaan. Beban belajar di sekolah yang makin meningkat cenderung membatasi anak dan remaja berinteraksi di masyarakat. Alih-alih berinteraksi dengan lingkungan luar, anak dan remaja justru mengandalkan televisi sebagai 'teman dekat'nya. Ketiga, media dapat hadir dalam waktu kapanpun yang dimaui anak atau remaja. Apalagi jika lingkungan keluarga tidak menghalangi atau membatasi anak atau remaja dalam berinteraksi dengan media. Beberapa kasus perkosaan yang dilakukan remaja terjadi setelah pelaku menonton VCD seronok. </span></p><p> <span class="storycontent">Keempat, perihal seksualitas dan agresivitas bukanlah penentu utama ketertarikan masyarakat pada media. Dilema di sekitar seksualitas dan agresivitas adalah dilema primordial umat manusia. Walaupun menurut Freud seksualitas dan agresivitas adalah bawaan tak sadar manusia, aktualitasnya akan dibatasi oleh norma yang berkembang di masyarakat. Jadi, daripada menampilkan seksualitas dan agresivitas yang akan mendapat tentangan di masyarakat, media lebih bijak menyodorkan tayangan yang lebih memenuhi harapan masyarakat. Kelima, media yang juga disebut sebagai pilar keempat demokrasi memungkinkan interaksi yang dinamis dengan masyarakat. Media, disamping mampu mempengaruhi kebijakan publik, juga menjadi sarana aspirasi masyarakat. Lewat media, masyarakat pada umumnya bisa mengetahui beragam informasi dan fenomena yang terjadi pada seseorang atau kelompok masyarakat tertentu. Masyarakat yang beragam akan menderetkan fenomena dan laku hidup yang beragam dan tentu, memiliki nilai media. </span></p><p> <span class="storycontent">Jika mengatakan bahwa media tidak memiliki unsur edukatif tentu tidak sepenuhnya benar. Beberapa stasiun TV swasta menayangkan acara yang memungkinkan anak belajar kebiasaan baru dalam dunia permainan. Ada acara yang memperluas wawasan anak dengan menampilkan asal mula benda tertentu (dikemas seperti ensiklopedia). Film Nagabonar jadi 2, yang meminimalisasi seksualitas, bukannya kehilangan popularitas tapi malah memperoleh penghargaan sebagai film terbaik dalam Festival Film Indonesia (FFI) 2007. Baru-baru ini, film Denias Senandung di atas Awan mendapatkan penghargaan dari pemerintah Australia karena sarat dengan unsur pendidikan. </span></p><p> <span class="storycontent">Tuntutan MFI agar pemerintah membubarkan LSF bisa dijadikan pelajaran bersama atas peran media selama ini. Adalah hak seluruh warga untuk mendapatkan pendidikan yang baik dari media. Namun hak ini hanyalah sesumbar hambar jika seluruh aparatus bangsa ini, termasuk pelaku media, tidak menjadikan media sebagai lingkar pendidikan keempat.</span></p><p><br /></p>Sumber = http://pelajar-islam.or.id/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=71AKU TUhttp://www.blogger.com/profile/00759864107426711727noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6154702354553023926.post-42273211318078387242008-05-24T16:19:00.001+07:002008-05-24T16:22:54.643+07:00<div class="itemhead"><div style="text-align: center;"> </div><h3 style="text-align: center;"><a href="http://prayudi.wordpress.com/2007/10/16/pendidikan-holistik-berbudaya-nusantara/" rel="bookmark" title="Pendidikan Holistik Berbudaya Nusantara">Pendidikan Holistik Berbudaya Nusantar</a></h3>oleh :<br />NAMA : HERU KRISTIANTO<br />NIM : 1102406050<br /><br /><br /></div> <p align="center"><em>{Sebuah pengantar menarik dari penyelenggaraan simposium pendidikan yang diselenggarakan oleh National Integration Movement (NIM), sebuah pencerahan dibalik sekian banyak PR pendidikan nasional kita……}</em></p> <p align="justify">Ketika sebuah negara seperti Indonesia sedang terpuruk, hampir semua<br />sepakat untuk menyoroti Pendidikan sebagai salah satu biang keladi utama. Tapi, apakah semua sudah sepakat dan sepaham tentang apa itu Pendidikan? Apakah Pendidikan itu sama seperti ketrampilan atau keahlian di sebuah bidang tertentu? Apakah Pendidikan itu berarti paham pemikiran logika dan sistematis, yang hanya mengandalkan fungsi otak kiri saja? Apakah Pendidikan hanyalah sebuah sarana untuk mendapatkan Ijazah formal dan pekerjaan agar dapat membiayai diri sendiri (dan keluarga) untuk hidup layak?</p> <p>Di Indonesia, masalah pendidikan sudah sangat pelik. Dari kurangnya komitmen politik pemerintah untuk memenuhi anggaran pendidikan minimal 20% dari total anggaran pendapatan dan belanja negara sesuai amanat Undang-Undang Dasar sampai ditudingnya Departemen Pendidikan sebagai salah satu sarang utama korupsi. Dari mewah fasilitas sekolah dan mahalnya biaya pendidikan sampai begitu banyaknya bangunan sekolah yang hampir roboh dimakan usia atau korupsi. Dari pendidikan yang disisipi indoktrinasi pemahaman tertentu sampai pendidikan disamakan dengan sekedar transfer Ilmu Pengetahuan semata. Jadi apakah pendidikan itu? Sistem pendidikan seperti apakah yang cocok diterapkan di Indonesia ini?</p> <p><span style="text-decoration: underline;">Pendidikan bukanlah (hanya) transfer of knowledge</span><br />Ada sebuah penelitian di Amerika Serikat yang melaporkan bahwa, peran otak kiri, yang berkaitan dengan logika dan intelektual, pada keberhasilan seseorang dalam mencapai kesuksesan hanya 4%. Porsi terbesar untuk mencapai kesuksesan yakni 96% didominasi peran otak kanan yang berkaitan dengan kreativitas dan inovasi. </p> <p>Sayangnya, pola pendidikan yang dapat membantu perkembangan otak kanan kurang diperhatikan di Indonesia. Oleh karena itu, pengembangan emosi dan kepribadian yang dapat menuntun seseorang menjadi manusia arif dan bijaksana menjadi terlalaikan. Padahal, untuk bisa membangun suatu bangsa yang kuat diperlukan orang yang tidak hanya berintelektual tinggi, tetapi juga peka terhadap kondisi yang terjadi. Selain itu, bangsa Indonesia pun memerlukan orang yang punya kebijaksanaan tinggi untuk dapat menghadapi segala persoalan dengan tepat. Keseimbangan antara fungsi otak kiri dan otak kanan sangat ditentukan oleh pola pendidikan jenis apakah yang diterima seorang murid.</p> <p>Tapi pola pendidikan ideal seperti ini sangat langka di Indonesia yang cenderung lebih mengarah pada transfer of knowledge daripada pendidikan dalam arti membimbing seorang anak didik menjadi manusia yang mengenal dirinya sendiri tapi peka terhadap apa yang terjadi dengan lingkungan sekitar dirinya. </p> <p><span style="text-decoration: underline;">Pendidikan bukanlah Indoktrinisasi Pemahaman</span><br />Di Indonesia banyak sekali lembaga pendidikan yang didirikan oleh lembaga-lembaga agama dengan tujuan secara langsung maupun tidak langsung untuk menanamkan doktrin-doktrin agama dalam benak anak didik dari usia muda. Hal ini patut disesalkan karena dikhawatirkan kelak anak-anak tersebut tidak mampu mengapresiasi keberagaman yang diciptakan oleh Tuhan di dunia ini. Diperparah pula oleh timbulnya perda-perda syariat yang seakan melegalisir pemisahan bagi para siswa di sekolah. Dan, hasilnya adalah konflik antar agama, konflik<br />horisontal antar kelompok masyarakat hanya karena berbeda dengan dirinya. Perbedaan yang semestinya menjadi rahmat keberagaman bagi umat manusia, malah menjadi kutukan dan penyebab perang di antara umat manusia.</p> <p><span style="text-decoration: underline;">Pendidikan bukanlah hanya untuk orang kaya saja</span><br />Sekolah favorit selalu menjadi incaran orangtua murid untuk menyekolahkan anaknya di sana. Kenapa? Karena dengan bersekolah di sekolah favorit maka kemungkinan besar, sang murid akan mudah mendapatkan pekerjaan yang layak di masyarakat dan menjadi kaya. Jadi apakah kita berpendidikan hanya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak? Bila jawabannya tidak, tapi kenyataannya bahwa banyak sekolah-sekolah yang menawarkan fasilitas dan kelas ketrampilan tambahan menjadi sekolah-sekolah favorit walaupun bertarif sangat mahal. Dan, hanya orang-orang kaya saja yang mampu menyekolahkan anak-anaknya di sana karena banyak juga perusahaan yang hanya mau mempekerjakan para lulusan dari sekolah-sekolah favorit saja. Pola pikiran seperti ini hanya menimbulkan ekses-ekses bahwa hanya orang kaya saja yang mampu mendapatkan pendidikan. Jelas ini bertentangan dengan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, sila ke-2 dari Pancasila.</p> <p><span style="text-decoration: underline;">Program Televisi (TV) yang tidak mendidik</span><br />Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006, menyatakan bahwa penduduk Indonesia yang berumur lebih dari 10 tahun menonton televisi adalah sebanyak 85.86%, dibandingkan 40.26% yang mendengarkan radio dan 23.46% yang membaca surat kabar. TV telah menjadi salah satu media yang paling mudah memberikan informasi kepada masyarakat dan mendidik masyarakat.</p> <p>Celakanya, program-program TV negara ini dipenuhi hal-hal berbau klenik, perdukunan, kekerasan, budaya instan, pola hidup konsumtif, dll. Sehingga tidak mengherankan bila masyarakat kita mudah sekali ditipu oleh sms-sms berhadiah karena ingin cepat kaya (budaya instan), oleh iklan-iklan yang menimbulkan keinginan berbelanja barang-barang yang tidak diperlukan (konsumtif), bertikai dengan kekerasan karena berbeda, dan mudah dibodohkan oleh cerita-cerita gaib ilmu perdukunan.</p> <p><span style="text-decoration: underline;">Solusi : Pendidikan Holistik berbasis budaya Nusantara</span><br />Pendidikan holistik adalah pendidikan yang bertujuan memberi kebebasan anak didik untuk mengembangkan diri tidak saja secara intelektual, tapi juga memfasilitasi perkembangan jiwa dan raga secara keseluruhan sehingga tercipta manusia Indonesia yang berkarakter kuat yang mampu mengangkat harkat bangsa. Mewujudkan manusia merdeka seperti ungkapan Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional, "Manusia merdeka yaitu manusia yang hidupnya lahir atau batin tidak tergantung kepada orang lain, akan tetapi bersandar atas kekuatan sendiri."