Sabtu, 31 Mei 2008

TV Pendidikan SMKN 1 Kedawung

Alhamdulillah, pada hari selasa tanggal 5 Februari 2008 telah berhasil uji coba penyiran televisi edukasi pertama di SMKN 1 Kedawung. Siaran tv edukasi ini mengudara pada frekwensi VHF 222, dan signalnya haya bisa ditangkap dilingkungan sekolah dan sekitarnya. TV ini hanya diperuntukan kepentingan media pembelajaran di sekolah kami dan sekitarnya.

Perangkat sederhana, biaya ringan dan motifasi yang besar untuk pengembangan media pembelajaran ini mendorong dibangunnya media tv edukasi ini. Semua ini ditunjukan untuk memberikan kontribusi bagi pengembangan proses pembelajaran di sekolah sehingga diharapkan dapat membantu peningkatan mutu pendidikan khususnya di SMKN 1 Kedawung, Kabupaten Cirebon.

Dengan mengudaranya tv edukasi ini diharapkan menjadi tatangan tersendiri bagi kami, sehingga kami punya pr besar untuk mengembangkan konten siaran yang akan dijadikan sebagai media pembelajaran.

Banyak pihak yang akan terlibat, semua warga sekolah bahkan masyarakat sekitar akan terdorong untuk mengembangkan kreatifitasnya. Guru dan siswa yang akan menjadi objek dan subyek untuk pengembangannya.

Pengembangan perangkat penyiaran bukan menjadi prioritas, tetapi konten siaran menjadi target utama, sehingga beberapa semester kedepan fokus pada set up program penyiaran. Setelah konten bisa memenuhi target kebutuhan warga sekolah dan sekitarnya, selanjutnya kami akan berbenah untuk pengembangan perangkat penyiaran, sehingga bisa dinikmati oleh masyarat lebih luas lagi. Dengan demikian tujuan jangka panjangnya tv ini diharapkan akan menjadi icon untuk pendidikan di cirebon dan sekitarnya.

Semua akan beejalan sesuai dengan yang diharapkan apabila semua pihak memberikan dukungan.

Sumber : ivan72id.blogspot.com

baca selengkapnya......

"PENGAJARAN PENDIDIKAN MEDIA"

Saat ini, kita semua sedang berada dalam sebuah revolusi yang berkaitan dengan teknologi dan budaya. Pengertian ‘revolusi' ini sesungguhnya lebih cocok bagi mereka yang saat ini sudah dewasa. Namun bagi anak-anak dan remaja, dunia mereka adalah betul-betul dunia yang tumbuh dalam era digital. Media interaktif, bagi anak-anak dan remaja bukanlah hal baru karena hal itu sudah mereka kenal sejak mereka lahir. Semenjak video game mulai populer pada tahun 1980an, maka perkembangan industri digital menjadi semakin cepat yang didukung dengan semakin populernya internet di kalangan masyarakat.

Perkembangan industri digital yang sangat cepat itu menjadi tantangan berat bagi dunia pendidikan dan orangtua dalam menyiapkan anak didik untuk dapat menghadapi ‘banjir informasi' yang dibawa oleh media digital melalui beraneka ragam bentuk dan format. Tanpa ada penyiapan yang sistematis dan sungguh-sungguh, maka bisa diperikirakan bahwa anak-anak dan remaja akan menjadi korban dari perkembangan teknologi media yang didominasi dengan hiburan yang cenderung tidak sehat dengan muatan bisnis yang kental.

Untuk media televisi misalnya, dampak negatif dari tayangan-tayangan yang tidak aman tentunya perlu diwaspadai. Dewasa ini, media televisi sangat memengaruhi anak-anak dengan program-programnya yang banyak menampilkan adegan kekerasan, hal-hal yang terkait dengan seks, mistis, dan penggambaran moral yang menyimpang. Tayangan televisi yang sangat liberal membuat tidak ada lagi jarak pemisah antara dunia orang dewasa dan anak-anak. Fenomena seperti ini tidak hanya terjadi di negara-negara liberal, namun juga di negara-negara berbudaya timur, karena besarnya infiltrasi media televisi di berbagai penjuru dunia. Dengan kata lain, anak-anak zaman sekarang memiliki kebebasan untuk melihat apa yang seharusnya hanya ditonton oleh orang dewasa.

Di Amerika serikat, dampak media massa terutama televisi dan video game, semakin membuat para orangtua kuatir. Data yang ada menunjukkan bahwa para remaja Amerika Serikat dengan rata-rata usia 15 tahun, menyaksikan aksi pembunuhan brutal sebanyak 25 ribu kali dari televisi dan 200 ribu kali tindak kekerasan dari media massa lainnya. Antara tahun 1950 sampai 1979, terjadi peningkatan jumlah kejahatan berat yang dilakukan oleh anak-anak muda di bawah 15 tahun di AS, sebesar 110 kali lipat, yang berarti peningkatan sebesar 11 ribu persen ("Fenomena Kekerasan Masyarakat Modern", 2007).

Interaksi Anak dengan Media

Dari waktu ke waktu, banyak sekali kasus mengenai dampak media terutama siaran televisi di Indonesia. Misalnya, akibat meniru adegan di televisi, seorang anak kehilangan nyawanya. Maliki yang berusia tiga belas tahun, tewas setelah mempraktikkan adegan bunuh diri dalam film India di televisi. Rentetan kasus dampak negatif televisi seakan tidak ada habisnya. Masih segar dalam ingatan, kasus "Smack Down" yang juga menelan korban jiwa. Reza, seorang siswa Sekolah Dasar menjadi korban, setelah temannya mempraktikkan adegan smack down kepadanya. Ternyata kasus Reza bukan kasus yang terakhir, ada kasus lainnya di Bandung yang berkaitan dengan tayangan Smack Down. Angga Rakasiwi yang berusia 9 tahun, seorang murid Sekolah Dasar Babakan Surabaya 7 di Kiaracondong, memar-memar karena bermain ala Smack Down dengan teman sekelasnya. Raviansyah (5 tahun), murid sebuah Taman Kanak-kanak di Margahayu Kecamatan Margacinta, terluka setelah bermain Smack Down dengan temannya. Raviansyah bahkan kabarnya sempat muntah darah.

Dampak negatif televisi tidak hanya pada perubahan perilaku, tetapi juga kepada karakter dan mental penontonnya, terutama anak-anak. Stasiun televisi cenderung menyajikan tayangan yang homogen pada pemirsanya. Meski judulnya beragam namun sebenarnya isinya hampir seragam. Beberapa jenis tayangan tersebut di antaranya adalah, sinetron yang kerap dibumbui dengan kekerasan, hedonisme, seks, mistik atau berbagai tayangan infotainment yang disuguhkan dari pagi hingga petang. Ketika diprotes, produser dan pengelola siaran televisi akan beralasan bahwa tayangan-tayangan tersebut dibuat sesuai selera pasar. Buktinya ratingnya tetap tinggi yang berarti diminati oleh masyarakat.

Kasus lain adalah keluhan seorang ibu karena anaknya yang berusia 3,5 tahun bicaranya cadel dan tergagap-gagap. Ternyata anak tersebut meniru karakter utama dalam sinetron Si Yoyo. Sinetron tersebut menampilkan sosok pemuda lugu, yang memiliki perilaku dan pola pikir seperti anak kecil. Terbukti bahwa sinetron tersebut telah menjadi "sihir" bagi anak-anak, sehingga banyak yang meniru karakter si Yoyo.

Setidaknya ada 3 hal penting yang perlu disimak dalam menelaah interaksi antara anak dengan media massa: Pertama, intervensi media terhadap kehidupan anak akan makin bertambah besar dengan intensitas yang semakin tinggi. Pada saat budaya baca belum terbentuk, budaya menonton televisi sudah sangat kuat. Kedua, kehadiran orangtua dalam mendampingi kehidupan anak sehari-hari akan semakin berkurang akibat pola hidup masyarakat modern yang menuntut aktivitas di luar rumah. Ketiga, persaingan bisnis yang makin ketat antar media dalam merebut perhatian khalayak termasuk anak-anak telah mengabaikan tanggungjawab sosial, moral, dan etika, serta pelanggaran hak-hak konsumen. Hal ini diperparah dengan sangat lemahnya regulasi di bidang penyiaran.

Munculnya berbagai dampak tersebut, pada umumnya dapat dilihat sebagai akibat dari kurangnya pemahaman orangtua dalam mengatur dan menjembatani interaksi anak dengan televisi. Dalam berbagai kesempatan pertemuan dengan orangtua dan guru, mereka merasa tidak berdaya dalam menghadapi persoalan ini. Mereka lebih meletakkan harapan pada peran pemerintah dan industri penyiaran televisi agar mendisain ulang program siaran mereka yang sesuai dengan nilai-nilai dan budaya Indonesia sehingga tidak berpengaruh buruk pada anak-anak. Sikap ketidakberdayaan inilah yang harus dikikis dengan memberikan penyadaran bahwa kuncinya bukanlah pada orang lain atau pihak lain, tetapi ada pada si orangtua dan anak itu sendiri. Karena, baik pemerintah maupun industri penyiaran televisi adalah dua pihak yang pada saat ini tidak bisa diharapkan dan tidak akan mampu memenuhi harapan para orangtua.

Untuk mengantisipasi dampak-dampak negatif buruk dari televisi tentunya tidak dapat didiamkan begitu saja. Dibutuhkan sebuah kemampuan untuk menyikapi media ini dengan bijaksana. Tapi bagaimana mungkin masyarakat dapat bersikap kritis terhadap media jika masyarakat tidak diajarkan bagaimana caranya. Hal ini juga menjadi salah satu kelemahan kurikulum pendidikan di Indonesia. Pendidikan mengenai media hampir terlupakan. Agenda pendidikan media sama sekali belum diperhitungkan oleh penyelenggara negara, khususnya pemegang otoritas pendidikan. Padahal media memiliki kekuatan untuk menjalankan hidden curriculum (kurikulum terselubung) baik yang konstruktif maupun destruktif.



Konsep Media Literacy dan Pengajarannya

Media Literacy di Indonesia lebih dikenal dengan istilah Melek Media. James Potter dalam bukunya yang berjudul “Media Literacy” (Potter, 2001) mengatakan bahwa media Literacy adalah sebuah perspekif yang digunakan secara aktif ketika, individu mengakses media dengan tujuan untuk memaknai pesan yang disampaikan oleh media. Jane Tallim menyatakan bahwa media literacy adalah kemampuan untuk menganalisis pesan media yang menerpanya, baik yang bersifat informatif maupun yang menghibur. Allan Rubin menawarkan tiga definisi mengenai media literacy.

Yang pertama dari National Leadership Conference on Media Literacy (Baran and Davis, 2003) yaitu kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan mengkomunikasikan pesan. Yang kedua dari ahli media, Paul Messaris, yaitu pengetahuan tentang bagaimana fungsi media dalam masyarakat. Yang ketiga dari peneliti komunikasi massa, Justin Lewis dan Shut Jally, yaitu pemahaman akan batasan-batasan budaya, ekonomi, politik dan teknologi terhadap kreasi, produksi dan transmisi pesan. Rubin juga menambahkan bahwa definisi-definisi tersebut menekankan pada pengetahuan spesifik, kesadaran dan rasionalitas, yaitu proses kognitif terhadap informasi. Fokus utamanya adalah evaluasi kritis terhadap pesan. Media literasi merupakan sebuah pemahaman akan sumber-sumber dan teknologi komunikasi, kode-kode yang digunakan, pesan-pesan yang dihasilkan serta seleksi, interpretasi dan dampak dari pesan-pesan tersebut.

Terdapat dua pandangan mengenai media literacy yaitu dari Art Silverblatt dan James Potter (Potter, 2001). Silverblatt menyatakan bahwa media literacy memiliki lima elemen yaitu:
(1) Sebuah kesadaran akan dampak media terhadap individu dan masyarakat
(2) Sebuah pemahaman akan proses komunikasi massa
(3) Pengembangan strategi-strategi yang digunakan untuk menganalisis dan membahas pesan-pesan media
(4) Sebuah kesadaran akan isi media sebagai ‘teks’ yang memberikan wawasan dan pengetahuan ke dalam budaya kontemporer manusia dan diri manusia sendiri
(5) Peningkatan kesenangan, pemahaman dan apresiasi terhadap isi media.

Di sisi lain, Potter (Baran and Davis, 2003) memberikan pendekatan yang agak berbeda dalam menjelaskan ide-ide mendasar dari media literacy, yaitu:
(1) Sebuah rangkaian kesatuan, yang bukan merupakan kondisi kategorikal
(2) Media literacy perlu dikembangkan dengan melihat tingkat kedewasaan seseorang
(3) Media literacy bersifat multidimensi, yaitu domain kognitif yang mengacu pada proses mental dan proses berpikir, domain emosi yaitu dimensi perasaan, domain estetis yang mengacu pada kemampuan untuk menikmati, memahami dan mengapresiasi isi media dari sudut pandang artistik, dan domain moral yang mengacu pada kemampuan untuk menangkap nilai-nilai yang mendasari sebuah pesan
(4) Tujuan dari media literacy adalah untuk memberi kita kontrol yang lebih untuk menginterpretasi pesan.

Di banyak negara maju, pendidikan melek media sudah menjadi agenda yang penting dengan memasukkannya ke dalam satuan kurikulum pendidikan. Inggris, Jerman, Kanada, Perancis, dan Australia merupakan contoh negara yang telah melaksanakan pendidikan melek media di sekolah.

Tabel di bawah menunjukkan perbandingan perkembangan melek media di berbagai negara (Media Literacy: Ability of Young People to Function in the Media Society, 2000)


Negara


Sistem dan aktivitas terkait dengan pendidikan melek media

Inggris


· Pengenalan pendidikan melek media dalam pendidikan dasar dan menengah ditujukan untuk memahami dan menganalisis isi media terutama sebagai bagian dari mata pelajaran bahasa.

· Kerjasama antar kementerian melalui "Media Education Strategy Committee" telah dibentuk dan mengumumkan kebijakan pemerintah terkait dengan pendidikan melek media pada musim panas tahun 2000.