</p> <p>Bila sekarang Pendidikan Barat memperkenalkan istilah PQ, IQ, EQ, SQ, tapi Budaya Nusantara mengenal istilah Sembah Raga, Sembah Rasa dan Sembah Cipta dari karya agung Kitab Wedhatama karya KGPA Mangkunegara IV sejak abad ke-19 </p> <p>Pendidikan yang baik akan menempa seorang siswa agar mampu hidup mandiri tanpa tergantung orang lain dan sebenarnya, negara Indonesia tidak perlu mengadopsi kurikulum pendidikan bangsa lain, yang belum tentu cocok diterapkan di Indonesia, tapi cukup mengembangkan sistem<br />pendidikan nasional yang mampu membentuk karakter manusia Indonesia seutuhnya. Salah satunya adalah Pelajaran Budi Pekerti seperti yang pernah diterapkan dalam kurikulum nasional oleh Bapak Ki Hajar Dewantara, pendiri Perguruan Taman Siswa. </p> <p>Prinsip dasar dalam pendidikan Taman Siswa yang sudah tidak asing di<br />telinga kita adalah:</p> <ol><li> <p align="justify">Ing Ngarso Sung Tulodo (di depan kita memberi contoh)</p> </li><li> <p align="justify">Ing Madya Mangun Karso (di tengah membangun prakarsa dan bekerja sama)</p> </li><li> <p align="justify">Tut Wuri Handayani (di belakang memberi daya-semangat dan<br />dorongan).</p> </li></ol> <p align="justify">Inilah pendidikan holistik berbasis budaya Nusantara yang perlu dikembalikan semangat dan kearifannya bagi pendidikan siswa-siswa, generasi penerus bangsa.</p>Sumber = http://prayudi.wordpress.com/2007/10/16/pendidikan-holistik-berbudaya-nusantara/AKU TUhttp://www.blogger.com/profile/00759864107426711727noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6154702354553023926.post-17504306158543134742008-05-22T19:46:00.001+07:002009-01-11T21:35:54.031+07:00Salah satu produk kemajuan teknologi adalah televisi. Media elektronik ini menjadi sarana bagi kita untuk dapat meneropong segala aktivitas yang terjadi di berbagai belahan dunia. Berkat teknologi ini, dunia nyaris dibuat tanpa sekat. Di samping sebagai penyampai informasi, televisi juga bisa berfungsi sebagai media pendidikan sekaligus mentransfer pembelajaran dalam rangka mencerdaskan anak bangsa. Lebih dari itu, televisi sebagai sarana hiburan dan lain-lain. Semula, TV selain hiburan dinilai bahwa siarannya kurang bermanfaat dalam dunia pendidikan, hal ini mengingat biaya operasionalnya yang cukup mahal, tetapi kemudian muncul pendapat yang berlawanan, yang menyatakan bahwa televisi sebagai media massa sangat bermanfaat dalam memajukan pendidikan suatu bangsa. Menurut Dr. Jack Lyle, televisi dengan gambar audio visualnya sangat membantu dalam mengembangkan daya kreasi kita, hal ini seperti diungkapkan oleh Walter Lippman beberapa tahun lalu, bahwa dalam pikiran kita ada semacam ilustrasi gambar dan gambar-gambar ini merupakan suatu yang penting dalam hubungannya dengan proses belajar, terutama sekali yang berkenaan dengan orang, tempat dan situasi yang tidak setiap orang pernah ketemu mengunjungi atau telah mempunyai pengalaman. <br /> Dari pendapat itu dalam perkembangannya membuktikan bahwa dengan sifat audio visual yang dimiliki oleh televisi, menjadikan televisi sangat pragmatis, sehingga mudah mempengaruhi penonton dalam hal: sikap, tingkah laku dan pola pikirnya, maka pantaslah kalau dalam waktu relatif singkat televisi telah menempati jajaran teratas candu elektronik dari jajaran media massa .Jadi, apabila kita tarik benang merah antara kebiasaan menonton televisi dan proses belajar pada diri anak-anak, sebenarnya televisi dapat pula berfungsi sebagai media pendidikan. Pesan-pesan edukatif baik dalam aspek kognitif, apektif, ataupun psikomotor bisa dikemas dalam bentuk program televisi. Secara lebih khusus televisi dapat dirancang/dimanfaatkan sebagai media pembelajaran. Pesan-pesan instruksional, seperti percobaan di laboratorium, field-trip, kegiatan baksos, keterampilan, teater, musik dan drama sekolah dan banyak lagi yang dapat diperlihatkan melalui tayangan televisi. Keuntungan lain, televisi bisa memberikan penekanan terhadap pesan-pesan khusus pada peserta didik, misalnya melalui teknik close-up, penggunaan grafis/animasi, sudut pengambilan gambar, teknik editing, serta trik-trik lainnya yang menimbulkan kesan tertentu pada sasaran sesuai dengan tujuan yang dikehendaki. <br />. Dalam teori Cultivasi, disebutkan bahwa anak-anak meniru apa yang dilihatnya, baik dalam keseharian maupun dalam media massa. Media lah yang telah membentuk sebagian dari kepribadian anak-anak. Jika media televisi secara gamblang menyajikan adegan-adegan visual dalam program untuk anak-anak, maka dari situlah pada mulanya anak-anak melakukan proses peniruan. Artinya, dengan kondisi seperti itu, maka sangatlah ideal jika televisi menjadikan dirinya sebagai salah satu media pembelajaran yang positif bagi anak-anak. Keuntungan lainnya adalah media televisi dapat menyajikan pesan/objek yang sebenarnya termasuk hasil dramatisir secara audio visual dan unsur gerak (live) dalam waktu bersamaan (broadcast). Pesan yang dihasilkan televisi dapat menyerupai benda/objek yang sebenarnya atau menimbulkan kesan lain. Oleh karena itu, media ini memiliki potensi besar dalam merubah sikap dan perilaku masyarakat, dengan kata lain acara-acara tersebut disertai dengan fakta dan ilustrasi yang menarik berupa gambar-gambar dan rekaman peristiwa yang sebenarnya, sehingga kita bisa membayangkan dan menikmati seolah-olah hal tersebut memang benar-benar kita alami. Hal ini akan mempercepat kerja otak kita untuk menerima beberapa hal baru tentang pengetahuan. Serta meningkatkan kemampuan kita dalam berimajinasi secara kreatif. Hal ini berarti bahwa audio visual dapat memberikan pengalaman-pengalaman yang baru sesuai dengan pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya, atau dapat memberikan pengalaman semu atau Simulated Experience. Namun perlu dicermati, terutama bagi orang tua dan guru sebagai pendidik dan pembimbing utama anak bahwa mereka lah yang memegang kendali untuk mengenalkan dan memilihkan program-program acara yang sesuai serta bermuatan ilmu pengetahuan pada mereka. Dampingi mereka ketika menonton acara tersebut. Hal ini akan membantu apabila terdapat beberapa hal yang tidak mereka mengerti untuk ditanyakan kepada kita. Secara psikologis, kedekatan kita (orangtua/guru) dapat terjalin dengan baik. Dari sini jelas, di saat nonton acara televisi, tugas orang tua adalah senantiasa mendampingi dan memberikan arahan kepada anak. Mereka harus menjelaskan dampak positif dan negatifnya, menjelaskan acara apa saja yang layak dan tidak layak ditonton. Apabila acara televisi tersebut berbenturan dengan waktu shalat, ngaji maupun waktu belajar maka, orang tua harus mengarahkan mereka agar melakukan kewajibannya dulu. <br /> Oleh sebab itu jika dalam keseharian orang tua tidak mampu memberi teladan kepada anak, maka mereka akan meniru dari apa yang mereka lihat di sekelilingnya, termasuk media televisi. Namun jika televisi tidak mampu memberikan teladan, di mana lagi anak-anak akan mencari tokoh panutannya? Pertanyaan seperti inilah yang akhirnya membuat kita harus segera memikirkan jalan keluarnya. <br />Agenda mendesak ke depan adalah menciptakan media televisi yang peduli terhadap anak, sehingga mereka terhindar dari kemungkinan buruk yang bakal terjadi. Salah satu cara menuju terciptanya televisi peduli anak adalah berjuang lewat undang-undang penyiaran. Yaitu memperjuangkan lewat undang-undang agar pemerintah membuat aturan yang harus ditaati oleh pihak televisi. Aturan tersebut di antaranya adalah pihak televisi harus menayangkan acara bermutu dan aman bagi anak. Pada tahun 1996 kelompok-kelompok masyarakat yang peduli terhadap isu-isu konsumen, acara untuk anak-anak yang ditayangkan televisi, mendorong pemerintah untuk membuat UU Penyiaran untuk menjadi pedoman praktis dan standar mata acara yang dapat diterima publik. Agenda selanjutnya adalah membuat acara televisi yang mendidik. Acara televisi yang mendidik ini harus memiliki beberapa syarat, yaitu isi pesannya baik audio maupun visualnya harus sesuai dengan selera anak-anak. Demikian pula waktu penayangannya hendaklah disajikan pada jam anak-anak, yaitu jam sebelum tidur (sore dan sebelum pukul 21.00). Agenda yang tak kalah pentingnya adalah menumbuhkan kesadaran kritis anak terhadap televisi, di mana yang berperan di sini adalah orang tua, guru maupun tokoh keagamaan. Pemerintah sebagai pembimbing masyarakat melakukan semacam media education yang bertujuan mendidik masyarakat agar menonton televisi secara kritis, benar dan profesional (Venus Khadiz, 1997) <br /> Beberapa agenda mendesak di atas memang harus segera dapat direalisir pada pihak terkait dan untuk menjawab tantangan tersebut, Lembaga Pendidikan Nasional I mendirikan Televisi Sekolah NASSA bertujuan untuk pendidikan yang bukan saja menayangkan acara-acara pendidikan untuk mereka akan tetapi diharapkan juga akan dapat melibatkan peranserta mereka sebagai subjek untuk dapat mengoperasikan semua instrumen pertelevisian sebagai materi pembelajaran dan dapat didistribusikan kepada komunitas khususnya dilingkungan NASSA dalam upaya membudayakan bahwa media televisi positip dapat merubah dan meningkatkan kemampuan pada domain cognitive, affective, psikomotorik termasuk kecerdasan spiritual anak dan positif dapat meningkatkan belajar secara optimal. Ini sangat penting demi melatih kedisiplinan mereka dalam beribadah dan belajar. Dengan begitu diharapkan, kelak kemudian hari mereka bisa menggapai cita-cita sebagai seorang intelektual yang handal, humanis dan bertaqwa kepada Sang Pencipta. <br /> Kami percaya bahwa agenda tersebut akan terwujud apabila semua pihak (pemerintah, pemilik media televisi, praktisi televisi, orang tua, guru dan masyarakat) turut berperanserta menyelesaikan masalah ini. Tidak ada kata terlambat untuk memulai, karena pepatah mengatakan, “Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.“ Ungkapan tersebut merefleksikan keoptimisan bagi kami, bahwa segalanya dapat terwujud, asal kita memiliki keinginan untuk memulainya, exploring better off.