Jerman


· Setiap region telah mengadakan pelatihan melek media bagi guru.

· Pihak penyiaran regional telah melaksanakan penelitian terkait dengan pendidikan melek media dan mendukung program produksi media yang dilakukan oleh masyarakat..

Perancis


· Diskusi mengenai keterkaitan antara media dan opini publik merupakan aktivitas wajib dalam kurikulum pendidikan dasar.

· Lembaga penyiaran publik La Cinquieme bekerja sama dengan Le Centre National de Documentation Pedagogique (CNDP), secara periodik menyiarkan program-program melek media.

Kanada


· Sejak musim gugur tahun 1999, setiap provinsi diharuskan untuk melaksanakan program pendidikan melek media. (Terutama dalam mata pelajaran bahasa dan seni)

· The Canadian Radio-television dan Telecommunications Commission (CRTC) mendukung produksi program-program yang dibuat oleh komunitas.

Amerika Serikat


· Sebagian besar negara bagian telah mengadopsi pendidikan melek media ke dalam pedoman pengajaran mereka. (Terutama di mata pelajaran bahasa)

· The Public Broadcasting System (PBS) dan the National Cable Television Association (NCTA) memproduksi dan menyiarkan program-program mengenai melek media.

Australia


· Pendidikan melek media telah diperkenalkan sebagai bagian dari mata pelajaran bahasa, seni dan teknologi ke dalam kurikulum pendidikan nasional.

· The Australian Broadcasting Authority (ABA) mempromosikan pendidikan melek media dengan cara mengadakan konferensi internasional dan mempublikasikan informasi terkait dengan melek`media secara periodik.



Permulaan abad 21 menandakan perkembangan minat terhadap pendidikan media di beberapa negara. Melek media ini dibangun sebagai alat pendidikan untuk melindungi orang-orang dari dampak negatif media. Di tahun 1930, Inggris merupakan negara pertama yang memunculkan isu mengenai melek media. Sedangkan pada tahun 1960, Kanada memulai pendidikan melek medianya.

Kanada merupakan negara yang terutama mewajibkan melek media di kawasan Amerika Utara. Setiap provinsi di negara tersebut telah ditugaskan untuk melaksanakan pendidikan media dalam kurikulum. Peluncuran pendidikan melek dilakukan karena rentannya masyarakat Kanada terhadap budaya pop Amerika. Konsep melek media menjadi topik pendidikan yang pertama kali muncul di Kanada pada tahun 1978. Pada saat itu berdirilah Association for Media Literacy (AML), sebagai lembaga yang mengurusi segala hal yang berkaitan dengan pendidikan melek media di negara tersebut.

Kemudian Amerika Serikat, yang merupakan negara tetangga Kanada, juga akhirnya menyadari pentingnya terdapat pendidikan melek media di negaranya. Apalagi dampak negatif yang timbul akibat media (terutama televisi) sudah sangat dirasakan oleh masyarakat Amerika sendiri. Frank Baker, salah satu konsultan pendidikan media di Amerika Serikat, melihat beberapa materi yang telah dikembangkan oleh Kanada, Inggris dan Australia sebagai poin awal yang sangat baik, terutama dalam hal dukungan serta kurikulumnya. Hal tersebut dapat dijadikan sebagai suatu pengalaman untuk mengembangkan pendidikan melek media di Amerika Serikat.



Pendidikan Melek Media di Indonesia

Media massa, terutama televisi, merupakan sarana yang sangat efektif untuk mentransfer nilai dan pesan yang dapat memengaruhi khalayak secara luas. Bahkan, televisi dapat membuat orang kecanduan. Kini, media audio visual ini telah menjadi narkotika sosial yang paling efisien dan paling bisa diterima. Interaksi masyarakat, terutama anak-anak, terhadap televisi, sangat tinggi. Idealnya seorang anak hanya menonton tayangan televisi paling banyak dua jam sehari. Namun di Indonesia, setiap anak dapat menonton televisi selama 3,5 – 5 jam sehari. Anak-anak tidak hanya menonton tayangan yang memang ditujukan bagi mereka, tetapi juga tayangan yang belum pantas untuk mereka tonton. Kondisi ini terjadi tanpa pengawasan yang ketat dari orang tua.

Data pola menonton televisi pada anak-anak menunjukkan bahwa jumlah jam menonton anak-anak melampaui batas jam menonton ideal. Angka 35 jam per minggu, berarti sama dengan 1820 jam per tahun, padahal jam belajar anak sekolah dasar menurut United Nations Education and Culture Organization (UNESCO) tidak melebihi 1000 jam per tahun. Jika melihat perbandingan jumlah jam menonton televisi dengan jumlah jam belajar di sekolah, maka dikuatirkan proses pembentukan pola pikir, karakter, dan perilaku anak justru terbentuk melalui tayangan televisi.

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kekuatan televisi dalam memengaruhi anak-anak sangat besar. Di samping jumlah jam belajar yang lebih sedikit ketimbang jam menonton, lemahnya pengawasan orang tua terhadap tontonan anak, membuat anak-anak mereka tidak mempunyai filter terhadap tayangan yang tidak mendidik. Dari 1000 jam belajar per tahun di sekolah dasar, pendidikan tentang media hanya dibahas sangat sedikit dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Hal ini sungguh memprihatinkan mengingat interaksi anak-anak dengan televisi jauh lebih tinggi dibanding interaksinya dengan buku-buku pelajaran. Kondisi seperti ini menuntut anak untuk memiliki self sensor awareness terhadap media televisi. Semakin cepat media ini berkembang, maka daya tanggap anak terhadap dampaknya juga harus dibangun.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan, “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa, dan negara”. Dari rumusan tersebut, cukup jelas bahwa pendidikan melek media sangat sesuai dengan tujuan sistem pendidikan nasional di Indonesia.

Saat ini pendidikan melek media yang ada di Indonesia, masih sebatas gerakan-gerakan yang belum terstruktur. Gerakan-gerakan tersebut dilakukan melalui seminar, road show, dan kampanye-kampanye mengenai melek media. Contohnya seperti yang dilakukan oleh Yayasan Jurnal Perempuan pada tahun 2005, Komunitas Mata Air tahun 2004, Komisi Penyiaran Indonesia tahun 2005, Perhimpunan Masyarakat Tolak Pornografi tahun 2006, dan beberapa organisasi pemerhati media lainnya. Namun, gerakan-gerakan ini baru bisa dilakukan dalam skala kecil. Pendidikan melek media tidak cukup bila disampaikan hanya dalam seminar berdurasi dua jam, atau dalam kampanye dan roadshow selama seminggu. Akibatnya, upaya-upaya memperjuangkan pendidikan melek media belum dapat dirasakan oleh semua pihak secara luas.



Pendidikan Melek Media dan Kurikulum Sekolah Dasar

Adalah Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) yang pada tahun 2002 memulai sebuah proyek percontohan ‘Pembelajaran Melek Media’. Model ini diujicobakan pada Sekolah Dasar Negeri Johar Baru 01 Pagi, Jakarta Pusat. Sebelum melaksanakan model pertama ini, YKAI melakukan pelatihan terhadap para guru yang nantinya akan mengajarkan materi ini. Pelatihan tersebut bertujuan untuk mempersiapkan guru, agar dapat maksimal dalam mengajarkan pendidikan melek media terhadap anak didik. Selain itu, agar proses pendidikan melek media di sekolah dapat berjalan seiring dengan pendidikan di rumah, diadakan seminar bagi orangtua murid tentang pendidikan melek media. Seminar tersebut bermaksud untuk menyampaikan pentingnya pendidikan melek media diajarkan di sekolah dan di rumah. Melalui hal tersebut diharapkan kerjasama dan dukungan orangtua.

Titik berat materi Pembelajaran Melek Media ditekankan pada media televisi mengingat media ini paling banyak diakses oleh anak-anak. Pokok bahasan yang diajarkan adalah:

1. Mengapa melek media penting?
2. Jenis-jenis acara televisi
3. Fungsi dan pengaruh iklan
4. Karakteristik televisi
5. Dampak menonton televisi
6. Menonton TV dan kegiatan lain
7. Memilih acara televisi yang baik
8. Televisi sebagai sumber belajar

Setelah siswa mendapatkan pembelajaran mengenai melek media dengan fokus pada televisi (bagaimana berinteraksi dengan televisi secara kritis), maka diharapkan para siswa:
a. dapat memahami dan mengapresiasi program yang ditonton
b. menyeleksi jenis acara yang ditonton
c. tidak mudah terkena dampak negatif acara televisi
d. dapat mengambil manfaat dari acara yang ditonton.
e. pembatasan jumlah jam menonton

Sesudah proyek percontohan, tahun 2004 dan 2005 YKAI menyelenggarakan beberapa pelatihan guru tentang Pembelajaran Melek Media dengan dukungan dari UNESCO untuk tingkat SD dan SMP, dengan peserta dari Jabodetabek. Tahap berikutnya dilanjutkan oleh Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) yang pada tahun 2006 menyempurnakan modul pelatihan guru tentang Pembelajaran Melek Media dan mengujicobakannya dalam pelatihan guru pada bulan November 2006 dengan dukungan dari UNICEF.

Masih dengan dukungan dari UNICEF, selanjutnya YPMA pada tahun 2007 mengembangkan stimulan atau alat bantu pengajaran untuk memudahkan para guru dalam memberikan materi Pembelajaran Melek Media kepada siswa dengan cara yang menyenangkan dan tidak membosankan. Pengembangan itu juga mencakup pembuatan buku pegangan untuk guru dan siswa, serta pengembangan lembar kerja siswa.

Dengan supervisi selama pelatihan guru, kerangka berpikir ini dapat dijadikan pedoman oleh guru dalam menyusun materi pelajaran agar dapat diterapkan dalam setiap kelas di sekolah dasar dengan kedalaman materi dan cara yang berbeda-beda, disesuaikan dengan kondisi dan situasi sekolah masing-masing.

Selain SDN Johar Baru 01 Pagi, ada satu sekolah lain yang telah menerapkan pendidikan melek media menjadi satu mata pelajaran tersendiri, yaitu Sekolah Dasar Lentera Insan, Cimanggis, Depok. Sekolah ini. Pelajaran melek media di sekolah ini dilaksanakan dua minggu sekali, dalam satu jam pelajaran dengan durasi waktu 30 menit. Materi-materi yang disampaikan meliputi pengenalan akan berbagai media hingga bagaimana membangun daya kritis siswa dalam menggunakan media.

Model yang kedua dalam mengajarkan Pembelajaran Melek Media adalah dengan mengintegrasikan pendidikan melek media ke beberapa mata pelajaran. Untuk mewujudkan model ini, Len Masterman dalam tulisannya yang berjudul A Rationale for Media Education, (dealam Silalahi, 2007) menawarkan beberapa cara sederhana, yaitu:

· Sejarah

Guru dapat mengajarkan melek media dengan cara mengajak siswa untuk menilai secara kritis bukti-bukti sejarah yang ditampilkan melalui media. Bila berbicara dalam konteks televisi, maka sarana yang dapat dipakai adalah film-film bertemakan sejarah. Contoh yang paling sederhana adalah membahas film G 30 S/PKI yang ditayangkan di televisi setiap peringatan Hari Kesaktian Pancasila. Siswa diajak untuk melihat atau menbandingkan bukti-bukti sejarah, kronologi peristiwa, dan hal-hal lain yang mereka pelajari di kelas dengan apa yang ditampilkan oleh film tersebut.

· Ilmu Pengetahuan Alam

Guru dapat mengajak siswa untuk menilai gambaran, citra, fungsi dan status dari ilmu pengetahuan alam dan ilmuwan yang ditampilkan di media. Contohnya, ilmuwan sering digambarkan sebagai orang yang aneh karena terlalu pintar, kurang bersosialisasi karena terus-menerus berada di laboratorium, berkepala botak, dan berkacamata tebal. Guru dapat meminta penilaian siswa apakah siswa setuju dengan penggambaran tersebut atau tidak. Apakah menurut siswa penggambaran tersebut sesuai dengan kenyataan atau tidak. Selain itu, guru juga dapat menggunakan pesan-pesan iklan untuk dianalisis.

Guru dapat mengintegrasikan program-program populer tentang ilmu pengetahuan alam ke dalam kurikulum formal sekolah. Misalnya program televisi Galileo, untuk membahas mata pelajaran fisika, matematika dan biologi. Siswa bisa juga dimotivasi untuk memperhatikan isu-isu terkait dengan mata pelajaran yang ditayangakan melalui berita televisi seperti isu wabah Flu Burung. Dalam pelajaran Biologi, guru dan siswa dapat berdiskusi mengenai apa itu flu burung, apa bahayanya bagi unggas-unggas dan apakah bisa menular ke manusia, apakah penanggulangan flu burung dengan membunuh unggas-unggas ada dianggap sudah tepat? Guru dapat menanyakan pendapat siswa mengenai hal-hal tersebut. Aktivis ini diharapkan dapat membangun daya kritis siswa terhadap informasi yang diperoleh dari media, terutama televisi.

· Ilmu-ilmu sosial dan pendidikan politik

Guru dapat mengajak siswa untuk membandingkan representasi media dengan infromasi-informasi yang didapat dari buku-buku pelajaran dan yang dipelajari di kelas. Misalnya, siswa diminta menjelaskan bagaimana televisi menggambarkan orang kulit hitam, orang Tionghoa dan kelompok-kelompok minoritas lainnya dalam masyarakat. Siswa dimintai pendapatnya mengenai norma-norma dan budaya masyarakat yang ditampilkan dalan sinetron-sinetron. Untuk topik yang lebih serius, misalnya, guru menanyakan pandangan siswa mengenai teroris yang dikaitkan dengan islam, peran media dalam pemilihan umum, kampanye-kampanye politik di televisi dan masih banyak lagi.