<br /><br />Sumber : Lembaga Pendidikan Nasional IAKU TUhttp://www.blogger.com/profile/00759864107426711727noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6154702354553023926.post-42444281012104370662008-05-19T16:52:00.001+07:002008-05-19T16:56:45.315+07:00TV Pendidikan dan Keprihatinan Siaran Televisi Sekarangoleh <br />Nama : Rafi Saleh Rumana<br />Nim : 1102406046<br /><br /><span class="a"></span><br /><p id="mulai">- Munculnya TV Pendidikan yang diprakarsai oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) patutlah disambut dengan baik di tengah keprihatinan masyarakat terhadap siaran televisi khususnya televisi swasta yang makin jauh dari unsur-unsur pendidikan. <i>Televisi Edukasi (TV E) </i>mengudara sejak Selasa tanggal 12 Oktober 2004, namun baru dapat diakses lewat parabola. Jadi pemirsanya pun masih relatif terbatas. Untuk Semarang dan Jawa Tengah bisa dinikmati melalui <i>TV Borobudur (TVB) </i>dan <i>Televisi Dian Nuswantoro (TV KU). </i>Memang langkah ini masih kecil dan belum akan dapat menjangkau publik sebanyak televisi komersial yang makin banyak. Namun sengaja kita mencatat dan memberikan dorongan karena begitu penting kehadiran televisi pendidikan.</p> <p>- Sebagaimana kita ketahui program-program siaran televisi swasta saat ini boleh dikatakan kurang mendukung pengembangan pendidikan. Dalam banyak hal justru bertolak belakang dengan upaya mencerdaskan masyarakat. TV swasta lebih banyak melansir acara-acara <i>infotaintment </i>sekitar kehidupan kawin cerai artis atau pun yang sekarang menyedot perhatian luas adalah tayangan misteri. Di sisi lain pemirsa dari kalangan muda lebih dibius oleh kontes-kontes seperti AFI dan KDI. Rating acara-acara seperti itu memang sangat tinggi serta menyedot iklan sangat banyak. Tetapi apakah cukup sampai di situ? Di mana letak tanggung jawab sosial dan idealisme lembaga penyiaran dalam mengembangkan pendidikan dan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.</p> <p>- Acara-acara <i>infotainment </i>dengan segal bentuknya itu boleh-boleh saja. Lembaga penyiaran telah menjelma sebuah lembaga bisnis dalam sebuah kancah industri yang makin kompetitif. Dalam hal itulah kita bisa memahami bila mereka berpikir keras membidik pasar dan merebut perhatian pemirsa. Tingkat persaingan pun makin tinggi, kendati lama-lama kita sering merasakan kejenuhan karena kurang ada kreativitas. Satu televisi sukses dengan satu acara seperti AFI, yang lain segera meniru. <i>Infotainment </i>yang berisi gosip pun laris seperti kacang goreng. Rasanya hampir semua senada dan seirama dalam arti memperebutkan pasar dan konsumen yang sama. Yang berbeda adalah <i>MetroTV </i>karena lebih banyak menyiarkan berita dan ulasannya.</p> <p>- Ada kesan acara-acara televisi swasta makin tak terkontrol. Tayangan yang berbau pornografi pun merebak. Anak-anak sekolah seperti tidak memperoleh perhatian, bahkan hanya dijejali oleh eksploitasi acara yang lebih banyak menjual mimpi daripada kehidupan yang senyatanya. Misalnya sinetron-sinetron yang hanya menawarkan kemewahan dengan latar belakang kehidupan orang kaya dan serba metropolitan. Di mana letak unsur pendidikannya? Padahal mestinya lembaga penyiaran termasuk pers tidak hanya menghibur, tetapi juga memberi informasi dan edukasi. Juga berperan sebagai lembaga kontrol sosial. Sayang acara-acara yang secara khusus menunjang pendidikan seperti tertelan arus pasar seperti sekarang.</p> <p>- Komisi Penyiaran baik yang ada di pusat maupun daerah hendaknya mulai melakukan kontrol dan menerapkan berbagai regulasi tanpa harus melakukan pengekangan kreativitas, apalagi sampai mengurangi kebebasan. Seharusnya materi siaran yang menyangkut pendidikan memperoleh porsi yang lebih besar. Bisa saja materi pendidikan dikemas dalam bentuk hiburan atau disebut <i>edutainment</i>. Sebaliknya program-program acara yang berselera rendah dan tidak mendidik dibatasi agar tidak kontraproduktif dari sisi pendidikan anak, terutama yang masih di SD, SMP, dan SMA. Syukur bila kesadaran itu muncul di kalangan lembaga penyiaran, khususnya televisi. Yakinlah apa pun bisa dikemas dengan baik agar tetap menarik perhatian.</p> <p>- Kemunculan televisi pendidikan, walaupun masih kecil perlu terus didukung agar makin meluas. Paling tidak bisa sebagai penyeimbang atau alternatif siaran-siaran televisi sekarang. Sebelum televisi-televisi swasta merombak paket-paket acaranya agar lebih mendidik dan pro pada pengembangan pendidikan termasuk akhlak dan moral. Janganlah didikotomikan, sesuatu yang edukatif pasti tidak disukai pasar. Kita menyadari betapa besar siaran televisi dalam memengaruhi opini maupun perilaku masyarakat. Jadi jangalah terus diumbar selera rendah dan hal-hal yang kurang mendidik hanya semata-mata demi kepentingan bisnis. Idealnya kepentingan bisnis tetap berjalan seiring dengan penerapan idealisme lain seperti muatan pendidikan.</p><p><br /></p><p>Sumber : <span class="a">www.suaramerdeka.com</span></p>AKU TUhttp://www.blogger.com/profile/00759864107426711727noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6154702354553023926.post-75670385624629362932008-05-19T15:30:00.001+07:002008-05-19T15:37:06.832+07:00<div class="contentheading" style="padding: 3px; font-weight: bold; text-align: center;"><span style="font-size:130%;">Belajar Kekerasan dari Televisi</span></div><strong class="bbcode bold"></strong><br /><span style="font-size:100%;">Oleh :<br />Nama : HERU KRISTIANTO<br />NIM : 1102406050<br /></span><br /> Menyaksikan tayangan <span class="searchhighlight">televisi</span> akhir-akhir ini sungguh membuat hati miris. Hampir sepanjang waktu kita harus melihat kekerasan demi kekerasan berseliweran di layar kaca. Belum pupus ingatan kita terhadap peristiwa penembakan di Universitas Virginia Tech, yang mengambil korban 31 orang tewas, muncul lagi peristiwa baru yang sayangnya menimpa Kota Medan tercinta. Hampir di semua saluran <span class="searchhighlight">televisi</span> peristiwa penyerangan kampus UISU menjadi headline. Tentu saja perasaan sedih, duka, geram, bercampur baur, melihat kampus yang selama ini begitu sejuk, tenteram dan damai, sekarang menjadi porak-poranda.<br /><br />Berjuta penonton menyaksikan maraknya kekerasan di <span class="searchhighlight">televisi</span>, yang makin meningkat akhir-akhir ini. Peristiwa demonstrasi yang berakhir dengan kerusuhan, perkelahian dan pemukulan antarmahasiswa, perusakan yang berakhir dengan pembakaran, dan lain sebagainya adalah menu yang selalu hadir lewat berbagai acara di <span class="searchhighlight">televisi</span>. Tayangan tersebut hadir lewat acara berita, sinetron, tayangan film baik buatan dalam dan luar negeri. Apakah kita perlu mengkhawatirkan hal ini? Atau sebaliknya, kita harap tenang-tenang saja, karena segala bentuk kekerasan tersebut tidak menimpa diri dan keluarga kita.<br /><br />Sepatutnya kita merasa khawatir, jika kita mengamati fenomena meningkatnya kekerasan dalam menyelesaikan masalah akhir-akhir ini. Adakah kita berpikir dan sadar bahwa masyarakat telah belajar kekerasan melalui <span class="searchhighlight">televisi</span>? Bagi sebagian orang tentu saja menganggap bahwa pendapat ini terlalu berlebihan. Namun bagi yang lain bahwa potensi <span class="searchhighlight">televisi</span> sebagai pengajar dalam hal kekerasan adalah mungkin, bahkan sangat mungkin sekali.<br /><br />Alasan pertama bahwa masyarakat telah belajar kekerasan dari <span class="searchhighlight">televisi</span> adalah kenyataannya masyarakat Indonesia termasuk kategori Views Society (Baksin, 2006) yang artinya suatu keadaan di mana kegiatan menonton lebih ditonjolkan dibandingkan kegiatan lainnya, misalnya membaca. Hal ini semakin dikuatkan dengan jumlah kepemilikan pesawat <span class="searchhighlight">televisi</span> di Indonesia yang dikumpulkan oleh <span class="searchhighlight">Pendidikan</span> Jurnalisme TV, UI pada tahun 2004, yaitu 30 juta buah <span class="searchhighlight">televisi</span> (Wirodono, 2005). Bayangkan saja jika tiap <span class="searchhighlight">televisi</span> memiliki penonton sedikitnya tiga orang, maka bisa dipastikan hampir 90 juta penduduk Indonesia mengonsumsi siaran <span class="searchhighlight">televisi</span>. Satu jumlah yang cukup besar, yang jika kita bandingkan dengan jumlah penduduk di satu negara Eropa, jumlah tersebut meliputi jumlah penduduk di lima negara.<br /><br />Alasan kedua, bahwa dari hasil pengkajian <span class="searchhighlight">televisi</span> menunjukkan tingkat penetrasi <span class="searchhighlight">televisi</span> yang jauh lebih besar dibandingkan dengan <span class="searchhighlight">media</span> lain. Data dari <span class="searchhighlight">Media</span> Index- Nielsen <span class="searchhighlight">Media</span> Research tahun 2004 menunjukkan bahwa <span class="searchhighlight">televisi</span> memiliki penetrasi 90,7%, radio 39%, suratkabar 29,8%, majalah 22,4, internet 8,8% dan menonton bioskop 15% (Wirodono, 2005). Hal ini berarti bahwa <span class="searchhighlight">media</span> <span class="searchhighlight">televisi</span> memberikan imbas yang luar biasa bagi kehidupan masayarakat.<br /><br />Kehadirannya yang massif langsung maupun tak langsung akan berpengaruh pada perilaku dan<br />pola pikir masyarakat.<br /><br />Alasan ketiga, <span class="searchhighlight">media</span> massa secara pasti akan memengaruhi pemikiran dan tindakan khalayak<br />penontonnya, bahkan budaya, sosial dan politik dipengaruhi oleh <span class="searchhighlight">media</span> (Ardianto dan Ardinaya, 2007). Berdasarkan pendapat ini kita bisa menyatakan jika masyarakat menjadi keras, dan akhirnya menyelesaikan masalahnya dengan cara kekerasan pula akibat pengaruh dari <span class="searchhighlight">media</span> (dalam hal ini <span class="searchhighlight">televisi</span>). Pengamatan penulis menunjukkan bahwa hampir secara terus menerus <span class="searchhighlight">televisi</span> menayangkan acara dengan muatan kekerasan, sehingga masyarakat memperoleh satu pembelajaran yang pasti bahwa untuk menyelesaikan masalah, jalan yang harus mereka tempuh adalah melalui kekerasan.<br /><br />Secara ilmiah masih banyak lagi alasan yang menguatkan bahwa <span class="searchhighlight">televisi</span> dapat memengaruhi pemikiran dan tindakan khalayak penontonnya. Lantas apa yang harus dilakukan guna mengatasi hal ini? Berdiam diri dan berpangku tangan adalah perbuatan yang tidak bijaksana. Kita harus bertindak untuk mengatasi masalah ini. Beberapa strategi menangani dampak kekerasan di <span class="searchhighlight">televisi</span> akan penulis uraikan, dengan melibatkan berbagai stakeholder.<br /><br /><span class="searchhighlight">Televisi</span> adalah <span class="searchhighlight">media</span> penyiaran, di mana dalam melakukan operasonalisasi kerjanya terkait dengan berbagai pihak. <span class="searchhighlight">Media</span> penyiaran <span class="searchhighlight">televisi</span> yang baik perlu kita wujudkan, hal ini menuntut adanya goodwill dari berbagai pihak. Pertama adalah pemerintah, selaku pemimpin dan penyelenggara negara. pemerintah berfungsi sebagai pengatur agar roda aktivitas <span class="searchhighlight">televisi</span> dapat berjalan sesuai dengan visi dan misi yang diemban. Pemerintah melalui KPI (komisi penyiaran Indonesia) bertindak sebagai polisi yang mengatur dan mengawasi materi siaran <span class="searchhighlight">televisi</span>. Jika KPI melihat ada hal yang perlu diperbaiki, maka KPI berhak untuk memberikan teguran kepada pihak pengelola <span class="searchhighlight">televisi</span> agar memperbaiki materi siarannya. Hal ini pernah terjadi di salah satu stasiun <span class="searchhighlight">televisi</span> yang menayangkan smackdown, tayangan ini telah mengambil korban jiwa anak, sehingga atas desakan masyarakat dan KPI, tayangan ini dihentikan. Fungsi pemerintah sebagai pengawas dan pengatur dalam penyiaran <span class="searchhighlight">televisi</span>, masih perlu ditingkatkan lagi. Masih banyak materi acara <span class="searchhighlight">televisi</span> yang perlu mendapat perhatian di antaranya muatan mistik, pornografi, kemewahan berlebihan, yang tidak mendidik masyarakat dan masih mendominasi hingga kini.<br /><br />Pihak penyelenggara <span class="searchhighlight">televisi</span> adalah pihak kedua yang turut berperan dalam membangun siaran <span class="searchhighlight">televisi</span> yang mendidik. Penyelenggara <span class="searchhighlight">televisi</span> (pemilik, pekerja, pihak production house, aktor dan aktris) harus memiliki kesadaran yang penuh dan berkomitmen untuk menyelenggarakan siaran yang bermutu dan mendidik. Masalahnya, komitmen ini belum terwujud, karena <span class="searchhighlight">televisi</span> yang masih berorientasi pada bisnis (keuntungan). Dengan asas ini pihak penyelenggara <span class="searchhighlight">televisi</span> lebih mementingkan tayangan yang digemari dan punya rating tinggi, walaupun pada kenyataannya tayangan tersebut miskin dengan nilai-nilai yang mendidik.<br /><br />Pihak masyarakat adalah pihak ketiga dan yang turut berperan. Menurut pandangan penulis, pihak inilah yang paling mungkin untuk meniadakan kekerasan dalam tayangan <span class="searchhighlight">televisi</span>. Masyarakat harus bertindak kritis dalam menonton, dengan kata lain masyarakat perlu mendapat informasi mengenai dampak positif dan dampak negatif dari <span class="searchhighlight">televisi</span>. Jika mereka memiliki pengetahuan ini, diharapkan masyarakat dapat bersikap bijak dalam menghadapi <span class="searchhighlight">televisi</span>. Contoh sederhana adalah dengan melakukan "diet <span class="searchhighlight">televisi</span>". Artinya masyarakat diminta untuk membatasi waktu menonton, dengan cara memilah-milah mana tayangan yang perlu dan mana yang tidak. Dari sepuluh tayangan infotainment, kita akan memilih dua saja, karena semua acara infotaintment menyajikan menu yang sama. Kita tidak perlu menyaksikan sepuluh acara tersebut, cukup dua saja sebagai perwakilan.<br /><br />Selama ini masyarakat mungkin menganggap bahwa kehadiran <span class="searchhighlight">media</span> <span class="searchhighlight">televisi</span> adalah baik. Mereka kurang memahami bahwa <span class="searchhighlight">televisi</span> hadir dengan seperangkat nilai yang ditawarkannya. Apabila kita tidak kritis dan menyadarinya, secara perlahan seperangkat nilai tersebut akan memengaruhi pikiran dan tindakannya. Oleh sebab itu masyarakat harus cerdas dalam menghadapi <span class="searchhighlight">televisi</span>. Dan mari kita singkirkan kekerasan dalam menjalani kehidupan.<br /><br /><br />Sumber = http://www.harian-global.com/comment.php?comment.news.25326AKU TUhttp://www.blogger.com/profile/00759864107426711727noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6154702354553023926.post-30499667640331326042008-05-17T10:20:00.000+07:002008-05-17T10:24:06.874+07:00<div style="text-align: center;"><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;"> Televisi sebagai Media Pendidikan<br /><br /></span></span><div style="text-align: left;"><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;"><span style="font-size:100%;"><br />oleh :<br /><span style="font-weight: bold;">Nama : HERU KRISTIANTO<br />NIM : 1102406050<br /></span></span></span></span></div><div style="text-align: left;"><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;"></span></span><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;"></span></span></div></div><br />Sebagai salah satu media massa, televisi setiap waktunya terus mengalami perkembangan. Yang dulunya hanya hitam-putih kini merambah ke warna yang bervariasi, yang dulunya hanya beberapa chanel saja yang bisa diakses kini beribu chanel bisa dipelototi dan tonton setiap waktu. Sehingga tidak heran bila televisi dijadikan Dewa nomor satu sebagai media penyampai berita dan informasi, setelah koran, radio dan internet tentunya.<br />Di ranah Indonesia, sejarah pertelevisian pertamakali dimulai saat Pemerintah memutuskan untuk memasukkan proyek media massa televisi ke dalam proyek Asian Games, yang sebelumnya telah dilakukan penelitian yang mendalam tentang manfaat dan fungsi dari televisi. Berdasarkan surat keputusan Menteri Penerangan No.20/E/M/1961, dibentukklah Panitia Persiapam Pembangunan Televisi di Indonesia, kemudian berdasarkan surat keputusan Presiden No. 215/ 1963, didirikanlah Yayasan Televisi Repuplik Indonesia, yang berlaku sejak tanggal 20 oktober 1963.<br />Dengan kondisi yang terbatas lahirlah televisi siaran pertama di tanah air Indonesia. Walupun pada awalnya hanya mempunyai jangkauan siar yang terbatas serta jumlah pesawat penerima yang terbatas pula. Meskipun agak lamban, perkembangan terus berjalan seiirng dengan terus berputarnya roda waktu yang silih berganti, sekarang hampir semua daerah tingkat I da II telah mempunyai stasiun TVRI dan bahkan ada stasiun produksi keliling<br />Menurut Darwanto dalam buku ini, salah satu alasaan kenapa televisi bisa dijadikan sebagai pendidikan adalah karena televisi mempunyai karakteristik tersendiri yang tidak bisa dimiliki oleh media massa lainnya. Karakteristik audio visual yang lebih dirasakan perannya dalam mempengaruhi khalayak, sehingga dapat dimanfaatkan oleh negara dalam menyukseskan pembangunan negara dalam bidang pendidikan melalui program televisi sebagai sarana pendukung<br />Semula dinilai bahwa televisi siaran kurang bermanfaat dalam dunia pendidikan, hal ini mengingat biaya operasionalnya yang cukup mahal, tetapi kemudian muncul pendapat yang berlawanan, yang menyatakan bahwa televisi sebagai media massa sangat bermanfaat dalam memajukan pendidikan suatu bangsa. Dari pendapat itu dalam perkembangannya membuktikan bahwa dengan sifat audio visual yang dimiliki oleh televisi, menjadikan televisi sangat pragmatis, sehingga mudah mempengaruhi penonton dalam hal: sikap, tingkah laku dan pola pikirnya, maka tidak pantaslah kalau dalam waktu relatif singkat televisi telah menempati jajaran teratas dari jajaran media massa .<br />Menurut Dr. Jack Lyle, televisi dengan gambar audio visualnya sangat membantu dalam mengembangkan daya kreasi kita, hal ini seperti diungkapkan oleh Walter Lippman beberapa tahun lalu, bahwa dalam pikiran kita ada semacam ilustrasi gambar dan gambar-gambar ini merupakan suatu yang penting dalam hubungannya dengan proses belajar, terutama sekali yang berkenaan dengan orang, tempat dan situasi yang tidak setiap orang pernah ketemu mengunjungi atau telah mempunyai pengalaman.<br />Dari sedikit pendapat Lyle serta Lippman di atas, jelas sekali televisi bisa memberikan apresiasi kepada khalayak penonton. Sebagai media audio-visual penyajian acaranya lebih menekankan kepada bahasa audio visual, meskipun tidak menutup kemungkinan mengabaikan masalah yang bersifat auditif, walaupun yang bersifat auditif hanya sebagai kelengkapan penjelasan bagi hal-hal yang belum atau tidak tampak pada gambar.<br />Hal itu menyebabkan apabila seseorang melihat susunan gambar di layar televisi, merasakan ada nuansa yang baru, yang menyebabkan penonton tadi hampir tidak mampu membedakan mana yang pernah dilihat, atau dengan kata lain, penonton tadi hampir tak dapat membedakan pengalaman yang telah dimiliki. Hal ini berarti bahwa audio visual dapat memberikan pengalaman-pengalaman yang baru sesuai dengan pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya, atau dapat memberikan pengalaman semu atau Simulated Experience.<br />Walaupun begitu, segala sesuatu pasti mempunyai titik lemah dan sisi negatifnya. Menurut peresensi begitu pula yang terjadi pada televisi. Telvisi tak jarang membuat orang melakukan tindakan yang abnormal yang asusila seperti yang menimpa anak SD kemarin karena gara-gara menyaksikan tayangan Smackdown yang ditayangkan oleh salah satu stasiun swasta negeri seribu banjir ini.