· Bahasa dan sastra

Guru dapat mengajak siswa untuk menganalisis penggunaan bahasa dalam media. Siswa diminta untuk berpendapat tentang penggunaan bahasa gaul dalam sinetron-sinetron dan contoh penggunaan bahasa tidak baku lainnya. Beberapa selebritis terkadang berbicara dalam Bahasa Indonesia yang diselingi Bahasa Inggris. Tanyakan kepada siswa, menurut mereka mengapa selebritis-selebritis tersebut berbicara seperti itu. Selain itu, siswa juga bisa didorong untuk menganalisis tag-line dari iklan. Guru menanyakan apa tag-line favorit siswa dan mengapa siswa memilih itu. Film-film atau sinteron yang diangkat dari cerita-cerita rakyat juga dapat dijadikan bahan analisis.

Dari uraian di atas, Len Masterman (Masterman dalam Kubey, 2001) mengidentifikasi tiga cara nyata untuk memasukkan muatan melek media antar kurikulum:

a. Guru-guru diharapkan dapat menggunakan materi-materi yang terkait dengan mata pelajaran yang ditampilkan di media untuk menjadikan kegiatan belajar-mengajar lebih menarik, relevan dan up-to-date. Misalnya, dalam pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan tentang demokrasi. Demokrasi terkait dengan proses pemilihan umum. Guru dapat mengambil contoh kampanye yang ditampilkan di televisi melalui iklan-iklan poitik. Siswa diajak untuk secara aktif menyadari bahwa apa yang mereka pelajari di kelas, juga ditampilkan di media. Tapi tidak hanya sebatas itu. Guru juga harus memberikan pemahaman kepada siswa bahwa apa pun yang ditampilkan di media terutama televisi, telah melewati sebuah proses produksi yang di dalamnya ada aktivitas seleksi dan konstruksi realita. Ada kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai kelompok tertentu yang termuat di dalamnya. Jika siswa telah memahami hal-hal tersebut, maka diharapkan mereka bisa menggunakan informasi-informasi yang tersebar di media secara lebih bijaksana dan kritis.

b. Ketergantungan guru dan siswa dalam kegiatan belajar-mengajar terhadap buku pegangan sangatlah besar. Padahal siswa akan lebih tertarik pada penjelasan materi pelajaran menggunakan media lain selain buku pegangan. Penggunaan contoh-contoh mengenai suatu topik hendaknya tidak terpaku pada contoh-contoh yang ada di buku pegangan. Tapi dapat diambil dari informasi media yang sering di akses oleh siswa, dalam hal ini televisi. Bila guru mau sedikit saja lebih aktif untuk menggunakan media-media lain selain buku pegangan, siswa akan semakin terdorong untuk mengeluarkan kemampuan mereka dalam menggunakan media. Dari situ dapat terlihat kemampuan mereka mengambil, memilah dan memaknai informasi yag mereka dapatkan dari media. Guru diharapkan cepat tanggap terhadap hal ini, supaya bila ada murid yang kurang kritis menggunakan media, dapat memperoleh pengarahan, agar di lain waktu siswa tersebut dapat menggunakan informasi dari media dengan lebih baik.

c. Guru dari setiap mata pelajaran harus memiliki kerangka berpikir kritis terhadap isi media yang akan digunakan di dalam kelas. Guru harus memberikan perhatian serius akan dampak dari representasi media populer terhadap mata pelajaran yang mereka ajarkan. Guru juga harus sadar betul bahwa siswa biasanya tidak menggunakan media (televisi) seperti menggunakan buku pegangan. Siswa menonton televisi lebih sebagai sarana melepaskan ketegangan dan mendapatkan kesenangan. Risikonya adalah siswa tidak menyadari bahwa di balik tayangan-tayangan yang menarik dan menyenangkan itu ada begitu banyak miskonsepsi, prasangka, stereotip dan asumsi-asumsi mengenai hal-hal lain yang belum tentu benar. Dampak inilah yang harus diperhitungkan oleh guru. Ketika guru masuk kelas untuk mengajar, perlu disadari bahwa pikiran siswa bukanlah pikiran kosong yang tidak mengerti apa-apa. Di dalam pikiran siswa telah tertanam pengetahuan mengenai banyak hal yang tentunya siswa dapatkan dari televisi. Tugas gurulah untuk meluruskan hal-hal yang salah atau melenceng dari seharusnya.

Di Indonesia, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang berlaku saat ini memberikan peluang untuk pendidikan melek media masuk ke dalam kurikulum, karena KTSP memiliki sub-komponen yang mendukung, yaitu mata pelajaran dan pendidikan kecakapan hidup. Pendidikan melek media dapat dijadikan satu mata pelajaran sendiri, karena struktur kurikulum tingkat sekolah dapat dikembangkan dengan cara memanfaatkan jam tambahan untuk menambah jam pembelajaran pada mata pelajaran tertentu atau menambah mata pelajaran baru. Pada komponen pendidikan kecakapan diri, pendidikan melek media tidak menjadi satu mata pelajaran tersendiri, tetapi substansinya menjadi bagian integral dalam beberapa mata pelajaran yang memungkinkan.

Selain itu, pelaksanaan pendidikan melek media dapat disesuaikan dengan kondisi sekolah masing-masing. Hal ini sejalan dengan karakteristik KTSP yang memberikan keleluasaan bagi guru dan sekolah untuk mengembangkan satuan sendiri yang disesuaikan dengan keadaan siswa, keadaan sekolah, dan keadaan lingkungan. Sekolah bersama dengan komite sekolah dapat bersama-sama merumuskan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan, situasi, dan kondisi lingkungan sekolah.

Idealnya pendidikan melek media menjadi satu subjek pelajaran tersendiri. Hal tersebut dilakukan agar transfer pendidikan melek media dapat lebih optimal dan guru dapat lebih mudah memantau perkembangan siswa tentang pemahaman melek media. Untuk jangka pendek pendidikan melek media dapat diintegrasikan ke dalam beberapa mata pelajaran. Pendidikan melek media dapat diajarkan secara bertahap, sehingga dalam jangka panjang masyarakat semakin mengerti konsep melek media dan urgensinya.

Pendidikan melek media merupakan pendidikan kecakapan hidup, sehingga penerapannya sangat praktis untuk dilakukan. Pendidikan melek media memiliki nilai lebih, karena pendidikan ini menempatkan anak didik sebagai subjek. Hal tersebut membuat perkembangan emosi, pola pikir, karakter, serta perilaku anak didik lebih terkontrol, karena anak didik dibekali dengan kemampuan untuk memilih dan memaknai pesan media, sehingga anak didik bukan lagi sebagai imitator media. Hal tersebut menunjukan bahwa pendidikan melek media tidak hanya mencakup kemampuan kognitif, tetapi juga membangun daya analisis, membuat anak didik dapat menyikapi apa yang terjadi di luar dirinya.

Dari sisi urgensinya, Pembelajaran Melek Media memiliki peluang yang besar untuk dikembangkan, mengingat perkembangan media yang begitu pesat tidak diikuti dengan kecakapan dalam mengkonsumsinya. Selain itu juga karena telah tersedianya sumber informasi mengenai melek media. Sumber informasi tersebut dapat digunakan sebagai referensi untuk mengaplikasikan pendidikan melek media. Selain itu banyaknya LSM yang peduli terhadap melek media dapat menunjang sosialisasi mengenai melek media, sehingga semakin banyak pihak yang tahu mengenai melek media dan urgensinya.

Harus diakui tidak semua sekolah siap untuk melaksanakan pendidikan melek media, di antaranya disebabkan oleh kurang tersedianya sarana untuk melakukan pendidikan melek media (televisi, internet, dvd/vcd player). Memang pendidikan melek media membutuhkan alat bantu, tetapi tidak harus menggunakan alat bantu yang mahal, sekolah dapat menggunakan alat bantu yang murah, seperti gambar, poster, majalah, koran, dan alat bantu lainnya. Pembelajaran Melek Media dapat terhambat apabila tidak ada sinergi antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Oleh karena itu komitmen orangtua dalam memberikan pengawasan terhadap anak didik ketika mengakses media sangat dibutuhkan.



Penutup

Sudah saatnya Departemen Pendidikan Nasional memikirkan tentang pendidikan mengenai media kepada siswa sekolah dasar hingga SMU. Dengan dimilikinya kemampuan melek media pada siswa, maka proses pembelajaran sepanjang hidup dari media akan dapat dijalaninya dengan baik. Siswa yang media literate juga akan mampu menyusun isi pesan media dengan dasar pemahaman terhadap karakteristik masing-masing media yang cukup kuat.

Sekolah-sekolah swasta yang lebih memiliki keleluasaan dalam memodifikasi proses pembelajaran, diharapkan segera berinisiatif dalam merespon perkembangan media yang sangat pesat dalam kaitan dengan akses anak-anak terhadap media tersebut, setidaknya untuk mencegah dampak-dampak negatif yang tidak diinginkan.

Untuk kondisi di Indonesia, pengintegrasian Pembelajaran Melek Media lebih tepat diterapkan pada siswa sekolah dasar (SD). Anak-anak SD berada pada kisaran usia yang sangat rawan terkena dampak negatif media, khususnya televisi. Jumlah jam menonton televisi dan penggunaan media lain pada anak-anak SD di Indonesia sudah jauh melampaui batas yang aman dan wajar. Selain itu, di usia jenjang sekolah dasar, anak-anak memiliki kecenderungan sebagai imitator tayangan televisi, padahal banyak tayangan televisi yang tidak aman untuk ditonton anak-anak. Oleh karena itu pendidikan melek media perlu diterapkan pada jenjang sekolah dasar selagi pola pikir dan perilaku anak didik masih mudah dibentuk.

Selain itu, masyarakat pun hendaknya mulai membangun self sensor awareness, terhadap tayangan televisi dan media lainnya. Orangtua harus mulai membuat peraturan mengenai kapan dan berapa lama anak-anak boleh mengakses media dan materi apa yang boleh diakses. Sebisa mungkin, orangtua juga diharapkan untuk mendampingi anak-anaknya ketika menonton televisi dan memberikan penjelasan mengenai isi acara yang ditonton.

sumber : http://www.kidia.org

baca selengkapnya......

Jumat, 30 Mei 2008

"Mengoptimalkan Penyelenggaraan Program Televisi Pendidikan"

Sejak diluncurkan pertama kali pada 17 Juni 2006 oleh Menteri Pendidikan Indonesia, program Televisi Pendidikan yang dalam penyiarannya bekerjasama dengan TVRI (Televisi Republik Indonesia) menuai banyak kritikan dari berbagai kalangan. Bukan hanya besaran dana saja yang dipermasalahkan, yang konon besarnya mencapai 213,69 milyar rupiah, namun kritikan tersebut juga mengarah kepada efektivitas penyampaian materi ajar kepada siswa yang diragukan keberhasilannya.

Pos pengeluaran terbesar untuk pengadaan pesawat televisi sejumlah 75.000 unit yang nantinya dibagikan pada sekolah-sekolah di seluruh Indonesia juga tak kalah mengundang pro dan kontra. Belum lagi masalah jam tayang siaran pendidikan yang berada pada pukul 07.00-09.30 jelas-jelas akan merebut waktu belajar di kelas, padahal pemerintah sebagai penyelenggara program ini tidak mungkin memaksa sekolah untuk mengalokasikan waktu maupun melakukan penyesuaian jadwal belajar siswa agar dapat melihat tayangan sesuai dengan jadwal tayang yang telah ditetapkan mereka, mengingat adanya kebebasan pengaturan jadwal pelajaran di masing-masing sekolah.

Di sisi lain, model pendidikan berbasis video seperti yang pemerintah dan TVRI lakukan tidak akan menghadirkan interaktifitas antara guru dan siswa, mengingat metode pembelajaran ini hanya menghasilkan komunikasi satu arah, yakni siswa hanya dapat melihat dan mendengarkan tayangan televisi saja, tetapi tidak dapat berkomunikasi layaknya diskusi antara guru dan siswa di dalam kelas. Proses belajar yang tidak dialogis seperti ini harusnya dapat dijembatani dengan memodifikasi atau menambah metode distribusi penyiaran konten pendidikan tanpa menghentikan proses yang telah dilakukan.

Kontroversi seputar penyelenggaraan program tersebut sebenarnya dapat diminimalisir apabila pemerintah selain melakukan penayangan di TVRI juga menyelenggarakan pendistribusian bahan ajar video yang ditampilkan di televisi kedalam format penyimpanan VCD maupun DVD ke sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Hal tersebut akan menjadi efektif, mengingat bahan ajar tersebut dapat digunakan guru sebagai bahan ajar tambahan dalam kelas selain buku ajar. Dampak lainnya, siswa akan dengan mudah memutar kembali tayangan yang diinginkan kapan saja dan dimana saja.

Satu set VCD/DVD yang dibagikan ke sekolah-sekolah selanjutnya bebas untuk digandakan kembali oleh pihak sekolah. Siswa yang membutuhkan nantinya dapat meminta atau membeli VCD/DVD kopian ke pihak sekolah. Berbekal VCD/DVD tersebut siswa dapat belajar mandiri di rumah atau dimana saja sesuai keinginan mereka. Sedangkan guru nantinya bertindak sebagai pendamping yang akan menjawab pertanyaan-pertanyaan dari siswa ketika mereka menemui kesulitan atau mendapati sesuatu yang kurang jelas. Lewat model pembelajaran yang variatif seperti ini siswa akan mendapatkan pengalaman belajar yang lebih menyenangkan dibandingkan cara belajar konvensional.

Dua program sebelum ini, baik pada saat pemerintah bekerjasama dengan TPI (Televisi Pendidikan Indonesia), ataupun saat bekerjasama dengan televisi-televisi lokal untuk menayangkan konten TV-Edukasi mulai tahun 2004, jelas-jelas belum terlihat keseriusan pemerintah untuk menyebarluaskan secara gratis konten-konten yang telah dibuatnya selama ini ke sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Padahal dengan pustaka video sebanyak itu akan banyak memberi manfaat dan kesempatan bagi setiap pihak untuk belajar mandiri apabila disebarluaskan secara bebas daripada disimpan atau didiamkan saja dalam lemari arsip.