<br />Kelemahan lain dari media massa televisi adalah sifat komunikasinya yang hanya satu arah, sehingga khalayak penonton menjadi pasif, artinya penonton tak bisa memberikan tanggapan-tanggapann secara langsung. Karena itu tak mengherankan kalau ada beberapa pendapat yang mengatakan, televisi sebagai media massa yang mendorong orang untuk bermalas-malasan. Bahkan cenderung berpengaruh negatif terhadap tingkah laku dan sikap seseorang.<br />Sebagai penulis buku yang berjudul Televisi sebagai Media Pendidikan ini, Darwanto, menurut Presensi cukup berhasil mengetengahkan hasil penelitiannya yang walaupun sudah agak lama, tapi tetap bisa untuk bisa diikuti oleh pembaca yang lebih umum lagi luas, yang asalnya hanya bisa diakses oleh rekan-rekannya sesama akademis di salah satu unversitas negeri ini.<br />Dari tampilan luar serta pembahasan-pembahasannya yang ditengahkan Darwanto dalam hal ini menuai sukses yang cukup berarti sehingga sudah cukup layak untuk dijadikan bahan referensi bagi akdemis komunal maupun individu sebagai bahan rujukan selanjutynya.<br />Namun tak ada gading yang tak retak, begitu juga yang bisa ditemui dalam buku ini, setelah membaca isi buku ini sepertinya judul buku, sebagaimana yang telah tertera di atas kurang cocok, karena dari sekian halaman buku yang lumayan tebal ini hanya berapa halaman saja yang berisi televisi sebagai media Pendidikan, yang cukup mendapat porsi dari buku adalah sepertinya ke masalah teknis dunia pertelevisian, seperti misalnya, penayangan, artis, serta produser yang kerja dalam satu tim di dalamnya.<br />Selain itu penulis terkesan memaksakan pendapat kepada pembaca berupa konsep yang telah penulis masukkan pada judul buku ini yakni, bahwa Televisi sebagai media Pendidikan sehingga Penulis terkesan menggurui pembaca. Walaupun begitu sebagai Buku, tetap layak untuk dijadikan bahan perenungan sekaligus bahan ajar bersama ke depan khusunya pada dunia pendidikan di Indonesia.<br /><br />sumber = http://kusairi.blogspot.com/2007/08/televisi-dan-media-pendidikan.htmlAKU TUhttp://www.blogger.com/profile/00759864107426711727noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6154702354553023926.post-84772475023999654922008-05-17T10:10:00.003+07:002009-01-11T21:40:51.528+07:00menyebutkan bahwa hanya 15% acara televisi (TV) yang aman ditonton anak-anak, dan 85% lainnya merusak anak. Lalu, bloger itu menjuluki TV sebagai “guru privat yang jahat” bagi anak. Perilaku amoral, seks bebas di kalangan remaja, tindak kekerasan, dan lain-lain dituduh sebagai hasil pelajaran guru jahat bernama TV itu. Ya, dalam beberapa hal saya sependapat dengan tulisan itu. Saya tak akan menambah daftar dampak negatif kehadiran guru jahat tersebut. Biar imbang, kali ini saya bicara netral tentang si kotak ajaib itu. Semua teknologi (termasuk TV), ibarat pisau bermata dua. Teknologi, selain (diharapkan) membawa manfaat, namun sering juga mendatangkan kemudaratan. Namun, rasanya kita tak mungkin menghindar dari kehadiran teknologi. Di jaman batu dulu, orang menolak hadirnya produk teknologi berupa pisau. Pisau dianggap barang berbahaya yang bisa membunuh orang. Tapi sekarang, siapa orang yang tak menyimpan pisau di dapur. Jadi, yang perlu dipikirkan adalah bagaimana mengendalikan dan memanfaatkan teknologi untuk kemaslahatan umat. Bukan menolaknya. Kedengarannya klise, tapi ya begitulah seharusnya.Kembali ke persoalan peran media TV. Tak bisa dipungkiri, dewasa ini media telah menjadi bagian penting dalam kehidupan kita. Media telah mempengaruhi hampir sepanjang waktu hidup seseorang. Bahkan seorang insinyur ternama Amerika Serikat, B. Fuller mengatakan bahwa media telah menjadi “orang tua ketiga” bagi anak (guru adalah orang tua kedua). Sayangnya, si orang tua ketiga ini tak selalu bisa mendidik anak-anak kita. Memang, banyak tayangan televisi yang tak mendidik bagi anak, sebagaimana ditulis di atas. Orang tua semakin sulit memilih acara TV yang pantas ditonton anaknya. Bagi stasiun TV, barangkali karena alasan bisnis (tuntutan pasar) maka stasiun TV itu sulit menayangkan acara yang edukatif. Membuat acara TV yang mendidik memang tak mudah, dan mungkin lebih mahal. Kalaupun ada, belum tentu menarik atau laku dijual, lalu tak ada sponsor yang mau mbayar biaya tayangnya. Lebih enak membuat dan menyiarkan program hiburan yang laku sponsor, meskipun terpaksa mengabaikan nilai edukatifnya. Itulah kondisinya. Ibarat minuman, media edukatif itu seperti jamu. Jamu, dianggap penting dan perlu (oleh orang tua), tapi tak enak rasanya (bagi anak). Sedangkan media hiburan, itu ibarat cocacola. Enak rasanya, meskipun dianggap tak penting. Kalo anak diminta memilih bebas, ya sudah pasti akan pilih minum cocacola dibanding jamu (heehee orang tua juga). Jadi, yang harus kita upayakan adalah, bagaimana kita bisa membuat jamu rasa cocacola. Bagaimana membuat program TV yang mendidik sekaligus menghibur anak. Bagaimana membuat anak merasa sedang nonton hiburan, padahal ia sedang belajar melalui TV. Jika kita bisa membuat program TV semacam itu, maka tuduhan negatif terhadap media TV akan berkurang. Jangan salahkan media TV jika kita tak dapat membuat program yang mendidik dan menghibur. Departemen Pendidikan Nasional telah membangun stasiun televisi bernama Televisi Edukasi (TVE), yang khusus menayangkan program-program pendidikan. Secara konten, tayangan TVE sudah tentu bersifat edukatif. Pertanyaanya adalah apakah program-program TVE sudah menghibur sehingga anak-anak tertarik menontonya? Nah itu masalahnya. Memang tak mudah membuat program TV yang bisa jadi tuntunan sekaligus tontonan bagi anak. Itulah yang sekarang yang terus diupayakan oleh Pustekkom Depdiknas. Ini pekerjaan tak mudah. Perlu bantuan, dukungan dan partisipasi banyak pihak. Para ahli konten, ahli media, ahli pendidikan, dan orang tua, perlu peduli dan ambil peran. Jika tidak, maka jangan salahkan jika media televisi akan makin menjelma menjadi orang tua yang jahat bagi anak-anak kita.<br />Sumber = http://aristorahadi.wordpress.com/2008/04/08/televisi-guru-yang-jahat/AKU TUhttp://www.blogger.com/profile/00759864107426711727noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6154702354553023926.post-6468904362213275502008-05-17T10:10:00.002+07:002009-01-11T21:40:29.323+07:00menyebutkan bahwa hanya 15% acara televisi (TV) yang aman ditonton anak-anak, dan 85% lainnya merusak anak. Lalu, bloger itu menjuluki TV sebagai “guru privat yang jahat” bagi anak. Perilaku amoral, seks bebas di kalangan remaja, tindak kekerasan, dan lain-lain dituduh sebagai hasil pelajaran guru jahat bernama TV itu. Ya, dalam beberapa hal saya sependapat dengan tulisan itu. Saya tak akan menambah daftar dampak negatif kehadiran guru jahat tersebut. Biar imbang, kali ini saya bicara netral tentang si kotak ajaib itu. Semua teknologi (termasuk TV), ibarat pisau bermata dua. Teknologi, selain (diharapkan) membawa manfaat, namun sering juga mendatangkan kemudaratan. Namun, rasanya kita tak mungkin menghindar dari kehadiran teknologi. Di jaman batu dulu, orang menolak hadirnya produk teknologi berupa pisau. Pisau dianggap barang berbahaya yang bisa membunuh orang. Tapi sekarang, siapa orang yang tak menyimpan pisau di dapur. Jadi, yang perlu dipikirkan adalah bagaimana mengendalikan dan memanfaatkan teknologi untuk kemaslahatan umat. Bukan menolaknya. Kedengarannya klise, tapi ya begitulah seharusnya.Kembali ke persoalan peran media TV. Tak bisa dipungkiri, dewasa ini media telah menjadi bagian penting dalam kehidupan kita. Media telah mempengaruhi hampir sepanjang waktu hidup seseorang. Bahkan seorang insinyur ternama Amerika Serikat, B. Fuller mengatakan bahwa media telah menjadi “orang tua ketiga” bagi anak (guru adalah orang tua kedua). Sayangnya, si orang tua ketiga ini tak selalu bisa mendidik anak-anak kita. Memang, banyak tayangan televisi yang tak mendidik bagi anak, sebagaimana ditulis di atas. Orang tua semakin sulit memilih acara TV yang pantas ditonton anaknya. Bagi stasiun TV, barangkali karena alasan bisnis (tuntutan pasar) maka stasiun TV itu sulit menayangkan acara yang edukatif. Membuat acara TV yang mendidik memang tak mudah, dan mungkin lebih mahal. Kalaupun ada, belum tentu menarik atau laku dijual, lalu tak ada sponsor yang mau mbayar biaya tayangnya. Lebih enak membuat dan menyiarkan program hiburan yang laku sponsor, meskipun terpaksa mengabaikan nilai edukatifnya. Itulah kondisinya. Ibarat minuman, media edukatif itu seperti jamu. Jamu, dianggap penting dan perlu (oleh orang tua), tapi tak enak rasanya (bagi anak). Sedangkan media hiburan, itu ibarat cocacola. Enak rasanya, meskipun dianggap tak penting. Kalo anak diminta memilih bebas, ya sudah pasti akan pilih minum cocacola dibanding jamu (heehee orang tua juga). Jadi, yang harus kita upayakan adalah, bagaimana kita bisa membuat jamu rasa cocacola. Bagaimana membuat program TV yang mendidik sekaligus menghibur anak. Bagaimana membuat anak merasa sedang nonton hiburan, padahal ia sedang belajar melalui TV. Jika kita bisa membuat program TV semacam itu, maka tuduhan negatif terhadap media TV akan berkurang. Jangan salahkan media TV jika kita tak dapat membuat program yang mendidik dan menghibur. Departemen Pendidikan Nasional telah membangun stasiun televisi bernama Televisi Edukasi (TVE), yang khusus menayangkan program-program pendidikan. Secara konten, tayangan TVE sudah tentu bersifat edukatif. Pertanyaanya adalah apakah program-program TVE sudah menghibur sehingga anak-anak tertarik menontonya? Nah itu masalahnya. Memang tak mudah membuat program TV yang bisa jadi tuntunan sekaligus tontonan bagi anak. Itulah yang sekarang yang terus diupayakan oleh Pustekkom Depdiknas. Ini pekerjaan tak mudah. Perlu bantuan, dukungan dan partisipasi banyak pihak. Para ahli konten, ahli media, ahli pendidikan, dan orang tua, perlu peduli dan ambil peran. Jika tidak, maka jangan salahkan jika media televisi akan makin menjelma menjadi orang tua yang jahat bagi anak-anak kita. Anda peduli ?AKU TUhttp://www.blogger.com/profile/00759864107426711727noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6154702354553023926.post-53546927620171239242008-05-15T08:17:00.001+07:002009-01-11T21:41:55.285+07:00televisi sebagai media pendidikanDi ranah Indonesia, sejarah pertelevisian pertama kali dimulai saat Pemerintah memutuskan untuk memasukkan proyek media massa televisi ke dalam proyek Asian Games, yang sebelumnya telah dilakukan penelitian yang mendalam tentang manfaat dan fungsi dari televisi. Berdasarkan surat keputusan Menteri Penerangan No 20/E/M/1961, dibentuklah Panitia Persiapam Pembangunan Televisi di Indonesia, kemudian berdasarkan surat keputusan Presiden No 215/ 1963, didirikanlah Yayasan Televisi Republik Indonesia, yang berlaku sejak tanggal 20 Oktober 1963.<br /><br />Dengan kondisi yang terbatas lahirlah televisi siaran pertama di Indonesia. Walaupun pada awalnya hanya mempunyai jangkauan siar yang terbatas serta jumlah pesawat<br />penerima yang terbatas pula. Meskipun agak lamban, perkembangan terus berjalan seiring dengan terus berputarnya roda waktu yang silih berganti, sekarang hampir<br />semua daerah tingkat I dan II telah mempunyai stasiun TVRI dan bahkan ada stasiun produksi keliling.<br /><br />Menurut Darwanto dalam buku ini, salah satu alasaan kenapa televisi bisa dijadikan sebagai pendidikan adalah karena televisi mempunyai karakteristik tersendiri yang tidak bisa dimiliki oleh media massa lainnya. Karakteristik audio visual yang lebih dirasakan perannya dalam mempengaruhi khalayak, sehingga dapat dimanfaatkan oleh negara dalam menyukseskan pembangunan negara dalam bidang pendidikan melalui program televisi sebagai sarana pendukung<br /><br />Semula dinilai bahwa televisi siaran kurang bermanfaat dalam dunia pendidikan, hal ini mengingat biaya operasionalnya yang cukup mahal, tetapi kemudian muncul pendapat yang berlawanan, yang menyatakan bahwa televisi sebagai media massa sangat bermanfaat dalam memajukan pendidikan suatu bangsa. Dari pendapat itu dalam perkembangannya membuktikan bahwa dengan sifat audio visual yang dimiliki oleh televisi, menjadikan televisi sangat pragmatis, sehingga mudah mempengaruhi penonton dalam hal sikap, tingkah laku dan pola pikirnya, maka tidak pantaslah kalau dalam waktu relatif singkat televisi telah menempati jajaran teratas dari jajaran media massa.<br /><br />Menurut Dr , televisi dengan gambar audio visualnya sangat membantu dalam mengembangkan daya kreasi kita, hal ini seperti diungkapkan oleh bahwa dalam pikiran kita ada semacam ilustrasi gambar dan gambar-gambar ini merupakan suatu yang penting dalam hubungannya dengan proses belajar, terutama sekali yang berkenaan dengan orang, tempat dan situasi yang tidak setiap orang pernah ketemu mengunjungi atau telah mempunyai pengalaman.<br /><br />Bahasa Audio Visual<br /><br />Dari sedikit pendapat Lyle serta Lippman di atas, jelas sekali televisi bisa memberikan apresiasi kepada khalayak penonton. Sebagai media audio-visual penyajian acaranya lebih menekankan kepada bahasa audio visual, meskipun tidak menutup kemungkinan mengabaikan masalah yang bersifat auditif, walaupun yang bersifat auditif hanya sebagai kelengkapan penjelasan bagi hal-hal yang belum atau tidak<br />tampak pada gambar.<br /><br />Hal itu menyebabkan apabila seseorang melihat susunan gambar di layar televisi, merasakan ada nuansa yang baru, audio visual dapat memberikan pengalaman-pengalam an yang baru sesuai dengan pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya, atau dapat memberikan pengalaman semu atau Simulated Experience.<br /><br />Walaupun begitu, segala sesuatu pasti mempunyai titik lemah dan sisi negatifnya. Menurut peresensi begitu pula yang terjadi pada televisi. Telvisi tak jarang membuat orang melakukan tindakan yang abnormal yang asusila seperti yang menimpa anak SD kemarin karena gara-gara menyaksikan tayangan Smackdown yang ditayangkan oleh salah satu stasiun swasta negeri seribu banjir ini.<br /><br />Kelemahan lain dari media massa televisi adalah sifat komunikasinya yang hanya satu arah, sehingga khalayak penonton menjadi pasif, artinya penonton tak bisa memberikan tanggapan-tanggapan secara langsung. Karena itu tak mengherankan kalau ada beberapa pendapat yang mengatakan, televisi sebagai media massa yang mendorong orang untuk bermalas-malasan. Bahkan cenderung berpengaruh negatif terhadap tingkah laku dan sikap seseorang.<br /><br />Sebagai penulis buku yang berjudul Televisi sebagai Media Pendidikan ini, Darwanto, cukup berhasil mengetengahkan hasil penelitiannya yang walaupun sudah agak lama, tapi tetap bisa untuk bisa diikuti oleh pembaca yang lebih umum lagi luas, yang asalnya hanya bisa diakses oleh rekan-rekannya sesama akademis di salah satu unversitas negeri ini.<br /><br />Sumber : http://mediacare.blogspot.com/2007/03/televisi-dan-media-pendidikan.htm/AKU TUhttp://www.blogger.com/profile/00759864107426711727noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6154702354553023926.post-60310828378565677692008-05-15T08:05:00.001+07:002009-01-11T21:46:25.730+07:00Dampak Media Televisi Pada Pendidikan di MasyarakatPernah ditulis dalam rubric opini koran kompas tentang budaya membaca, dimana dalam rubric tersebut penulis mengatakan di Amerika sekarang ini terjadi pergeseran dari budaya membaya menjadi budaya lisan. Orang lebih suka menonton acara TV dari pada membaca. Ini belum termasuk pengaruh dari internet. Tetapi setidaknya di Amerika pernah mengalami masa budaya membaca, dimana minat untuk membaca masyarakat disana sangat tinggi. Bagaimana dengan Indonesia?Belum lagi memasuki budaya membaca, Indonesia sudah dipaksa atau mungkin dengan sukarela beralih ke budaya lisan dan budaya visual. Hal ini dapat dilihat dari dominasi televisi di Indonesia dan rendahnya minat membaca masyarakat. Saat ini kebanyakan masyarakat di Indonesia menghabiskan waktu luang mereka untuk menonton acara televisi. Berbagai alasan mereka utarakan, ya untuk hiburan, daripada tidak ada kerjaan, dll. Hal ini menurut saya sangat mengkuatirkan. Bagaimana tidak, acara yang ditawarkan stasiun-stasiun di negara kita hampir tidak ada yang berkualitas. Acara berita dipenuhi dengan berita-berita kriminalitas. Acara hiburan didominasi oleh sinetron-sinetron yang sama sekali tidak berbobot. Belum ditambah lagi dengan acara infotaintment dan setumpuk acara-acara sampah lainnya. Dan itu ditawarkan oleh hampir semua stasiun dengan sampah. Acara iptek, pendidikan, dan acara lain yang memberikan informasi yang bermanfaat sangatlah minim atau bahkan tidak ada. Acara-acara yang cukup berkualitas rata-rata merupakan relay dari acara stasiun televisi di luar negeri, seperti CNN, National Geographic, dll.Bagaimana jika hal ini terus berlanjut? Kita lihat dampak media terhadap anak-anak yang merupakan generasi bangsa. Anak-anak sekarang ini mulai berkiblat pada kehidupan artis. Anak-anak sudah tidak lagi menonton acara anak-anak, tetapi sinetron, infotainment, berita kriminalitas, dll. Anak-anak tidak lagi mengenal lagu anak-anak. Dampak nyata yang terlihat dan sangat memprihatinkan adalah meningkatnya tingkat bunuh diri yang dilakukan oleh anak-anak. Darimana mereka mendapat ide dan informasi tentang bunuh diri? Dari sekolah? Dari lingkungan sekitar? Atau dari media? Atau darimana? Menurut saya media-lah yang menjadi sumber informasi dominan. “Bunuh diri merupakan puncak dari frustrasi. Pelaku merasa tidak ada solusi terhadap masalahnya, tidak ada harapan. Dalam kondisi tersebut hiburan yang didapat hanyalah berita-berita kriminalitas, maka terjadilah bunuh diri. Hal ini bukan semata kesalahan media, tapi satu hal yang pasti media memberikan andil yang sangat besar.Itu baru salah satu dampak negatif dari media televisi di negara kita padahal masih banyak dampak lainnya spt: menurunnya atau hilangnya minat membaca masyarakat.menurunnya atau hilangnya rasa malubanyaknya berita tentang korupsi dan penipuan, maupun tindakan criminal lainnya yang banyak dilakukan oleh pejabat membuat terjadinya degradasi rasa malu pada masyarakat, baik secara sadar mau tidak sadar. Masyarakat akan berpikir, “wong yang sudah kaya dan punya jabatan saja masih begitu kenapa saya yang hidupnya susah gak boleh begitu”. Seolah-olah korupsi itu bukan lagi hal memalukan. Contoh lainnya adalah Roy Suryo. Anda tentu mengenal Roy Suryo yang katanya pakar telematika. Atas dasar apa media mengatakan dia itu pakar telematika? Padahal sebenarnya dia hanya seorang yang tidak kompeten dan gak tau malu yang mencari popularitas. Tetapi apa yang dilakukan media? Media memblooming berita tentang dia. Media gak mau tau bahwa hal ini bisa berdampak buruk terhadap masyarakat, memberikan contoh figure yang gak tau malu. meningkatnya kriminalitas meningkatnya percerain masyarakat disuguhi dengan tayangan infotainment terus-menerus. Kehidupan artis jadi santapan setiap hari. Berita kawin cerai artis jadi makanan sehari-hari. Hal ini secara perlahan tapi pasti akan mempengaruhi kehidupan masyarakat pada umumnya. Hal ini terbukti dengan semakin meningkatnya perceraian di masyarakat. Masyarakat tidak lagi memiliki beban moral untuk bercerai. menciptakan masyarakat yang konsumtif menciptakan masyarakat pemalas karena setiap hari dihadapkan dengan iklan-iklan yang menggoda, ditambah lagi efek dari sinetron-sinetron yang hanya menceritakan kehidupan orang-orang kaya membuat masyarakat menjadi konsumtif.dan masih banyak lagiApakah ada dampak positifnya? Tentu aja ada, seperti mudah mendapatkan informasi, hiburan, dll. Tetapi permasalahannya adalah dampak positif yang diberikat tidak sebanding dengan dampak negatifnya.Mengapa demikian?Karena media di Indonesia menyuguhkan acara-acara yang tidak berkualitas. Media hanya mengejar keuntungan perusahaan semata. Tanggung jawab moral terhadap pendidikan di Indonesia masih sangat