Solusi menyebarluaskan konten video yang telah dibuat adalah salah satu jalan tengah di tengah maraknya kritikan pada penyelenggaraan program ini. Program yang telah berjalan dan telah menghabiskan dana besar tersebut seharusnya dapat memberi manfaat sesuai dengan harapan banyak pihak untuk menepis anggapan bahwa program tayangan pendidikan ini hanyalah upaya pemerintah untuk mengalihkan sorotan masyarakat atas kegagalan dalam pelaksanaan Ujian Negara (UN).


sumber :http://gora.edublogs.org

baca selengkapnya......

Kamis, 29 Mei 2008

"TELEVISI PENDIDIKAN...,EFEKTIFKAH..???"

Mengkaji permasalahan pendidikan hampir menjadi kebutuhan kita yang secara nyata berdampak pada keinginan masyarakat memunculkan kerinduan akan lahirnya genarasi-genarasi penerus bangsa yang cerdas dan berakhlak mulia. Mereka tidak hanya cerdas secara intelektual, namun juga cerdas secara psikomotorik, sosial, emosional, dan spiritual. Sedangkan upaya yang dilakukan pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan melalui pengembangan sumberdaya menuju manusia Indonesia seutuhnya terkesan lambat dan bahkan stagna. Upaya pengembangan itu dilakukan dengan mengadakan berbagai macam metode maupun media pembelajaran. Dan media pembelajaran yang lagi menjadi “kambing hitam” di tingkat elit pendidikan adalah penggunaan media televisi pendidikan untuk menjangkau masyarakat yang berdomisili di daerah pedalaman.

Semenjak abad XIX merupakan awal mula ditemukannya Electrisce Telescope oleh seorang mahasiswa dari Berlin bernama Paul Nipkow, alat ini berfungsi sebagai pengirim gambar dari satu tempat ke tempat lain (Morissan, 2004). Temuan inilah yang kemudian menjadi titik awal berkembangnya televisi, dan sejak saat itu perkembangannya dari tahun ke tahun menjadi sangat pesat hingga detik ini dan bahkan televisi mampu menunjukkan eksistensi maupun dominasinya dibanding dengan media-media yang lainnya..

Eksistensi televisi sebagai media komunikasi pada prinsipnya, bertujuan untuk dapat menginformasikan segala bentuk acaranya kepada masyarakat luas. Hendaknya, televisi mempunyai kewajiban moral untuk ikut serta berpartisipasi dalam menginformasikan, mendidik, dan menghibur masyarakat yang pada gilirannya berdampak pada perkembangan pendidikan masyarakat melalui tanyangan-tayangan yang disiarkannya.

Secara normatif, siaran televisi mampu menyajikan menu kepada masyarakat tanpa harus mendatangi, tidak membedakan status, kasta, golongan, dan usia selama 24 jam nonstop. Ini berarti televisi tidak dibatasi waktu hari, minggu, dan bulan. Melainkan hanya dibatasi waktu detik, menit, dan jam. Begitu juga, televisi pendidikan yang sementara ini digagas oleh pembuat kebijakan pendidikan oleh elit pusat dimaksudkan sebagai upaya pengkomunikasian informasi, mendidik, dan juga transfer of knowledge, khususnya di wilayah-wilayah pedalaman. Namun demikian, yang menjadi prmasalahan di kmudian hari adalah tv bukan lagi hanya wilayah-wilayah marginal.saja yang perlu untuk mndapatkan acara televisi pendidikan, melankan daerah-daerah yang dianggap lebih berkembangpun layak menikmati menu tv pendidikan.

Dalam kompleksitas dan mata rantai yang panjang tentang televisi pendidikan serta dinamikanya, maka pertanyaan yang paling dominan muncul adalah bagaimanakah konsep dan strategi penyiaran televisi pendidikan yang tepat?, dan “Apakah tv pendidikan mampu mengimbangi siaran stasiun tv lain, mialnya; infotainment yang lagi booming, film-film karton yang dapat mensugesti anak sehingga anak lupa tuganya, maupun acara-acara menaik lainnya. Jika tidak dapat mengemas menjadi komoditi yang menarik lebih baik gunakan media-media yang lain yang lebih disukai anak, menjadi teman bermain sekaligus belajar sehingga anak merasa enjoy. Hal ini perlu dipahami bersama, bahwa televisi pendidikan memiliki fungsi yang sama dengan media massa lain, yaitu fungsi mendidik, menginformasikan, meneruskan nilai-nilai budaya bangsa, menjadi agen pembaruan (di negara berkembang). Sehingga, tanpa disadari dengan melihat acara/tayangan televisi seseorang telah mengikuti pendidikan.

* * * * *

Hemat penulis, untuk mmpertegas program pemerataan kualitas pendidikan dengan mengaplikasikan konsep televisi pendidikan, maka perlu dilakukan serangkaian kegiatan sebagai berikut. Pertama, membentuk tim yang bertugas menyiapkan program ini dengan sistem dan manajerial yang baik. Tim ini melibatkan wakil-wakil dari departemen pendidikan nasional yang mempunyai tugas dan fungsi secara teknis terhadap sekolah dan tenaga kependidikan. Kedua, perlu disusun dan dikembangkan considerance sebagai bahan untuk didiskusikan dan disempurnakan. Ketiga, Perlu diprogramkan suatu kegiatan diskusi yang intensif untuk mematangkan konsep dan program. Unsur-unsur yang perlu diundang dalam kegiatan diskusi tersebut mencakup unsur akademisi, praktisi, pemerhati, dan birokrat yang secara langsung maupun tidak langsung bertanggungjawab pada upaya peningkatan mutu pendidikan.


sumber :http://mkpd.wordpress.com

baca selengkapnya......

Rabu, 28 Mei 2008

Peluncuran Televisi Pendidikan di Indonesia

PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (CTPI) didirikan pada bulan Januari 1991 oleh Siti Hardiyanti Rukmana, Abdullah Alatas Fahmi dan Mohamad Jarman, dengan capital yang disetujui Rp. 76.7 milyar. Berdasar surat ijin (permit) dari Investment Coordinating Board (BKPM), dengan rencana perusahaan itu akan invest kira-kira Rp. 225 milyar, termasuk working capital Rp. 47.7 milyar. Berjalan di bawah Domestic Investment (PMDN) Scheme, CTPI atau lebih kenal sebagai TPI sudah punya tenaga kerja 1,866 orang, termasuk 10 tenaga asing.

Hari ini (Juni 27, 1994), jam siaran TPI sudah ditingkatkan lagi ke 19 jam dan 15 minit dari pukul 5.30 pagi sampai pukul 00.45 pagi.
Ref. Highbeam.Com

Televisi Paling Indonesia

Pada hari ini (7 April, 2007) website TPI baru sedang dibuat. Tetapi jelas dari "Visi & Misi" namanya bukan Televisi Pendidikan Indonesia lagi. Kebetulan kami paling senang Dangdut, tetapi mohon ingat artinya "bermutu" dan pengaruh kekerasan di TV. Semoga Sukses TPI, dari Pendidikan Network.


Pada Tahun 2007 Bagaimana? (Pendidikan menjadi Paling)

Latar Belakang
Sebagai stasiun televisi swasta pertama yang mengudara secara nasional sejak 23 januari 1991, TPI juga merupakan televisi pelopor tayangan musik-musik dangdut. TPI yang mengedepankan tayangan-tayangan sopan dan bisa dinikmati seluruh keluarga.

Visi & Misi
Visi : Televisi Paling Indonesia
Misi : Menyajikan program bermutu untuk pemirsa
Slogan : Makin Indonesia Makin Asyik Aja
Ref. http://www.tpi.tv/profile.html
Jadi Kapan Kita Akan Meluncuran Televisi Pendidikan Indonesia?

Peluncuran Televisi Edukasi
Departemen Pendidikan Nasional meluncurkan Televisi Edukasi (TV-E), Selasa 12 Oktober 2004. Program dalam televisi tersebut diharapkan akan menjadi media spesifik dalam penyebaran informasi di bidang pendidikan dan berfungsi sebagai media pembelajaran masyarakat.

Menteri Pendidikan Nasional Abdul Malik Fadjar dalam sambutan saat peluncuran resmi program tersebu mengatakan, sebagai bangsa yang ingin maju, maka kemajuan teknologi perlu dimanfaatkan. Hanya saja itu dilakukan dengan kadar kearifan dan etika yang tinggi, khususnya dilihat dari segi pendidikan.

Saat ini sudah 50 stasiun televisi lebih yang beroperasi di Indonesia, termasuk di dalamnya televisi lokal, televisi kabel, dan televisi satelit. Namun dari jumlah itu, sedikit sekali program yang mengandung pesan pendidikan. Banyak keluhan yang dilontarkan masyarakat tentang dampak negatif siaran televisi. Sebutlah seperti cara hidup konsumtif melalui gempuran paket sinetron dan berbagai tayangan penuh gagasan mistis. Oleh karena itu, Televisi Edukasi harus dirancang untuk mendidik dan mencerdaskan masyarakat. Karena daya jangkau televisi bisa sangat luas, keberhasilan memanfaatkan media itu untuk tujuan pembelajaran akan mempercepat pembangunan masyarakat belajar yang cerdas. Mendiknas juga mengingatkan agar program dibuat mengasyikkan dan menyenangkan.

Kepala Pusat Teknologi Komunikasi Departemen Pendidikan Nasional Harina Yuhetty-yang menjadi penanggung jawab televisi tersebut- mengatakan, program TV-E disiarkan melalui satelit dan dapat diakses dengan menggunakan parabola. Depdiknas memanfaatkan jasa jaringan satelit Telkom.

Pada tahap rintisan, siaran dilaksanakan selama empat jam dari pukul 07.00 hingga 11.00 di frekuensi 3782-3790 MHz. Komposisi program meliputi materi pelajaran pendidikan formal 30 persen, pendidikan nonformal 30 persen, pendidikan informal 20 persen, serta informasi kebijakan dan program berupa berita atau feature 20 persen.

Sasaran TV-E terutama adalah sekolah. Pada September ini telah dilakukan uji coba program siaran yang materi sasarannya diprioritaskan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, dengan penerima siaran di 100 sekolah di seluruh Tanah Air. Sekolah-sekolah lain yang berkeinginan menangkap siaran tersebut dapat melengkapi perangkat parabola dengan dukungan dan bantuan pemerintah atau masyarakat.

Paket-paket program TV-E sementara ini dikerjakan dengan bantuan Universitas Terbuka, internal Departemen Pendidikan Nasional, Japan Foundation, dan berbagai program studi jarak jauh.

Sumber : pendidikan.tv/issues.html

baca selengkapnya......

Televisi Dalam Kehidupan Anak

Berapa lama idealnya seorang anak dapat berada di depan televisi? Benarkah televisi membuat anak kita bodoh dan cenderung bertindak kekerasan? Program televisi yang manakah sesuai dengan usia anak anda dan memiliki nilai pendidikan?

Hidup tanpa televisi mungkin sudah tidak bisa dibayangkan oleh generasi anak kita yang mau tidak mau telah besar bersamaan dengan semakin maraknya dunia media elektronik. Dengan makin menjamur berdirinya stasiun-stasiun televisi swasta dengan penawaran aneka ragam program acaranya di indonesia, maka semakin dituntut pula orang tua menyikapi secara bijaksana interaksi anak kita dengan media televisi yang ada.


Penelitian khusus berkaitan dengan pengaruh televisi ataupun seberapa besar proporsi waktu yang dipergunakan oleh anak indonesia di depan tabung kaca ini memang belum banyak dilakukan. Namun trend yang terjadi sedikit banyak akan tidak jauh berbeda dengan apa yang ditemui di negara negara maju: semakin banyak waktu yang konsumsi oleh anak untuk berada di depan televisi. Penelitian tentang pengkonsumsian media televisi di jerman mungkin dapat dijadikan perbandingan dan masukan bagi orang tua di indonesia untuk makin bijaksana menyikapi kehadiran media ini di ruang keluarga kita. Dari hasil penelitian tersebut di ketahui bahwa seorang anak jerman menghabiskan rata rata waktu sebanyak 108 menit berada di depan televisi, bahkan angka tersebut mendekati 1 jam pada anak usia di bawah dua tahun. 50% anak bahkan telah memiliki tv di ruang kamarnya sendiri. Hasil yang paling mengkhawatirkan para ahli pendidikan di negara tersebut adalah terdapatnya satu hubungan berarti antara waktu yang dihabiskan anak di depan media elektronik tersebut dengan prestasi belajar yang di capai anak di sekolah; Anak yang banyak menghabiskan waktu di depan televisi biasanya memiliki prestasi akademik yang tidak begitu memuaskan.

Risiko Pengkonsumsian Televisi Yang Berlebihan

Timbulnya efek negatif dari pengkonsumsian televisi yang berlebihan telah banyak di catat dari penelitian penelitian yang umumnya di lakukan di negara negara maju. Beberapa efek negatif yang dapat timbul akibat pengkonsumsian televisi yang berlebih pada anak adalah:
- Anak akan mengidentifikasi dirinya melalui tokoh yang ia tonton. Hal ini akan membahayakan terlebih bila tokoh yang ia idolakan adalah tokoh fiktif yang tidak ada di dunia nyata. Anak akan berpikiran bahwa ia dapat melakukan apapun dan the best seperti tokoh figur yang ia idolakan. Akibatnya ia akan kehilangan kemampuan untuk menganalisa dirinya sendiri, sejauh mana ia mampu berbuat dan hal mana yang tidak mungkin untuk dilakukan.
- Anak kurang memiliki kemampuan untuk berpikir kritis karena ia umumnya di hadapkan di dunia non fiktif yang umumnya serba sempurna. Dan hal ini menyebabkan daya kemampuan berimajinasi pun tidak dapat berkembang secara proporsional.
- Kemampuan bicara anak akan terhambat mengingat televisi tidak akan mampu menjawab pertanyaan pertanyaan yang ada di benaknya. Selain itu anak tidak memiliki banyak kesempatan melatih ketrampilan bicara karena ia hanya berlaku sebagai pendengar pasif dari acara acara televisi yang ditontonnya. Hal ini nantinya berakibat pada menurunnya kemampuan si anak dalam melakukan kontak sosial dengan teman temannya. Padahal di usia 0-4 tahun adalah masa otak menangkap secara optimal informasi yang ada.
- Anak akan lebih bersifat apatis, mudah bosan dan tidak mampu berkonsentrasi pada suatu aktivitas yang memerlukan ketrampilan motorik. Akibatnya ia tidak banyak memiliki inisiatif untuk melakukan aktifitas yang membutuhkan ketrampilan jasmani dan mudah mengisolasi diri bila menemui kesulitas melakukan kontak sosial.
- Akibat miskinnya „bergerak“ dalam aktivitas menonton televisi, maka akan terhambat pula perkembangan kemampuan motorik anak yang seharusnya berkembang pesat di masa pertumbuhan anak.