rendah. Kontrol dari pemerintah masih sangat kurang. Undang-undang yang gak jelas. Masyarakat juga terlalu mudah dimakan media. Minat belajar masyarakat juga masih rendah.Bagaimana media itu semestinya?Media semestinya mampu memberikan hiburan, informasi yang berkualitas dan bermanfaat. Media diharapkan dapat turut andil dalam peningkatan kualitas SDM di Indonesia. Media diharapkan dapat mengubah culture masyarakat menjadi lebih baik.Televisi amat berpengaruh terhadap semua kelompok masyarakat. Khusus dalam kehidupan keluarga, misalnya, televisi dapat merenggangkan hubungan antar anggota keluarga. Komunikasi yang biasa terjalin dengan baik dapat rusak karena perhatian mereka kini lebih terpusat pada acara-acara televisi. Kalau pun ada perbincangan, topiknya akan berada di seputar acara yang ditayangkan. Tidak jarang pula orang tua membelikan anaknya televisi untuk menggantikan peran pengasuhan. Mereka berpikir televisi dapat membuat anak-anak mereka tenang sehingga mereka tidak perlu lagi mendongeng bagi anak-anaknya karena televisi sudah menyediakan itu semua. Televisi juga dapat mengubah suatu tatanan yang baik menjadi tidak pada tempatnya. Gaya hidup yang seharusnya apa adanya kini berubah mengikuti gaya hidup yang ditawarkan melalui televisi. Sikap hidup pun berubah mengikuti sikap yang sering dilihat di televisi. Misalnya, memecahkan masalah dengan jalan pintas, balas dendam, bunuh diri, atau dengan obatan-obatan terlarang.Harus disadari bahwa kehadiran televisi bukan sekadar merupakan hiburan belaka. Informasi yang dihadirkannya juga mengondisikan pemirsa untuk menjadi konsumtif, materialistik, dan cenderung menyederhanakan masalah yang sebenarnya sulit sehingga memilih pemecahan tanpa pengorbanan dan usaha yang sungguh-sungguh.Daya tarik televisi yang begitu kuat dapat dilihat dari orang-orang yang sanggup berjam-jam duduk di depan televisi. Apa sajakah yang ditayangkan sehingga daya tariknya dapat membius para pemirsa?Berbagai informasi dan berita aktual dari seluruh dunia.Iklan-iklan yang ditampilkan begitu menarik dan evokatif.Hiburan-hiburan (”reality show”, lawak, sinetron, film, musik, dll.).Dokumenter dan pengetahuan umum.Perbincangan-perbincangan para pakar.Kebutuhan spiritual masyarakat berupa mimbar agama.TV, sarana belajar perilaku sosialBagaimanapun, TV merupakan salah satu media belajar bagi anak dan bisa memberi pengaruh positif terhadap tumbuh kembangnya. Yang penting, mencegahnya agar tak sampai kecanduan nonton TV. Ingatlah, anak usia ini sedang dalam tahap mengembangkan perilaku sosial. Ia harus mendapat banyak kesempatan bermain dengan teman-temannya. Karena itu, tegas Hera, jangan jadikan TV sebagai pengganti bentuk bermain. “Nonton TV itu, kan, cenderung pasif. Tak ada interaksi dua arah. Beda jika ia main dengan teman-temannya. Ia akan aktif, entah fisiknya, komunikasi, atau sosial. Jadi, ada timbal-balik, belajar saling memberi,” jelas Ketua Program Profesi pada Fakultas Psikologi UI ini.Selain itu, anak usia ini sedang kuat-kuatnya meniru, entah perilaku atau omongan. Apa yang ia dengar dan lihat, ia ucapkan dan lakukan tanpa ia mengerti. Sering, kan, kita melihat serta mendengar, betapa fasihnya (meski masih cadel) si kecil menirukan iklan atau nyanyian yang dilihatnya di teve? CUKUP 40-45 MENIT Untuk mengurangi dampak negatif teve, Hera menganjurkan, batasi waktu nonton TV, sekitar 40-45 menit bagi anak usia ini. Hera juga menyarankan, sebagaimana dianjurkan banyak pakar, dampingi anak saat nonton TV dan pilihkan program-program yang layak untuk ia tonton. “Anda tak bisa menjadikan TV sebagai baby-sitter jika Anda mau mendidik anak menjadi pemirsa yang kritis,” tukas Hera. Apa juga, TV hanyalah sebuah benda mati.AKU TUhttp://www.blogger.com/profile/00759864107426711727noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6154702354553023926.post-63124148896048075212008-05-13T19:56:00.001+07:002009-01-11T21:47:37.417+07:00Program Televisi Pendidikan Belum Sentuh DaerahProgram siaran pendidikan oleh Departemen Pendidikan Nasional untuk siswa kelas 3 sekolah menengah pertama belum menyentuh daerah. Menurut rencana, siaran tersebut dimulai 17 Juli 2006 melalui stasiun TVRI.<br /><br />Sejumlah kepala sekolah mengaku belum mengetahui adanya program tersebut. "Sejauh ini kami belum pernah mendapat sosialisasi tentang adanya program televisi pendidikan melalui TVRI itu. Memang kami pernah mendengar tentang rencana tersebut, tapi hanya melalui media massa,"<br />kata Gondo Haryono, Koordinator Musyawarah Kerja Kepala Sekolah se-Kabupaten Kediri kepada Tempo, Senin ini.<br /><br />Menurut Gondo Haryono, yang juga menjabat sebagai<br />Kepala Sekolah SMP Negeri I Grogol, Kediri, jika sasaran siaran untuk membantu siswa mengejar ketertinggalan agar mencapai standar nilai yang ditetapkan Badan Standar Nasional Pendidikan, sangat positif. "Kami akan<br />mendukung," ujarnya.<br /><br />Seperti diketahui, mulai ajaran baru tahun ini<br />Departemen Pendidikan Nasional menerapkan<br />program baru berupa siaran pendidikan di televisi<br />untuk anak kelas 3 SMP tiap hari Senin-Kamis di<br />TVRI. Siaran itu mulai pukul 07.00-09.30 dan diulang pukul 14.15-16.30 WIB.<br /><br />Materi yang disiarkan meliputi matematika, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris yang merupakan mata pelajaran ujian nasional.<br /><br />Menurut Dirjen Dikdasmen Suyanto, siaran pendidikan<br />melalui televisi merupakan konsekuensi pelaksanaan<br />ujian nasional yang ternyata masih ditemukan<br />disparitas mutu dan fasilitas antara kota besar dan<br />kota kecil. Ditargetkan, program ini diikuti 28.376 SMP negeri maupun swasta di 353 kabupaten.<br /><br />Untuk kelancaran program tersebut, pemerintah<br />memberikan subsidi dua buah televisi 30 inchi untuk<br />tiap SMP. Disiapkan juga anggaran senilai Rp 213, 690<br />miliar untuk penyiapan materi sekaligus pengadaan<br />sekitar 75 ribu TV.<br /><br />DWIDJO U. MAKSUM<br />Sumber : =www.tempointeraktif.com/hg/nusa/<wbr>jawamadura/2006/08/21/brk,20060821-82265,id.html - 50kAKU TUhttp://www.blogger.com/profile/00759864107426711727noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6154702354553023926.post-44463968623021561882008-05-13T10:41:00.001+07:002009-01-11T21:52:16.759+07:00televisi pendidikanRp300 Miliar untuk Program TV Edukasi <br /><br />JAKARTA--MIOL: Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) menyediakan Rp300 miliar untuk pengembangan program pendidikan melalui media televisi dan DVD. Ini bagian dari program yang dinamakan Televisi Edukasi. Program Televisi Edukasi, sudah dijalankan sejak 2004, tandas Kapustekkom Depdiknas Lilik Gani di Jakarta, Jumat (13/4). Untuk 2007 ini, melalui APBN sudah dialokasikan Rp300 milar. Semua dialokasikan untuk televisi, parabola, modul, DVD dan yang lainnya. Selain itu, tahum ini Depdiknas berencana menambah DVD guna membantu merekam siaran TV Edukasi yang saat itu siarannya tidak tertangkap parabola. Televisi Pendidikan adalah medium yang sangat bagus untuk membagi informasi dan bahan pendidikan kepada masyarakat secara luas. Teknologi terbaru termasuk komputer dan Internet sudah menjadi pilihan utama untuk teknologi pendidikan, dan ada beberapa orang yang kira televisi adalah teknologi lama. Tetapi, potensi Televisi Pendidikan untuk membawa pendidikan ke semua masyarakat di mana mereka duduk, belum begitu tercapai.<br /><br />sumber : Media Indonesia OnlineAKU TUhttp://www.blogger.com/profile/00759864107426711727noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6154702354553023926.post-10333978680676338462008-05-11T21:09:00.001+07:002009-01-11T21:52:04.517+07:00Menakar Efektivitas Program TV PendidikanRencana Depdiknas meluncurkan program televisi pendidikan mulai 17 Juli ini menarik dicermati. Program yang menggandeng TVRI tersebut akan menayangkan program tiga mata pelajaran yang diujikan dalam ujian nasional alias UN, tiap Senin-Kamis, pukul 07.00-09.30 WIB.Sasarannya siswa kelas III di 28.376 SMP negeri dan swasta di 353 kabupaten/kota yang dianggap minim fasilitas dan belum memiliki kemampuan standar. Pertanyaannya, seberapa efektif program yang konon menyedot anggaran hingga Rp 213,69 miliar itu? Mencermati momentum diluncurkannya program ini, ada tendensi Depdiknas mencoba mengalihkan perhatian publik atas kontroversi UN dan kritikan bertubi-tubi dalam pelaksanaannya. Sinyalemen ini begitu kuat mengingat mata pelajaran yang nantinya ditayangkan terdiri atas tiga mata pelajaran yang diujikan secara nasional. Depdiknas seolah ingin merasionalisasi urgensi keberadaan UN dan memberikan solusi terhadap banyaknya siswa yang tidak lulus dalam beberapa tahun terakhir dengan <br /><br />program ini. Tidak kalah penting adalah kritikan terhadap besarnya jumlah anggaran yang dipakai. Dari dana sebesar Rp 213,69 miliar, pos pengeluaran terbesar adalah rencana Depdiknas menganggarkan pembelian 75.000 TV. Setiap sekolah bakal mendapat dua pesawat televisi. Masalahnya, Depdiknas dinilai tidak memiliki kepekaan dalam memprioritaskan kebutuhan pendidikan. Banyak kalangan menganggap dana tersebut lebih baik digunakan untuk kebutuhan primer, seperti rehabilitasi sekolah, pemberian beasiswa kepada murid dari keluarga miskin atau di daerah bencana, atau untuk peningkatan kesejahteraan dan kompetensi guru. Televisi memang diakui menjadi salah satu media yang cukup efektif untuk menyampaikan pesan pada masyarakat luas. Hampir setiap keluarga dari setiap kalangan masyarakat di wilayah Tanah Air memiliki televisi yang berfungsi sebagai sarana hiburan dan informasi. Barangkali, berawal dari salah satu asumsi tersebut, Depdiknas memanfaatkan media televisi dapat untuk kegiatan proses pendidikan yang bersifat massal. Penulis juga mengakui media ini banyak memiliki keunggulan. Misalnya, pertama, siaran televisi dapat ditangkap oleh beberapa indera manusia sekaligus. Kedua, siaran televisi dapat menjangkau sasaran