Berapa Lama Toleransi Menonton Televisi Pada Anak?

Para ahli menganjurkan beberapa batasan toleransi bagi anak untuk berada di depan media elektronik (tv, komputer, video ataupun game) sebagai berikut: anak 3-5 th: 30 menit, anak 6-9 th: 60 menit, anak 10-13 th: 90 menit. Batasan toleransi ini didapatkan dengan mempertimbangkan banyak faktor seperti pengaruh layar monitor pada kesehatan mata anak ataupun kemampuan optimal anak dalam berkonsentrasi menekuni satu hal tertentu.

Orang Tua Sebagai Teladan

Sikap orang tua dalam mensikapi media televisi amat memegang peranan penting. Orang tua berfungsi sebagai teladan yang kerap dijadikan acuan bagi anak dalam membangun interaksi lanjut dengan media tersebut. Bila orang tua memperlakukan televisi sebagai „sahabat“ yang selalu di nanti kehadirannya serta mengisi aktivitas kesehariannya, maka janganlah heran bila satu saat mendapati anak yang mampu berlama lama di depan tabung kaca untuk menonton program kesenangannya ataupun tahan berjam jam menikmati nintendo game-nya. Demikian pula sebaliknya. Bila orang tua dapat memberikan contoh bijaksana dalam bersikap dengan media televisi, maka akan lebih mudah anak diarahkan untuk memupuk kesadarannya dalam bersikap kritis terhadap media tersebut. Satu hal yang patut diperhatikan adalah pemberian alternatif dari program televisi yang ada, semisal melakukan permainan di halaman rumah, membaca buku, ataupun melakukan aktivitas tertentu secara bersama-sama serta hal yang tak kalah pentingnya: jangan pernah memperlakukan TV sebagai Baby-Sitter agar anak dapat duduk dengan tenang!

Beberapa Tips Mensikapi Media Elektronik

Beberapa Tipps di bawah ini dapat digunakan sebagai panduan untuk mengatur kehadiran televisi di dalam kehidupan anak kita.

Membicarakan bersama program televisi yang akan di tonton. Pembicaraan ini paling baik dilakukan secara mingguan. Anak dapat mengusulkan acara televisi yang ingin ia nikmati, dan orang tua memberikan pandangan (dan akhirnya keputusan) acara televisi yang akan di tonton di satu minggu ke depan. Orang tua juga sebaiknya membatasi tema acara televisi yang akan ditonton oleh anak. Carilah sebisa mungkin program program acara yang secara pedagogis baik untuk di konsumsi, seperti acara sesame street atau acara sejenis yang menumbuhkan keinginan anak untuk mengeksplorasi lingkungannya.

Mensepakati waktu menonton televisi. Waktu yang digunakan untuk menonton televisi juga perlu di bicarakan sehingga si anak dapat belajar mendisiplinkan waktunya, dan tak ada waktu yang tiba tiba harus terkorbankan demi menonton satu acara di televisi di luar jadwal yang telah disepakati. Dengan adanya perjanjian mengenai “waktu nonton”, maka bila terjadi pelanggaran orang tua dapat memberikan sanksi misal dengan menghapuskan waktu nonton televisi di hari berikutnya atau jenis sanksi bermanfaat lainnya.

Memberikan penjelasan pada anak. Orang tua hendaknya mendampingi anak ketika mereka berada di depan tabung kaca untuk mencoba menjalin komunikasi dengan anak serta memberikan penjelasan dan tanggapan atas acara yang sedang berlangsung. Beberapa acara yang sedianya diperuntukkan buat anak ternyata banyak memerlukan penjelasan lebih lanjut, sehingga anak dapat membedakan antara alam nyata dan alam fantasi yang banyak ditemui, khususnya di film-film kartun. Perlu dicermati pula bahwa televisi akan dapat mendatangkan manfaat bila anak sudah memiliki kemampuan berbicara, sehingga dapat dijalin percakapan lebih lanjut tentang hal hal yang melintas di pikirannya.

Bila orang tua mampu bersikap bijaksana atas kehadiran media televisi di kehidupan anak, maka tak ayal media ini akan dapat membawa banyak manfaat bagi perkembangan intellegensi anak anda, namun demikian pula sebaliknya: televisi dapat menjadi bumerang yang berakibat buruk bagi kehidupan anak bila anda tak mampu mensikapinya dengan baik. Pilihan ada pada anda para ayah bunda! (@DAI)

sumber : http://myscratch.blogsome.com/2005/01/01/televisi-dalam-kehidupan-anak/

baca selengkapnya......

Peran Televisi Untuk Pendidikan

Mengintegrasikan Peran Televisi untuk Pendidikan Indonesia

Ahmed Kurnia Soeriawidjaja

Ketika budaya baca masyarakat Indonesia belum lagi tumbuh yang ditandai dengan masih tingginya angka buta huruf, media televisi dan radio sudah muncul bak cendawan di musim hujan. Banyak pihak menilai fenomena ini mengkhawatirkan karena akan mendorong penguatan budaya lisan. Perlu langkah afirmatif untuk menggunakan media visual sebagai alat meningkatkan kualitas masyarakat kita.


Kualitas manusia Indonesia ternyata menyedihkan. Lihat saja laporan terbaru yang dikeluarkan lembaga Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) tahun 2004 lalu, yang menempatkan posisi Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index/HDI) di Indonesia pada urutan 111 dari 175 negara. Posisi ini sangat jauh tertinggal di belakang, jika dibanding negara-negara tetangga seperti Malaysia (peringkat 59), Thailand (76) dan Filipina (83). Di kawasan Asian Tenggara, Indonesia hanya setingkat di atas Vietnam (118).


Dalam perhitungan peringkat HDI sebuah negara, UNDP melihat pada tiga komponen, yakni indeks pendidikan, indeks kesehatan dan indeks ekonomi. Khusus untuk indeks pendidikan, terdapat dua indikator. Yaitu, angka melek huruf orang dewasa dan rata-rata lama pendidikan.

Indikator melek huruf di Indonesia lumayan jeblok. Buta huruf masih merupakan persoalan serius dan memerlukan penanganan yang khusus. Menurut laporan Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP) Depdiknas, pada 2003 di Indonesia masih terdapat 15,41 juta atau 10,21 persen penduduk usia 15 tahun ke atas buta aksara –kendati hal ini masih lebih baik daripada negara berkembang lainya yang rata-rata jauh di atas 10 persen penduduknya masih buta huruf. Tapi, kalau persoalan buta huruf di negara ini tidak diatasi dengan segera, jelas bakal menjadi hambatan yang berdampak pada pembangunan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Tidak heran Kabinet Indonesia Bersatu (kabinet yang dipimpin Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono) mematok target: pada tahun 2009 penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas yang buta huruf, akan menjadi tinggal lima persen. Artinya target total orang yang dientaskan supaya bisa baca tulis mencapai 14 juta orang, atau 2,8 juta orang jadi melek huruf per tahunnya. Sebuah target yang ambisius mengingat selama ini, Pemerintah baru bisa mengentaskan orang supaya melek huruf kurang dari 200.000 rata-rata per tahunnya.

Persoalan lain yang juga dihadapi adalah, kendati di Indonesia secara statistik yang melek hurufnya cukup tinggi dibanding negara berkembang lainnya, namun tak berarti mereka bisa memanfaatkan kemampuan baca tulisnya itu secara maksimal. Inilah yang disebut Daniel Dhakidae, pengamat sosial kemasyarakatan, sebagai kemampuan baca tulisan sebagian besar masyarakat Indonesia masih pada tahap technical alphabetism, belum mencapai tahap functional alphabetism. Artinya, orang melek huruf hanya mampu sebatas teknis menulis dan membaca. Mereka belum dapat mengolah informasi dalam bentuk teks (tertulis) tersebut untuk mengindentifikasi masalah sehari-hari dan meningkatkan pengetahuan yang berakibat pada peningkatan kesejahteraan (inilah yang disebut dengan functional alphabetism). Misalnya, hingga kini para petani di Indonesia masih saja mengandalkan informasi lisan dari tenaga penyuluh –dan tidak mampu dan sekaligus tidak mau memanfaatkan informasi lain tentang pertanian dalam bentuk tertulis.

Bebas buta huruf memang tidak bisa hanya ditafsirkan sebagai kemampuan untuk baca tulis dan mengeja semata (technical alphabetism). Keadaan bebas buta huruf menjadi bermakna kalau masyarakat sudah mencapai tingkat kemampuan membaca dan menulis secara fungsional (functional alphabetism).

Minat baca dalam masyarakat Indonesia menunjukkan gejala yang memprihatinkan. Boleh jadi karena budaya lisan tampaknya kini lebih berkembang ketimbang budaya baca tulis. Salah satu fenomena yang mendukung gejala maraknya budaya lisan adalah terus bertambahnya jumlah stasiun televisi. Beberapa di antaranya menayangkan siaran non-stop 24 jam. Begitu juga stasiun radio yang terus menjamur jumlahnya, dan hebatnya lagi sebagian juga tak mau kalah, siaran non-stop 24 jam. Kalau tak ada peminatnya, tentu mereka tak akan mengudara non-stop.

Coba tanya pakar atau pengamat, lebih suka yang mana: menulis kolom atau diwawancarai? Pasti mereka memilih yang kedua. Karena lebih mudah, dan yang pasti bakal lebih ngetop kalau diwawancarai wartawan televisi atau radio.

Kini tercatat lebih dari 1.000 stasiun radio yang beroperasi di Indonesia. Padahal, tahun 2002 lalu masih tercatat 865 stasiun radio. Begitu pula jumlah stasiun televisi yang terus bertambah. Kalau dulu, kita cuma mengenal TVRI, sekarang selain stasiun televisi milik pemerintah itu, juga ada 11 stasiun televisi swasta: TVRI, TPI, RCTI, SCTV, Anteve, Indosiar, Metro TV, Trans TV, TV7, Lativi dan Global TV. Belum lagi siaran televisi yang mengudara melalui satelit.

Tak cuma itu, televisi lokal di beberapa kota besar Indonesia terus bermunculan. Tahukah Anda di Manado ada empat stasiun televisi swasta? Di Semarang juga tak lama lagi bakal mengudara empat stasiun televisi lokal milik swasta. Bahkan di Papua saja sudah berdiri stasiun televisi lokal. Belum lagi televisi milik pemerintah daerah –dengan mengibarkan semangat otonomi –yang tersebar di berbagai pelosok. Jumlah stasiun televisi lokal diperkirakan lebih dari 50. ini masih di tambah lagi dengan 11 stasiun televisi nasional yang sudah lebih dulu ada.

Lalu bagaimana dengan media cetak di Indonesia? Saat ini, ditaksir oplah seluruh Koran yang beredar di Indonesia hanya sekitar tiga persen dari jumlah penduduk yang ada. Padahal, menurut UNESCO, indeks ukuran maju tidaknya sebuah Negara dapat dilihat dari Koran yang beredar – minimal sekitar 10 persen dari jumlah total penduduknya. Sementara di negara industri yang sudah maju, tiras korannya mencapai lebih dari 30 persen dari jumlah penduduknya. Jadi, kalau memakai ukuran UNESCO, Indonesia masih jauh di bawah standar sebuah negara yang maju.

Data lain juga menunjukkan bahwa tiras Koran di Indonesia mengalami penurunan yang lumayan signifikan. Laporan kongres Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) di Jakarta tahun lalu memperlihatkan justru terjadi penyusutan tiras seluruh Koran yang terbit di Indonesia. Ironisnya, penurunan tiras koran ini justru berlangsung di tengah euphoria kebebasan pers. Sejak tahun 1998, untk menerbitkan Koran tak perlu lagi izin. Siapa saja, kalau punya sumber daya termasuk dana tentunya, dan berbadan hukum, bisa menerbitkan koran. Dan memang koran baru banyak bermunculan. Tapi pada saat yang hamper bersamaan banyak pula koran yang tak dapat meneruskan penerbitannya. Entah karena memang pembacanya yang tidak ada (maka korannya tidak laku), atau karena salah urus (mismanagement). Namun yang pasti media-media cetak yang sudah mapan dan punya sejarah yang panjang, di tengah euphoria kebebasan pers, tetap tak dapat mendongkrak tirasnya. Paling banyak oplah koran papan atas yang berpengaruh (mainstream) yang terbit di Indonesia hanya sekitar 500 ribu setiap harinya. Sementara penduduk Jakarta saja sudah mencapai sekitar 8 juta jiwa. Bandingkan misalnya, dengan oplah Koran Yomiuri Shimbun yang terbit di Jepang yang mencapai 12 juta eksemplar setiap harinya. Atau oplah sebuah koran di Amerika Serikat atau Jerman yang juga mencapai jutaan eksemplarnya setiap terbit.

Media cetak, khususnya koran, memang cenderung tak lagi menjadi sumber informasi yang handal di negeri ini. Banyak penelitian memperlihatkan bahwa media elektronik, yaitu televisi dan radio, menjadi acuan informasi bagi masyarakat. Menurut perkiraan, di negeri ini ada lebih dari 30 juta pesawat televisi, yang rata-rata untk setiap pesawat televisi ditonton oleh lima orang. Berarti ada sekitar 150 juta penduduk Indonesia, atau sekitar 70 persen dari total penduduk, yang menonton (dan mendapat informasi) dari televisi. Sedangkan, mereka yang memperoleh informasi dari media cetak, diduga hanya sekitar 10 persen dari jumlah penduduk Indonesia.