secara luas dan singkat. Ketiga, mata acara televisi dapat disampaikan dengan format hiburan, sehingga peluang tayangannya lebih menyenangkan, cukup tinggi. Keempat, banyak variasi bentuk acara televisi yang dapat dipilih, antara lain: uraian, reportase, dialog, wawancara, diskusi, laporan, atau hiburan. Namun, sejauh ini belum teruji format dan bentuk yang paling ideal untuk menayangkan program pendidikan. Dulu, Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) juga memiliki orientasi yang tidak jauh beda dengan Depdiknas sekarang, tapi hasilnya tidak efektif; apalagi memuaskan. Tayangan program pendidikan tidaklah cukup menarik ditonton dan masih kalah jauh rating-nya dengan tayangan-tayangan infotainmen, hiburan, atau sinetron. Karena itu, hal ini perlu diwaspadai oleh Depdiknas, meskipun penayangan materi pelajarannya nanti tetap diadakan di kelas. Sebab, uraian siaran televisi biasanya cukup membosankan, apalagi bila pembawa acaranya tidak tampil menarik dan meyakinkan. Hal lain yang juga kurang disadari dari proses pendidikan melalui televisi adalah fungsi dialogis antara guru-murid. Televisi tentu saja tidak bisa menggantikan peran guru karena ia bersifat monologis. Seumpama murid tidak memerhatikan sedikit saja, ia sudah pasti akan ketinggalan karena materi pelajaran di televisi tidak bisa diulang seperti halnya penyampaian materi seorang guru. Ini berarti efektivitas penyerapan materinya bergantung pada siswa bersangkutan. Guru di kelas memang dapat menjadi tumpuan bila kasus semacam itu terjadi. Namun, bagaimana dengan guru yang tidak kompeten? Bukankah proses belajar-mengajar menjadi semakin rancu? Bagaimanapun, proses dialog dalam kegiatan belajar-mengajar berfungsi untuk merumuskan pemecahan masalah yang dihadapi anak. Dialog biasanya terjadi karena ada pandangan dan keterangan yang kurang jelas atau berbeda tentang sesuatu hal. Dalam program ini nanti, apakah murid—bahkan guru yang memiliki pemahaman atau pengertian tertentu atas suatu mata pelajaran—mampu menyimak sekaligus mengkritisi pandangan yang berbeda dan mengupayakannya untuk mempersatukan perbedaan serta mencari penyelesaian terbaik atas perbedaan tersebut? Faktor peran dan fungsi televisi dan fungsi guru semacam inilah yang tidak diantisipasi oleh Depdiknas. Bagi para guru sendiri, banyak hal yang masih perlu dikritisi dan diperbaiki. Metode mengajar yang monoton, tidak diminati peserta didik, serta banyak perilaku guru yang justru meninggalkan historisitas seorang guru. Mereka tidak lagi melakukan pendekatan keilmuan dan kebiasaan yang selayaknya dilakukan oleh guru. Semisal, sebagian guru malas, bahkan jarang membaca. Pembaruan pengetahuan nyaris tidak dilakukan. Membaca adalah pekerjaan yang paling dibenci, membosankan, dan menyita banyak waktu. Model atau kualifikasi guru semacam inilah yang telah kita percayai untuk mengisi salah satu tahapan perjalanan anak bangsa, selaku seorang pembelajar, menuju masa depannya. Kondisi guru-guru yang demikian ini telah menjadikan persekolahan kita jauh dari tradisi buku dan membaca buku. Akibatnya, secara struktural, anak- anak tumbuh di sekolah menjadi pembelajar yang timpang. Mereka hanya tahu bahwa belajar adalah menerima informasi di kelas, pada jam-jam yang telah dijadwal, dari seorang guru. Posisi guru jadi sangat penting, khususnya sebagai sumber informasi dan sumber kebenaran. Sebagai batu ujian awal, Depdiknas memang diharapkan benar-benar jeli dan selalu mempertimbangkan masukan dari segenap pakar pendidikan atas diluncurkannya program TV pendidikan ini. Evaluasi atas program tersebut yang nantinya akan dilakukan tiga bulanan harus sungguh-sungguh mampu mengevaluasi seberapa jauh efektivitas dari tiap-tiap aspek di dalamnya, serta tindak lanjut seperti apa yang akan diproyeksikan di masa mendatang. Evaluasi sekaligus tindak lanjut tersebut, misalnya, apakah program TV pendidikan nanti mampu menumbuhkan minat, motivasi, serta etos belajar anak didik atau sebaliknya. Selain itu, apakah metode belajar dengan cara demikian juga mendorong diadakannya diskusi intensif antara guru dan murid terhadap suatu mata pelajaran. Apakah program tersebut juga membutuhkan buku penunjang berupa buku teks sehingga akan ada proyek kembali tentang tender pengadaan buku? Apakah suatu saat murid juga bisa ikut siaran, dan seterusnya. Karena itu, perlu kiranya diperhatikan ulang bahwa pendidikan tidak semata-mata mengajarkan, tapi juga mendidik. Bisakah televisi mendidik peserta didik? <br /><br />Abdullah Yazid<br />Peneliti di FKIP Universitas Islam Malang, Bekerja di Yayasan Averroes, Malang <br />sumber : www2.kompas.com/kompas-cetak/<wbr>0607/17/humaniora/2811161.htm - 44kAKU TUhttp://www.blogger.com/profile/00759864107426711727noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6154702354553023926.post-83601387295015551792008-05-11T07:17:00.001+07:002009-01-11T21:55:34.562+07:00PENGARUH BURUK TELEVISIAnak-anak adalah korban yang pertama, bagi masyarakat kaya maupun masyarakat miskin. Banyak kaum ibu profesional, perempuan karier yang mempunyai anak, melalui pembantu mereka, “menitipkan” anak mereka di depan televisi. Demikian juga ibu-ibu dari masyarakat miskin, juga mempercayai televisi sebagai “baby-sitter” yang baik. Karena anak-anak, akan cenderung diam, dan asyik masyuk memelototi televisi. Anak bisa ditinggalkan sendirian, sementara sang ibu melakukan aktivitas kesehariannya. Televisi sebagai baby-sitter, tampaknya tidak masalah. Namun berbagai penelitian dan berbagai fakta menyebutkan, “meletakkan” anak-anak, apalagi dalam usia dini, sangat berbahaya, baik secara fisik dan psikis. Apalagi waktu berada di depan televisi, tergolong lama, karena bisa mencapai lebih dari dua jam berturut-turut, atau enam jam dalam sehari. Anak di bawah dua tahun (dalam sebuah catatan penelitian sebuah akademi dokter anak di Amerika), yang dibiarkan orangtuanya menonton televisi, akan menerima pengaruh merugikan. Terutama pada perkembangan otak, emosi, sosial, dan kemampuan kognitif anak. Menonton televisi terlalu dini, bisa mengakibatkan proses wiring, proses penyambungan antara sel-sel syaraf dalam otak menjadi tidak sempurna (Rahmita P. Soendjojo: Bahaya Televisi bagi Syaraf Anak, Koran Tempo, 26 Desember 2004).Ketika lahir, seorang bayi mempunyai 10 milyar sel dalam otaknya. Namun, sel-sel itu belum bersambung dan masih berdiri sendiri-sendiri. Agar berfunsgi, sel-sel tersebut harus saling berkait (wiring). Maksimalisasi proses tersebut dipengaruhi oleh pengalaman simulasi seperti gerakan, nyanyian, obrolan, serta gizi yang baik. Sementara itu, bayi atau anak yang berada di depan televisi, tidak akan memiliki pengalaman-pengalaman empirik yang cukup untuk membantu terjadinya proses wiring. Apalagi, televisi memberikan simulasi virtual dengan cara yang bersamaan dan cepat. Proses pertumbuhan, membutuhkan tingkatan-tingkatan waktu, yang tidak bisa terjadi serempak. Simulasi harus dilakukan secara perlahan dan bertahap. Tidak bisa sekaligus, meski otak memang bekerja untuk melihat, meraba dan bergerak, dan aktivitas lainnya secara simultan. Namun, tetap saja dalam proses wiring, membutuhkan simulasi yang bertahap.Gambar-gambar dalam media televisi, terdiri atas potongan-potongan gambar yang bergerak dan berubah cepat, zoom-out dan zoom-in yang intensif, dan kilas lampu yang sangat cepat di televisi, di samping sistem kemunculan gambar yang tidak kontinu, menjadikan pola kerja otak anak-anak akan dieksploitasi begitu rupa. Dunia virtual televisi, dengan loncatan waktunya, juga akan menganggu kemampuan konsentrasi anak.Pada anak-anak yang lebih besar, pengaruh terlalu banyak menonton televisi akan berakibat pada kelambanan berbicara. Ini terjadi karena aktivitas menonton televisi tidak menggugah anak untuk berpikir. Apa yang disajikan televisi, sudah lengkap dengan gambar dan suaranya. Hal tersebut akan sangat berbeda dengan radio. Seorang anak yang mendengarkan suara kambing mengembik di sebuah radio, misalnya, akan berpikir seperti apa bentuk kambing tersebut. Sedangkan di televisi, hal itu tidak terjadi, karena sudah disodorkan seperti apa sosok kambing tersebut.Menyerahkan anak pada televisi, bukanlah tindakan yang bijaksana. Apalagi jika tindakan itu hanyalah bentuk pengalihan, agar orang dewasa terhindar dari beban menemani aktivitas anak. Apalagi dengan tidak memberinya kegiatan yang menarik buat mereka. Menonton televisi bagi anak-anak, merupakan aktivitas pasif yang merugikan penyambungan sel-sel syaraf. Apalagi jika yang ditontonnya bukanlah acara yang diperuntukkan padanya. Sementara yang kita tahu, tidak ada aturan mengenai hal ini. Program untuk acara anak umur 0-2, 2-5, dan seterusnya, sama sekali tidak dikenal di Indonesia. Semakin banyak tayangan yang bersifat kekerasan dan bias gender yang marak diprogram media televisi kita, dapat mendorong anak memiliki persepsi yang sama dengan yang dipresentasikan melalui tayangan tersebut. Bahkan, beberapa tayangan kartun yang disajikan khusus untuk anak-anak pun, tidak sedikit yang kental dengan adegan kekerasan dan seksisme.Sudah banyak penelitian menyebutkan, semakin seorang anak mengkonsumsi televisi, semakin sama nilai yang dianutnya dengan tayangan-tayangan dari televisi. Anak yang sering menonton tayangan kekerasan, mempunyai perilaku yang lebih agresif. Sedangkan anak yang sering menonton tayangan seksisme, menjadi sangat membedakan peran dan perilaku antara perempuan dan laki-laki. Televisi memang menawarkan serangkaian informasi dan hiburan. Namun tidak semuanya bermanfaat. Karena itu bagi anak-anak, batasi menonton televisi. Jika perlu, hindari sama sekali. Bagi anak dan remaja, semestinya ada pendampingan saat menonton televisi, dan jangan memfungsikan televisi sebagai baby-sitter.<br /><br />sumber : http://matayogya.televisiana.net/?p=15<br /><br /><br /><br /><br /></span>AKU TUhttp://www.blogger.com/profile/00759864107426711727noreply@blogger.com0