Pada tahun 1977, total tiras semua Koran yang terbit di Indonesia mencapai sekitar 5,1 juta eksemplar. Pada tahun 2000 – ketika pers bebas berlangsung –total tirasnya malah susut menjadi 4,7 eksemplar. Maka satu surat kabar yang tadinya diasumsikan dibaca oleh 40 orang dalam tiga tahun menjadi 42 orang. Di tahun 2004 ini, tampaknya asumsi itu tak jauh berbeda.

Fenomena di atas setidaknya menunjukkan bahwa minat baca di negeri ini memang rendah sekali. Bahkan, boleh dikata sangat memprihatinkan! Lihat kondisi perpustakaan umum yang ada, sangat menyedihkan. Perpustakaan HB Jasin di Jakarta atau Perpustakaan Bung Hatta di Bukittinggi, karena sepi pengunjung, tak mendapatkan pemasukan (pendapatan) yang berbuntut kurang terawatnya koleksi buku. Jadi, alih-alih menambah koleksi buku, mempertahankan yang sudah ada saja sudah megap-megap kekurangan dana.

Padahal, membaca (dan juga menulis tentunya) adalah sebah kegiatan yang dapat merangsang orang aktif berpikir, mencerna secara reflektif dan kreatif. Aktivitas itu menuntut intensitas dan konsentrasi yang relatif lebih tinggi ketimbang menonton televisi atau mendengar radio.
Uraian di atas memperlihatkan betapa budaya lisan (dan dengar) lebih berkembang di masyarakat ketimbang budaya baca (dan tulis).

Kondisi ini jelas merupakan tantangan bagi Pemerintah dalam upaya memberantas buta huruf. Mereka yang melek huruf saja, ternyata diduga baru sebatas mampu baca tulis secara teknis (technical alphabetism), dan belum mencapai tahap baca-tulis secara fungsional (functional alphabetism). Jadi, angka statistik yang menunjukkan bahwa di Indonesia masih terdapat 15,41 juta atau hanya 10,21 persen penduduk usia 15 tahun ke atas yang buta aksara menjadi patut dipertanyakan. Bukan tak mungkin mereka yang buta huruf (dalam arti belum mencapai tahapan functional alpbabetism) lebih banyak lagi.

Sudah saatnya diperlukan sebuah suasana yang dapat mengkondisikan masyarakat supaya gemar membaca (dan menulis) dalam upaya memerangi buta huruf dan sekaligus mengimbangi budaya lisan (dan dengar) yang kini semakin mendominasi kehidupan sehari-hari. Tak dapat dipungkiri, media televisi telah begitu akrab dalam kehidupan sehari-hari.

Karena alasan itulah, di antara banyak pilihan cara, apa boleh buat, kenapa tidak memanfaatkan media televisi sebagai sarana pendidikan, termasuk kegiatan pendidikan membaca dan menulis? Tentu pilihan ini terasa seperti sebuah usaha yang paradoks. Mengembangkan budaya baca-tulis dengan memanfaatkan media yang berbasis budaya lisan-dengar.

Memanfaatkan Televisi Edukasi
Kesulitan utama yang dihadapi Pemerintah dalam mendongkrak HDI adalah minimnya sumber daya manusia, termasuk penyediaan guru atau tutor. Ditambah lagi dengan kondisi geografis bercorak kepulauan dan pegunungan, serta terbatasnya anggaran.

Hambatan tersebut memang bukan barang baru bagi Indonesia. Sesuatu yang sering jadi tumpuan alasan adalah tidak meratanya pendidikan. Dan akibatnya, kesejahteraan pun juga jadi tidak merata di negeri ini.

Untuk mengatasi keterbatasan penyediaan tutor, saat ini pemerintah telah merekrut sekitar 200 ribu calon pegawai negeri sipil dari 4 juta pelamar. Sebagian besar pegawai negeri baru ini nantinya akan menempati posisi sebagai guru pada jalur formal. Mereka akan disebar di berbagai wilayah di Indonesia.

Namun bagaimana dengan tantangan geografis, padahal jumlah guru yang ada masih jauh dari mencukupi. Sebenarnya pemanfaatan teknologi pembelajaran jarak jauh melalui siaran televisi bisa dijadikan solusi untuk mengatasinya. Apalagi saat ini tercatat sudah ada lebih dari 50 televisi lokal di seluruh Indonesia. Angka ini dipastikan akan berkembang setelah era televisi swasta nasional berakhir –seiring berlakunya UU No.32/2002 tentang Penyiaran –dan semangat otonomi daerah yang kian menggebu.

Pemerintah (melalui Depdiknas) memang tidak bisa bekerja sendiri untuk mendongkrak HDI Indonesia. Perlu ada kerja sama yang terkait di antara semua pihak di samping mengerahkan semua potensi yang ada. Termasuk tidak hanya mengoptimalkan jalur formal, tapi juga memacu jalur informal yang tidak hanya melibatkan guru dan sekolah.

Pada Oktober 2004 lalu Depdiknas meluncurkan Televisi Edukasi atau TVE. Tujuan televisi ini adalah untuk memberikan layanan siaran pendidikan berkualitas yang dapat menunjang tujuan pendidikan nasional di samping memeratakan pendidikan ke seantero penjuru Indonesia.

Kehadiran TVE Inilah tampaknya yang menjadi peluang untuk program pengentasan buta aksara. Sejumlah program dikemas untuk mendorong masyarakat pemirsa TVE untuk kenal huruf, dan kemudian di tahap berikutnya mengajak mereka gemar membaca dan menulis.

Namun sayangnya TVE punya keterbatasan. Saat ini, stasiun tersebut hanya bisa diakses bagi mereka yang memiliki parabola, mengingat karena siarannya dipancarkan melalui satelit. Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut, TVE bisa dipastikan akan menangguk kegagalan seperti yang dialami oleh Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) –yang sudah lama berubah haluan hanya menjadi televisi hiburan semata dan melupakan jati diri P-nya sebagai televisi pendidikan.

Kita masih belum lupa begitu ambisiusnya TPI di masa awal menayangkan siaran-siaran berisi tutorial berbagai mata pelajaran. Ambisi pemerintah, seiring hadirnya TPI kala itu, adalah setiap sekolah menyediakan pesawat televisi di dalam kelas-kelas sekolah –dan program tutorial tersebut sebagai alat bantu guru dalam menyampaikan pelajaran.

Namun apa daya, jangankan menyediakan satu pesawat televisi di setiap kelas, satu televisi setiap satu sekolah saja susah ---bahkan tidak jarang ada sekolah yang atapnya saja tidak utuh, sehingga pengadaan televisi bukanlah prioritas. Apalagi televisi hingga kini masih dikategorikan sebagai barang mewah yang cukup mahal harganya. Alhasil, TPI – entah sebab atau akibat – “terpaksa” banting stir menjadi televisi hiburan semata.

Sinergi TVE dan Stasiun Televisi Lokal
Itlah sebabnya keberadaan TVE perlu disiasati agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. TVE perlu melakukan sinergi dengan stasiun televisi-televisi lokal, khususnya dengan televisi lokal yang berjaya baik secara manajemen keuangan maupun manajemen isi siaran. Walaupun belakangan sebagian televisi lokal yang ada mulai mengendur semangatnya setelah menyadari mengelola televisi ternyata kompleks dan tidak semudah yang diduga sebelumnya.

Kesulitan utama televisi lokal selain saat ini masih harus bersaing denan raksasa TV swasta nasional adalah ketersediaan program. Merencanakan program bagi sebuah stasiun televisi merupakan pekerjaan yang sangat melelahkan. Misalnya, bila sebuah stasiun televisi melakukan siaran selama sepuluh jam sehari dengan menayangkan program berdurasi 30 menit, maka stasiun TV ini membutuhkan 20 program sehari atau 140 program per minggu. Artinya, stasiun televisi akan terus kehausan program-program baru jika tidak ingin ditinggalkan pemirsanya. Dan jika tidak ada pemirsa, maka dijamin iklan pun tidak akan menghampiri. Padahal, pendapatan dari iklan merupakan darah bagi kelangsungan hidup sebuah stasiun televisi.

Membuat program televisi memang bukan pekerjaan mudah –apalagi murah. Perlu biaya dan komponen yang berteknologi tinggi serta tenaga kreatif.

Bagi pengelola televisi lokal, problem ini tentu diatasi atau setidaknya diringankan dengan menyiarkan program yang berasal dari TVE. Apalagi memang tujuan TVE adalah memberikan layanan siaran pendidikan berkualitas yang dapat menunjang tujuan pendidikan nasional. Sehingga, keseluruhan programnya dapat diakses dan dipancarkan kembali secara cuma-cuma melalui stasiun televisi lokal.

Pentingnya Kreativitas
Salah satu “kesalahan” TPI adalah merancang program seperti layaknya tutorial di dalam kelas. Karena televisi merupakan medium hiburan, acara tutorial semacam itu sudah pasti akan sangat menjemukan. Konten dari TVE sebaiknya menghindari hal ini. Karakteristik televisi adalah media tempat pemerisa mencari hiburan dan informasi.

Hal tersebut menjadi tantangan bagi TVE selaku penyedia program. Acara pendidikan bukan tidak mungkin dikemas dalam bentuk hiburan yang inspiatif. Kita bisa lihat contoh program Sesame Street – sebuah program pendidikan yang dibuat di Amerika Serikat – misalnya. Ternyata acara pendidikan tentang mengenal aksara bisa dikemas dengan tarian dan lagi yang menghibur. Singkatnya, acara yang bermuatan pendidikan itu tak menjemukan. Malah sangat atraktif untuk orang dewasa, apalagi untuk anak-anak. Tak heran kalau program seperti ini dibeli oleh stasiun swasta di seluruh dunia (termasuk Indonesia) untuk acara komersial – yang kemudian diselingi dengan iklan.

Tentu saja TVE bisa melakkan hal serupa dengan cirri dan basis Indonesia denan melibatkan orang-orang kreatif di bidang pendidikan dan komunikasi yang tidak terhitung banyaknya.

Pengentasan buta aksara sudah tidak bisa lagi hanya mengandalkan jalur formal semata. Dan kini sudah ada alternatif media yang dapat dijadikan alat yang kreatif dan inovatif. Yakni, dengan pemberdayaan televisi lokal yang memanfaatkan program siaran TVE.

Televisi lokal yang ada haruslah menjadi kepanjang tangan pemerintah dalam upaya memeratakan pendidikan, karena televisi mampu menjangkau daerah-daerah terpencil. Pemerintah dalam hal ini Depdiknas melalui TVE tinggal merumuskan program yang tepat guna dan bermanfaat bagi masyarakat. Yang tak kalah pentingnya adalah sebuah program pendidikan yang dikemas dengan atraktif dan inspiratif. Upaya ini jauh lebih murah dan lebih luas menjangkau sasaran mengingat terbatasnya anggaran. Terlebih saat ini untuk mendongkrak posisi HDI Indonesia kita perlu bekerja keras mengoptimalkan tidak hanya jalur formal melainkan juga jalur lainnya.

Hanya saja ada kekhawatiran memanfaatkan televisi sebagai media pendidikan jangan sampai menjadi bumerang: semakin maraknya budaya lisan-dengan akan membuat budaya baca tulis semakin terpuruk. Karena, bagaimanapun juga, ukuran sebuah bangsa yang maju seperti dipatok indeks HDI-nya UNDP adalah bangasa yang tingkat melek huruf masyarakatnya tinggi. Jadi, bukan dari ukuran seberapa banyak masyarakatnya menonton televisi.


sumber : http://www.ekonomiindonesia.info/newsdetail.asp?id=579

baca selengkapnya......

Selasa, 27 Mei 2008

Smackdown VS Televisi Pendidikan

oleh
Nama : Rafi Saleh Rumana
Nim : 1102406046

Potret buram dunia pendidikan kembali tercoreng dengan tewasnya salah satu peserta didik Sekolah Dasar (SD) di daerah Jawa Barat akibat dismackdown oleh teman-temannya, sedangkan menurut laporan Metro TV (28 Nopember 2006), seorang siswa TK di Bojonegoro dan seorang siswa SLTP di Probolinggo patah tulang juga akibat smackdown. Padahal kalau kita cermati acara smackdown sebenarnya telah ada pada tahun 80an dan ketika itu anak-anak usia sekolah melakukan adegan tersebut yang kemudian dikenal dengan istilah perang-perangan, ketoprak-ketropakan, dan atau banting-bantingan.
Namun demikian, peristiwa tersebut tidaklah seheboh sekarang ini, yang ternyata smackdown muncul sporadis dengan versi dan gaya yang deversitatif dan mampu memberi sugesti kepada anak-anak kecil usia sekolah untuk menonton dan kemudian “coba-coba” melakukan dengan teman-teman sebaya yang pada gilirannya berdampak negatif bagi fisik dan psikologis korban. Jika hal ini dibiarkan secara terus-menerus, maka korban-korban berikutnya akan antri berjatuhan.

Sedangkan langkah preventif yang dilakukan pemerintah saat ini cenderung stagnan dan kurang variatif, kalupun ada itupun hanya setengah hati atau jangan-jangan hanya sebagai kambing hitam atas merosotnya kualitas mutu pendidikan nasional (Human Development Indeks Indonesia berada di angka 112 jauh di bawah negara tetangga) Adalah penggunaan televisi pendidikan untuk mengeliminir pencabulan media pembelajaran yang bernama televisi atau jika perlu pemerintah menelorkan kebijakan tentang larangan penayangan acara televisi “smackdown” pada jam-jam belajar serta mensosialisasikan kepada guru dan orang tua bahwa acara tersebut bukanlah menu yang pas untuk ditonton anak-anak.

Abad XIX merupakan awal mula ditemukannya Electrisce Telescope oleh seorang mahasiswa dari Berlin bernama Paul Nipkow, alat ini berfungsi sebagai pengirim gambar dari satu tempat ke tempat lain. Temuan inilah yang kemudian menjadi titik awal berkembangnya televisi, dan sejak saat itu perkembangannya dari tahun ke tahun menjadi sangat pesat hingga detik ini dan bahkan televisi mampu menunjukkan eksistensi maupun dominasinya dibanding dengan media-media yang lainnya.

Eksistensi televisi sebagai media komunikasi pada prinsipnya, bertujuan untuk dapat menginformasikan segala bentuk acaranya kepada masyarakat luas. Hendaknya, televisi mempunyai kewajiban moral untuk ikut serta berpartisipasi dalam menginformasikan, mendidik, dan menghibur masyarakat yang pada gilirannya berdampak pada perkembangan pendidikan masyarakat melalui tanyangan-tayangan yang disiarkannya.

Secara normatif, siaran televisi mampu menyajikan menu kepada masyarakat tanpa harus mendatangi, tidak membedakan status, kasta, golongan, dan usia selama 24 jam nonstop. Ini berarti televisi tidak dibatasi waktu hari, minggu, dan bulan. Melainkan hanya dibatasi waktu detik, menit, dan jam. Begitu juga, televisi pendidikan yang seharusnya digagas oleh policy maker pendidikan sebagai upaya pengkomunikasian informasi, mendidik, dan juga transfer of knowledg and transfer of valuee.

Dalam kompleksitas dan mata rantai yang panjang tentang televisi pendidikan serta dinamikanya, maka pertanyaan yang paling dominan muncul adalah “bagaimanakah konsep dan strategi penyiaran televisi pendidikan yang tepat?”, dan “Apakah tv pendidikan mampu mengimbangi siaran smackdown?”. Hal ini perlu dipahami, bahwa televisi pendidikan memiliki fungsi yang sama dengan media massa lain, yaitu fungsi mendidik, menginformasikan, meneruskan nilai-nilai budaya bangsa, menjadi agent of change. Sehingga, tanpa disadari dengan melihat acara/tayangan televisi seseorang telah mengikuti pendidikan.

Hemat penulis, untuk mengaplikasikan konsep televisi pendidikan, maka perlu dilakukan serangkaian kegiatan sebagai berikut. Pertama, membentuk tim yang bertugas menyiapkan program ini dengan sistem dan manajerial yang baik. Tim ini melibatkan wakil-wakil dari departemen pendidikan nasional yang mempunyai tugas dan fungsi secara teknis terhadap sekolah dan tenaga kependidikan. Kedua, perlu disusun dan dikembangkan considerance sebagai bahan untuk didiskusikan dan disempurnakan. Ketiga, Perlu diprogramkan suatu kegiatan diskusi yang intensif untuk mematangkan konsep dan program. Unsur-unsur yang perlu diundang dalam kegiatan diskusi tersebut mencakup unsur akademisi, praktisi, pemerhati, dan birokrat yang secara langsung maupun tidak langsung bertanggungjawab pada upaya peningkatan moral dan perilaku anak didik kita sebagai generasi penerus bangsa !!!

Sumber : mkpd.wordpress.com

baca selengkapnya......

Potret buram dunia pendidikan kembali tercoreng dengan tewasnya salah satu peserta didik Sekolah Dasar (SD) di daerah Jawa Barat akibat dismackdown oleh teman-temannya, sedangkan menurut laporan Metro TV (28 Nopember 2006), seorang siswa TK di Bojonegoro dan seorang siswa SLTP di Probolinggo patah tulang juga akibat smackdown. Padahal kalau kita cermati acara smackdown sebenarnya telah ada pada tahun 80an dan ketika itu anak-anak usia sekolah melakukan adegan tersebut yang kemudian dikenal dengan istilah perang-perangan, ketoprak-ketropakan, dan atau banting-bantingan.
Namun demikian, peristiwa tersebut tidaklah seheboh sekarang ini, yang ternyata smackdown muncul sporadis dengan versi dan gaya yang deversitatif dan mampu memberi sugesti kepada anak-anak kecil usia sekolah untuk menonton dan kemudian “coba-coba” melakukan dengan teman-teman sebaya yang pada gilirannya berdampak negatif bagi fisik dan psikologis korban. Jika hal ini dibiarkan secara terus-menerus, maka korban-korban berikutnya akan antri berjatuhan.

Sedangkan langkah preventif yang dilakukan pemerintah saat ini cenderung stagnan dan kurang variatif, kalupun ada itupun hanya setengah hati atau jangan-jangan hanya sebagai kambing hitam atas merosotnya kualitas mutu pendidikan nasional (Human Development Indeks Indonesia berada di angka 112 jauh di bawah negara tetangga) Adalah penggunaan televisi pendidikan untuk mengeliminir pencabulan media pembelajaran yang bernama televisi atau jika perlu pemerintah menelorkan kebijakan tentang larangan penayangan acara televisi “smackdown” pada jam-jam belajar serta mensosialisasikan kepada guru dan orang tua bahwa acara tersebut bukanlah menu yang pas untuk ditonton anak-anak.

Abad XIX merupakan awal mula ditemukannya Electrisce Telescope oleh seorang mahasiswa dari Berlin bernama Paul Nipkow, alat ini berfungsi sebagai pengirim gambar dari satu tempat ke tempat lain. Temuan inilah yang kemudian menjadi titik awal berkembangnya televisi, dan sejak saat itu perkembangannya dari tahun ke tahun menjadi sangat pesat hingga detik ini dan bahkan televisi mampu menunjukkan eksistensi maupun dominasinya dibanding dengan media-media yang lainnya.

Eksistensi televisi sebagai media komunikasi pada prinsipnya, bertujuan untuk dapat menginformasikan segala bentuk acaranya kepada masyarakat luas. Hendaknya, televisi mempunyai kewajiban moral untuk ikut serta berpartisipasi dalam menginformasikan, mendidik, dan menghibur masyarakat yang pada gilirannya berdampak pada perkembangan pendidikan masyarakat melalui tanyangan-tayangan yang disiarkannya.

Secara normatif, siaran televisi mampu menyajikan menu kepada masyarakat tanpa harus mendatangi, tidak membedakan status, kasta, golongan, dan usia selama 24 jam nonstop. Ini berarti televisi tidak dibatasi waktu hari, minggu, dan bulan. Melainkan hanya dibatasi waktu detik, menit, dan jam. Begitu juga, televisi pendidikan yang seharusnya digagas oleh policy maker pendidikan sebagai upaya pengkomunikasian informasi, mendidik, dan juga transfer of knowledg and transfer of valuee.

Dalam kompleksitas dan mata rantai yang panjang tentang televisi pendidikan serta dinamikanya, maka pertanyaan yang paling dominan muncul adalah “bagaimanakah konsep dan strategi penyiaran televisi pendidikan yang tepat?”, dan “Apakah tv pendidikan mampu mengimbangi siaran smackdown?”. Hal ini perlu dipahami, bahwa televisi pendidikan memiliki fungsi yang sama dengan media massa lain, yaitu fungsi mendidik, menginformasikan, meneruskan nilai-nilai budaya bangsa, menjadi agent of change. Sehingga, tanpa disadari dengan melihat acara/tayangan televisi seseorang telah mengikuti pendidikan.

Hemat penulis, untuk mengaplikasikan konsep televisi pendidikan, maka perlu dilakukan serangkaian kegiatan sebagai berikut. Pertama, membentuk tim yang bertugas menyiapkan program ini dengan sistem dan manajerial yang baik. Tim ini melibatkan wakil-wakil dari departemen pendidikan nasional yang mempunyai tugas dan fungsi secara teknis terhadap sekolah dan tenaga kependidikan. Kedua, perlu disusun dan dikembangkan considerance sebagai bahan untuk didiskusikan dan disempurnakan. Ketiga, Perlu diprogramkan suatu kegiatan diskusi yang intensif untuk mematangkan konsep dan program. Unsur-unsur yang perlu diundang dalam kegiatan diskusi tersebut mencakup unsur akademisi, praktisi, pemerhati, dan birokrat yang secara langsung maupun tidak langsung bertanggungjawab pada upaya peningkatan moral dan perilaku anak didik kita sebagai generasi penerus bangsa !!!

sumber : mkpd.wordpress.com

baca selengkapnya......

Dalam pendidikan modern, pemanfaatan program media televisi pendidikan merupakan bagian dari
penerapan konsep teknologi instruksional yang disebut konsepsi pengajaran visual, yang perlu
disebarluaskan karena memiliki keuntungan relatif, manfaat, kesamaan dan kemudahan untuk proses belajar
mengajar.
Selain daripada itu penggunaan alat bantu visual dalam program pengajaran dimaksudkan untuk
memperkenalkan, membentuk dan memperkaya serta memperjelas pengertian yang abstrak kepada anak
didik serta mengembangkan sikap yang diinginkan dan mendorong kegiatan anak didik lebih lanjut. Istilah
konsepsi pengajaran visual inilah yang disebut audio visual instruction.
Pemanfaatan audio visual seperti media televisi pendidikan sangat dimungkinkan apabila mampu
menyajikan pesan dengan jelas kepada anak didik tentang hal-hal yang berguna dan pantas ditiru.
Tesis ini membahas pemanfaatan program kaset media televisi pendidikan produksi Pustekkom di
Kotamadya Bandung, karena selama ini frekuensi pemanfaatannya disekolah Lanjutan Tingkat Pertama
sangat rendah, padahal telah diproduksi 547 (lima ratus empat puluh tujuh) buah judul program media
televisi pendidikan untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama.
Terdapat dua masalah yang diidentifikasikan dalam penelitian ini, pertama kurangnya pemahaman guruguru
tentang inovasi pendidikan, kedua rendahnya kualitas program kaset media televisi pendidikan
Pustekkom Sehingga kedua hal ini di duga mempengaruhi tingkat pemanfaatannya di Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama.
Untuk membuktikan dugaan permasalahan tersebut diatas, maka dibutuhkan sebuah penelitian. Karena
dalam penelitian ini ingin melihat hubungan antara pemahaman inovasi pendidikan dan kualitas program
dengan pemanfaatan program di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, baik itu secara sendiri-sendiri maupun
secara bersama-sama, maka untuk membuktikan hipotesis digunakan analisis regresi dan korelasi sederhana,
regresi dan korelasi ganda, dengan syarat terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data, uji homogenitas data
dan uji linieritas data. Hasil pengujian membuktikan bahwa ketiga hasil uji data tersebut memenuhi syarat.
Setelah itu dilakukan pengujian hipotesis, ternyata hipotesis pertama, kedua dan ketiga terbukti yaitu : 1 .
terdapat hubungan yang positip antara pemahaman inovasi pendidikan dengan pemanfaatan program kaset
media televisi pendidikan di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. 2. Terdapat hubungan yang positip antara
persepsi mengenai kualitas program kaset media televisi pendidikan dengan pemanfaatannya di Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama. 3. Terdapat hubungan yang positip antara pemahaman inovasi pendidikan dan
persepsi mengenai kualitas program media pendidikan produksi Pustekkom secara bersama-sama dengan
pemanfaatannya di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Untuk hal tersebut di atas, maka perlu diterapkan
teori difusi inovasi, dan peranan Sanggar Tekkom sebagai agen pembaharuan di daerah memegang peranan
penting untuk penyebarluasan pemahaman inovasi. Pustekkom sebagai lembaga pembaharuan dan yang
sekaligus bertindak sebagai unit produksi harus dapat menyediakan program-program yang berkualitas,
yang sesuai dengan kebutuhan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, dan yang tidak kalah pentingnya ialah
bahwa sebelum program kaset media televisi pendidikan ini diproduksi terlebih dahulu dilakukan penelitian.

Sumber : www.digilib.ui.ac.id

baca selengkapnya......

Senin, 26 Mei 2008

Media Sebagai Lingkar Pendidikan Keempat

oleh :

NAMA : HERU KRISTIANTO

NIM : 1102406050

Beberapa waktu lalu, sekelompok muda perfilman yang tergabung dalam Masyarakat Film Indonesia (MFI) mengajukan judicial review atas Undang-undang nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menggugat keberadaan Lembaga Sensor Film (LSF) yang membendung kreativitas mereka selama ini. Juga, mereka menuntut agar LSF dan Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) dibubarkan karena telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).

Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, Indonesia akan terus merapalkan sejumlah tuntutan, deklarasi, dan gugatan atas nama HAM yang tereja dari masyarakatnya sendiri. HAM menjadi dalih ampuh untuk melindungi diri manakala seseorang atau kelompok orang terampas hak-haknya. Pada kasus di atas, kreativitas adalah sewujud HAM yang, bagi kalangan perfilman, merupakan modal dasar dalam berkarya. Padahal, mengutip pendapat Julian Beggini (2003:51), 'bahasa hak dan kebebasan dapat digunakan untuk mengaburkan segala jenis ketidakadilan dan perbuatan salah'.

Mungkin penulis akan dituduh mengaburkan ketidakadilan jika berpendapat bahwa mendapatkan pendidikan yang layak dari media -dalam arti luas berarti juga film--adalah HAM, apalagi bagi bangsa yang mendapat amanah 'mencerdaskan kehidupan bangsa' dari the founding fathers-nya. Kalaulah anak dan remaja di negeri ini sadar atas hak pendidikannya, mereka mungkin menuntut agar mendapatkan tayangan film yang meneguhkan wawasan dan kepribadiannya. Jika demikian halnya, yang dibutuhkan tidak hanya LSF yang hanya bekerja di area seksualitas dan agresivitas, tapi juga lembaga yang melarang beredarnya film yang tidak mengandung unsur pendidikan. Letak masalahnya bukan pada tingkat pendidikan masyarakat yang rendah (sebagaimana pendapat harian ini dalam Tajuk Rencana, 12/01/2008), tapi tidak adanya perhatian dari elemen bangsa, termasuk media, terhadap proses dan strategi mendidik. Tapi, apakah itu mungkin? Alih-alih menghayati tujuan pendirian bangsa, mengharapkan media sebagai sarana pendidikan bagi masyarakat justru mempersempit peran media itu sendiri.

Dari naluri mendidiknya, Ki Hajar Dewantara pernah mengutarakan tiga lingkar pendidikan, yakni keluarga, sekolah dan masyarakat. Tiga lingkungan itulah yang akan memberi corak bagi seorang anak atau remaja terhadap perilaku (behavior), sikap (attitude), pandangan (subjective norm), keyakinan (belief) dan nilai (value) yang dianut. Tiga lingkungan itu seperti buaian yang akan mengintrodusir anak dan remaja perihal anasir kepribadian tersebut. Namun, dalam era informasi sekarang ini, ketiga lingkungan itu mengenyam peran yang semakin menyusut. Saat ini media, baik cetak maupun elektronik, merupakan lingkungan yang dekat bagi anak dan remaja. Lepas dari apakah media menyadari atas signifikansi perannya dalam membentuk kepribadian, media telah menjadi lingkar pendidikan keempat, bahkan dalam rentang yang lebih dekat.

Mengulas peran mendidik sebenarnya tidak terpaku pada tanggung jawab pelaku pendidikan di tiga lingkar itu. Bukan semata sebagai tanggung jawab orang tua atau yang dituakan (dalam keluarga), guru (di sekolah) dan sesepuh atau tokoh (di masyarakat). Mendidik adalah tanggung jawab universal setiap orang atas kodratnya sebagai makhluk yang dididik (animal educandum) dan makhluk yang mendidik (animal educandus). Seorang tokoh filsafat pendidikan dari Universitas London, john White, berpendapat, 'bukan hanya guru dan orang tua yang bertanggung jawab memikirkan tujuan pendidikan, melainkan setiap warga berkepentingan dengannya. Akan seperti apakah masyarakat kita?' (Callan, 2003:448). Bahkan sebenarnya tanggung jawab terbesar atas pendidikan adalah pihak yang paling besar mempengaruhi gaya hidup masyarakat. Berarti pula, pihak yang mampu menjadi trend-setter budaya di masyarakat dan sekaligus juga mengetahui jawaban atas pertanyaan White, 'akan seperti apakah masyarakat kita?' Dalam hal ini peran media teramat penting bagi terbentuknya cita masyarakat yang akan dituju.

Ada beberapa alasan mengapa media, sebagai lingkar pendidikan keempat, memiliki peran signifikan dalam mendidik anak dan remaja. Pertama, anak dan remaja memiliki intensitas interaksi yang tinggi dengan media. Hampir tidak ada hari tanpa menonton televisi--pun karena hampir setiap rumah memiliki televisi. Seorang remaja dianggap tidak gaul jika belum menonton film Indonesia terbaru--yang memang banyak berkisah tentang remaja.Kedua, media memungkinkan jarak sosial yang dekat dengan anak atau remaja. Media menjadi sarana interaksi yang privat. Peran masyarakat sebagai lingkar pendidikan setelah sekolah berkurang perannya apalagi dalam masyarakat perkotaan. Beban belajar di sekolah yang makin meningkat cenderung membatasi anak dan remaja berinteraksi di masyarakat. Alih-alih berinteraksi dengan lingkungan luar, anak dan remaja justru mengandalkan televisi sebagai 'teman dekat'nya. Ketiga, media dapat hadir dalam waktu kapanpun yang dimaui anak atau remaja. Apalagi jika lingkungan keluarga tidak menghalangi atau membatasi anak atau remaja dalam berinteraksi dengan media. Beberapa kasus perkosaan yang dilakukan remaja terjadi setelah pelaku menonton VCD seronok.

Keempat, perihal seksualitas dan agresivitas bukanlah penentu utama ketertarikan masyarakat pada media. Dilema di sekitar seksualitas dan agresivitas adalah dilema primordial umat manusia. Walaupun menurut Freud seksualitas dan agresivitas adalah bawaan tak sadar manusia, aktualitasnya akan dibatasi oleh norma yang berkembang di masyarakat. Jadi, daripada menampilkan seksualitas dan agresivitas yang akan mendapat tentangan di masyarakat, media lebih bijak menyodorkan tayangan yang lebih memenuhi harapan masyarakat. Kelima, media yang juga disebut sebagai pilar keempat demokrasi memungkinkan interaksi yang dinamis dengan masyarakat. Media, disamping mampu mempengaruhi kebijakan publik, juga menjadi sarana aspirasi masyarakat. Lewat media, masyarakat pada umumnya bisa mengetahui beragam informasi dan fenomena yang terjadi pada seseorang atau kelompok masyarakat tertentu. Masyarakat yang beragam akan menderetkan fenomena dan laku hidup yang beragam dan tentu, memiliki nilai media.

Jika mengatakan bahwa media tidak memiliki unsur edukatif tentu tidak sepenuhnya benar. Beberapa stasiun TV swasta menayangkan acara yang memungkinkan anak belajar kebiasaan baru dalam dunia permainan. Ada acara yang memperluas wawasan anak dengan menampilkan asal mula benda tertentu (dikemas seperti ensiklopedia). Film Nagabonar jadi 2, yang meminimalisasi seksualitas, bukannya kehilangan popularitas tapi malah memperoleh penghargaan sebagai film terbaik dalam Festival Film Indonesia (FFI) 2007. Baru-baru ini, film Denias Senandung di atas Awan mendapatkan penghargaan dari pemerintah Australia karena sarat dengan unsur pendidikan.

Tuntutan MFI agar pemerintah membubarkan LSF bisa dijadikan pelajaran bersama atas peran media selama ini. Adalah hak seluruh warga untuk mendapatkan pendidikan yang baik dari media. Namun hak ini hanyalah sesumbar hambar jika seluruh aparatus bangsa ini, termasuk pelaku media, tidak menjadikan media sebagai lingkar pendidikan keempat.


Sumber = http://pelajar-islam.or.id/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=71

baca selengkapnya......

Sabtu, 24 Mei 2008

Pendidikan Holistik Berbudaya Nusantar

oleh :
NAMA : HERU KRISTIANTO
NIM : 1102406050


{Sebuah pengantar menarik dari penyelenggaraan simposium pendidikan yang diselenggarakan oleh National Integration Movement (NIM), sebuah pencerahan dibalik sekian banyak PR pendidikan nasional kita……}

Ketika sebuah negara seperti Indonesia sedang terpuruk, hampir semua
sepakat untuk menyoroti Pendidikan sebagai salah satu biang keladi utama. Tapi, apakah semua sudah sepakat dan sepaham tentang apa itu Pendidikan? Apakah Pendidikan itu sama seperti ketrampilan atau keahlian di sebuah bidang tertentu? Apakah Pendidikan itu berarti paham pemikiran logika dan sistematis, yang hanya mengandalkan fungsi otak kiri saja? Apakah Pendidikan hanyalah sebuah sarana untuk mendapatkan Ijazah formal dan pekerjaan agar dapat membiayai diri sendiri (dan keluarga) untuk hidup layak?

Di Indonesia, masalah pendidikan sudah sangat pelik. Dari kurangnya komitmen politik pemerintah untuk memenuhi anggaran pendidikan minimal 20% dari total anggaran pendapatan dan belanja negara sesuai amanat Undang-Undang Dasar sampai ditudingnya Departemen Pendidikan sebagai salah satu sarang utama korupsi. Dari mewah fasilitas sekolah dan mahalnya biaya pendidikan sampai begitu banyaknya bangunan sekolah yang hampir roboh dimakan usia atau korupsi. Dari pendidikan yang disisipi indoktrinasi pemahaman tertentu sampai pendidikan disamakan dengan sekedar transfer Ilmu Pengetahuan semata. Jadi apakah pendidikan itu? Sistem pendidikan seperti apakah yang cocok diterapkan di Indonesia ini?

Pendidikan bukanlah (hanya) transfer of knowledge
Ada sebuah penelitian di Amerika Serikat yang melaporkan bahwa, peran otak kiri, yang berkaitan dengan logika dan intelektual, pada keberhasilan seseorang dalam mencapai kesuksesan hanya 4%. Porsi terbesar untuk mencapai kesuksesan yakni 96% didominasi peran otak kanan yang berkaitan dengan kreativitas dan inovasi.

Sayangnya, pola pendidikan yang dapat membantu perkembangan otak kanan kurang diperhatikan di Indonesia. Oleh karena itu, pengembangan emosi dan kepribadian yang dapat menuntun seseorang menjadi manusia arif dan bijaksana menjadi terlalaikan. Padahal, untuk bisa membangun suatu bangsa yang kuat diperlukan orang yang tidak hanya berintelektual tinggi, tetapi juga peka terhadap kondisi yang terjadi. Selain itu, bangsa Indonesia pun memerlukan orang yang punya kebijaksanaan tinggi untuk dapat menghadapi segala persoalan dengan tepat. Keseimbangan antara fungsi otak kiri dan otak kanan sangat ditentukan oleh pola pendidikan jenis apakah yang diterima seorang murid.

Tapi pola pendidikan ideal seperti ini sangat langka di Indonesia yang cenderung lebih mengarah pada transfer of knowledge daripada pendidikan dalam arti membimbing seorang anak didik menjadi manusia yang mengenal dirinya sendiri tapi peka terhadap apa yang terjadi dengan lingkungan sekitar dirinya.

Pendidikan bukanlah Indoktrinisasi Pemahaman
Di Indonesia banyak sekali lembaga pendidikan yang didirikan oleh lembaga-lembaga agama dengan tujuan secara langsung maupun tidak langsung untuk menanamkan doktrin-doktrin agama dalam benak anak didik dari usia muda. Hal ini patut disesalkan karena dikhawatirkan kelak anak-anak tersebut tidak mampu mengapresiasi keberagaman yang diciptakan oleh Tuhan di dunia ini. Diperparah pula oleh timbulnya perda-perda syariat yang seakan melegalisir pemisahan bagi para siswa di sekolah. Dan, hasilnya adalah konflik antar agama, konflik
horisontal antar kelompok masyarakat hanya karena berbeda dengan dirinya. Perbedaan yang semestinya menjadi rahmat keberagaman bagi umat manusia, malah menjadi kutukan dan penyebab perang di antara umat manusia.

Pendidikan bukanlah hanya untuk orang kaya saja
Sekolah favorit selalu menjadi incaran orangtua murid untuk menyekolahkan anaknya di sana. Kenapa? Karena dengan bersekolah di sekolah favorit maka kemungkinan besar, sang murid akan mudah mendapatkan pekerjaan yang layak di masyarakat dan menjadi kaya. Jadi apakah kita berpendidikan hanya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak? Bila jawabannya tidak, tapi kenyataannya bahwa banyak sekolah-sekolah yang menawarkan fasilitas dan kelas ketrampilan tambahan menjadi sekolah-sekolah favorit walaupun bertarif sangat mahal. Dan, hanya orang-orang kaya saja yang mampu menyekolahkan anak-anaknya di sana karena banyak juga perusahaan yang hanya mau mempekerjakan para lulusan dari sekolah-sekolah favorit saja. Pola pikiran seperti ini hanya menimbulkan ekses-ekses bahwa hanya orang kaya saja yang mampu mendapatkan pendidikan. Jelas ini bertentangan dengan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, sila ke-2 dari Pancasila.

Program Televisi (TV) yang tidak mendidik
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006, menyatakan bahwa penduduk Indonesia yang berumur lebih dari 10 tahun menonton televisi adalah sebanyak 85.86%, dibandingkan 40.26% yang mendengarkan radio dan 23.46% yang membaca surat kabar. TV telah menjadi salah satu media yang paling mudah memberikan informasi kepada masyarakat dan mendidik masyarakat.

Celakanya, program-program TV negara ini dipenuhi hal-hal berbau klenik, perdukunan, kekerasan, budaya instan, pola hidup konsumtif, dll. Sehingga tidak mengherankan bila masyarakat kita mudah sekali ditipu oleh sms-sms berhadiah karena ingin cepat kaya (budaya instan), oleh iklan-iklan yang menimbulkan keinginan berbelanja barang-barang yang tidak diperlukan (konsumtif), bertikai dengan kekerasan karena berbeda, dan mudah dibodohkan oleh cerita-cerita gaib ilmu perdukunan.

Solusi : Pendidikan Holistik berbasis budaya Nusantara
Pendidikan holistik adalah pendidikan yang bertujuan memberi kebebasan anak didik untuk mengembangkan diri tidak saja secara intelektual, tapi juga memfasilitasi perkembangan jiwa dan raga secara keseluruhan sehingga tercipta manusia Indonesia yang berkarakter kuat yang mampu mengangkat harkat bangsa. Mewujudkan manusia merdeka seperti ungkapan Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional, "Manusia merdeka yaitu manusia yang hidupnya lahir atau batin tidak tergantung kepada orang lain, akan tetapi bersandar atas kekuatan sendiri."

Bila sekarang Pendidikan Barat memperkenalkan istilah PQ, IQ, EQ, SQ, tapi Budaya Nusantara mengenal istilah Sembah Raga, Sembah Rasa dan Sembah Cipta dari karya agung Kitab Wedhatama karya KGPA Mangkunegara IV sejak abad ke-19

Pendidikan yang baik akan menempa seorang siswa agar mampu hidup mandiri tanpa tergantung orang lain dan sebenarnya, negara Indonesia tidak perlu mengadopsi kurikulum pendidikan bangsa lain, yang belum tentu cocok diterapkan di Indonesia, tapi cukup mengembangkan sistem
pendidikan nasional yang mampu membentuk karakter manusia Indonesia seutuhnya. Salah satunya adalah Pelajaran Budi Pekerti seperti yang pernah diterapkan dalam kurikulum nasional oleh Bapak Ki Hajar Dewantara, pendiri Perguruan Taman Siswa.

Prinsip dasar dalam pendidikan Taman Siswa yang sudah tidak asing di
telinga kita adalah:

  1. Ing Ngarso Sung Tulodo (di depan kita memberi contoh)

  2. Ing Madya Mangun Karso (di tengah membangun prakarsa dan bekerja sama)

  3. Tut Wuri Handayani (di belakang memberi daya-semangat dan
    dorongan).

Inilah pendidikan holistik berbasis budaya Nusantara yang perlu dikembalikan semangat dan kearifannya bagi pendidikan siswa-siswa, generasi penerus bangsa.

Sumber = http://prayudi.wordpress.com/2007/10/16/pendidikan-holistik-berbudaya-nusantara/

baca selengkapnya......